Nim :
10/306215/PSA/02239
Menarik
membahas buku ini, bagaimana Linda Tuhiwai Smith menulis buku ini dengan cara
pandang bangsa terjajah. Tumbuh dan berkembang di dunia ilmu pengetahuan dengan
seorang ayah yang merupakan seorang antropolog Maori telah membuat Linda,
seorang gadis Maori berusia 16 tahun saat itu telah terbiasa dengan dunia
museum dan peninggalannya. Di usia remajanya, dia bergelut dengan bahan-bahan
yang berhubungan dengan Revolusi Amerika dan sudah banyak melahap sejarah
Inggris, Eropa dan Amerika. Dengan latar belakang akademik bidang pendidikan,
dan di bidang pendidikan tersebut melimpah ruah sejarah tentang penelitian yang
berupaya melegitimasi pandangan tentang penduduk bangsa terjajah yang antagonistik
dan merendahkan martabat manusia.
Penulis
dalam salah satu babnya, bab 3 menuturkan mengenai penjajahan dalam pengetahuan.
Diawali dengan kutipan dari Merata Mita.
Kami punya sejarah
tentang orang-orang yang meletakkan Maori di bawah mikroskop,persis seperti
seorang ilmuwan mencermati serangga. Mereka yang mengamati merasa punya
kekuasaan untuk mendefinisikan.
Begitulah
penggambaran barat mengenai tanah jajahan, mereka mengibaratkan tanah jajahan hanya
sebagai “makhluk” yang sedang mereka cermati dengan sudut pandang mereka.
Bagaimana bangsa pribumi diklasifikasikan sejajar dengan flora dan fauna,
tipologi hirarkis humanitas dan sistem representasi dimotori oleh
penemuan-penemuan baru, peta kultural disusun dan berbagai wilayah diklaim
serta diperebutkan oleh kekuasaan-kekuasaan besar Eropa. Beberapa bangsa
pribumi disusun dalam urutan berdasarkan hal-hal seperti keyakinan bahwa mereka
“mendekati manusia”, “hampir manusia” atau sub-human.
Garis
pembatas antara “timur” dan “barat” ini seakan merupakan pembagian dunia secara
politik dan pertarungan negara-negara barat yang bersaingan dalam rangka
membangun apa yang disebut Said namakan “superioritas posisional fleksibel”
atas dunia yang sudah dikenal dan yang akan diperkenalkan. Imperialisme dan
kolonialisme merupakan formasi spesifik yang dipakai barat untuk melihat,
menamai dan mengetahui komunitas-komunitas pribumi.
Globalisasi
pengetahuan dan budaya barat terus-menerus meneguhkan kembali pandangan barat
tentang dirinya sebagai pusat pengetahuan legitimate,
penentu apa saja yang digolongkan sebagai pengetahuan dan sumber pengetahuan
“beradab”. Barat lah yang menjadi acuan bagi pengetahuan, mereka membentuk
daerah jajahan hanyak sebagai obyek dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Melalui
imperialisme berbagai budaya, rakyat, bangsa dan negara diposisikan sebagai
oriental, luar demi melegitimasi pemberlakuan kekuasaan barat. Bagi bangsa
pribumi, kita tidak punya klaim apapun tehadap peradaban.
Penjajahan
dalam pengetahuan merupakan suatu hal penting yang dilakukan barat untuk
menaklukkan tanah jajahannya. Penjajahan yang dilakukan dalam bentuk fisik terlalau
banyak menimbulkan kerugian selain materi dan korban jiwa dari kedua belah
pihak juga akan menimbulkan kebencian yang begitu mendalam dari pribumi.
Penjajahan dalam pengetahuan bentuk penjajahan yang mengubah cara berpikir
masyarakat dan ini sebenarnya lebih berbahaya daripada bentuk fisik.
Sebagian
besar pribumi, agensi utama untuk memberlakukan superioritas oposisional atas
pengetahuan dan bahasa adalah pendidikan kolonial. Ini dipakai sebagai
mekanisme menciptakan elite-elite baru pribumi. Anak-anak pribumi yang berbakat
disekolahkan supaya nantinya mereka menjadi elite-elite yang sebenarnya tanpa
disadari sudah ditanamkan mengenai budaya barat dan yang berhubungan dengan
barat. Para intelektual “asli” didikan
barat ini dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang berkecimpung dalam
gerakan nasionalis yang problematis. Mereka menjadi terasing dari nilai-nilai
budaya mereka sendiri sehingga mencapai titik rasa malu dan membenci segala
yang direpresentasikan oleh nilai-nilai tersebut.
Kadang
tanpa kita dasari, perasaan barat lebih hebat dan sebagai bangsa yang unggul
seakan kita benarkan. Ini tampak ketika penelitian-penitian yang dilakukan oleh
peneleti barat mengenai sejarah bangsa kita dianggap yang paling bagus dan
baik. Stigma ini melekat dalam masyarakat kita.
Hal
lain yang ingin dikatakan oleh linda dalam tulisannya ini, bagaimana kita
bangsa terjajah bisa bangkit dalam hal pengetahuan. Bisa menuliskan narasi
sejarah bangsa kita sendiri, bangsa yang lebih kita kenal dan ketahui daripada
bangsa lain. Seperti tulisan Said yang mengatakan, kita perlu menghayati
tulisan Vico yang menegaskan bahwa manusia mengukir dan menciptakan sejarahnya
sendiri, bahwa apa yang mereka ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka
ciptakan. Tetapi jangan sampai sejarah yang selama ini dibentuk oleh barat
melalui sudut pandang mereka lalu direkonstruksi dengan sudut pandang kita
tanpa adanya kebenaran-kebenaran sejarah, seakan hanya menjungkir-balikkan
historiografi “lama” yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar