Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

PENCARIAN DISKURSUS ALTERNATIF BAGI DUNIA KETIGA, KASUS STUDI PEMBANGUNAN


Adrian Perkasa
338934
Seperangkat ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu sosial dan budaya merujuk pada ide positivis diharapkan mampu menjawab segala permasalahan sosial yang ada. Namun pada kenyataannya yang muncul adalah berbagai polemik baru, khusus yang terjadi di Dunia Ketiga adalah ketidaksesuaian antara teori di dalam buku–buku diktat dengan realitas yang ada dalam keseharian masyarakat. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan validkah teori–teori sosial yang ada jika dihadapkan pada masalah di Dunia Ketiga? Jika memang bisa berlaku, sejauh mana teori tersebut bisa menjadi semacam teori yang generik bagi Dunia Ketiga? Bagi Alatas tidak mungkin suatu perangkat ilmu pengetahuan modern yang diproduksi di dan oleh Barat dapat diberlakukan di Dunia Ketiga. Posisi yang jelas ini dikemukakan oleh Alatas seperti dalam bab ketujuh bukunya ini.
Sedari awal munculnya ilmu pengetahuan yang diklaim sebagai yang modern ini memang oleh bangsa Barat di negara–negara Barat dan pada akhirnya hanya dapat dijadikan perangkat analisis di Barat saja. Apabila diringkas dalam sebuah kalimat, berasal di Barat oleh Barat dan untuk Barat. Menurutnya, tidak mungkin partikularitas suatu kondisi spasial dan temporal tertentu dapat menjadi sebuah generalisasi besar yang berujung pada teori yang universal. Apabila kemudian diklaim sebagai yang universal bahkan merupakan satu–satunya yang mampu mencapai kepada kebenaran (truth), maka klaim tersebut harus diperiksa secara waspada. Memang kemudian Alatas dalam hal ini menggunakan argumen dari Michel Foucault tentang relasi pengetahuan, diskursus dan kekuasaan. Lebih lanjut Alatas mengetengahkan studi pembangunan menjadi contoh untuk mendukung proposisinya. Dalam ulasan singkat ini, saya akan melakukan pembacaan atas usaha yang dilakukan Alatas dalam membuktikan ketidakcocokan ilmu pengetahuan dan diskursus dari Barat diberlakukan atas Dunia Ketiga. Setelah itu, saya mencoba untuk melakukan kritik dan membongkar kelemahan argumen Alatas.   

Studi Pembangunan Barat dan Masalahnya
Telah menjadi keprihatinan yang umum di kalangan ilmuwan tentang perkembangan ilmu sosial di Dunia Ketiga. Menurut Uberoi seperti yang dikutip oleh Alatas terlalu banyak penerapan ilmu sosial di Dunia Ketiga secara tidak kritis dan membabi buta. Seperti misalnya pada teori–teori dalam studi pembangunan (development). Paling tidak terdapat dua pendekatan utama dalam teori pembangunan yaitu struktural dan psikologis. Dalam pendekatan struktural, contohnya dalam teori modernisasi diasumsikan bahwa terdapat tahapan–tahapan yang harus dilalui sebuah masyarakat sampai akhirnya menuju tahapan tertinggi yakni industrialisasi. Masalahnya kemudian tahapan ini ternyata hanya berlaku bagi masyarakat Eropa. Kondisi yang sangat berbeda dialami oleh masyarakat Dunia Ketiga yang tidak memiliki pengalaman seperti di Eropa. Sedangkan dalam pendekatan psikologis, masyarakat Barat dinilai lebih memiliki karakteristik psikologis yang memungkinkan bagi keberhasilan ekonomi dibandingkan masayarakat Dunia Ketiga. Misalnya di sini tentang konsep need for achievement yang berasal dari etos Protestan.
Kemudian Alatas melanjutkan dengan membeberkan masalah pengadopsian teori secara tidak kritis dalam studi pembangunan. Pertama, tentang dominannya orientasi faktorgenik yang mengakibatkan kajian menjadi dangkal. Perlu imbangan dengan analisis aktorgenik agar mampu melihat detail permasalahan secara lebih komprehensif. Kedua, sifat studi pembangunan yang terlalu umum sehingga mengakibatkannya menjadi mubazir. Analisis yang terlalu umum tidak akan mampu membawa kita memahami mengapa negara–negara Dunia Ketiga prestasi ekonominya pada umumnya buruk. Bahkan Alatas menunjuk peneliti semacam Hamza Alavi yang melakukan generalisasi kondisi umum negara postkolonial berdasarkan pengalaman Bangaladesh dan Pakistan. Ketiga, kehadiran teori dan konsep yang salah. Keempat, irelevansi teori dan konsep Barat dalam konteks non–Barat. Kelima, ketidakmampuan membadakan yang universal dengan yang partikular. Keenam, kecenderungan untuk meniru secara negatif. Ketujuh, kurangnya perhatian terhadap isu–isu metodologis. Kedelapan, simplifikasi masalah pembangunan. Kesembilan, kesalahan memerinci patologi pembangunan. Kesepuluh, mengabaikan patologi pembangunan  yang riil. Kesebelas, praktik normalisasi yang ditetapkan dalam batasan proses modernisasi alias westernisasi.
Terjadinya kondisi sedemikian rupa tadi dijelaskan oleh Alatas melalui teori yang diajukan oleh Foucault. Melalui perangkat analisis kritis dan genealogisnya dapat dipahami bagaimana pengetahuan jelas berkelindan dengan kekuasaan dan tentu kepentingannya. Dalam penjelasan Alatas tentang Foucault, dapat dipahami bahwa berbicara tentang kekuasaan Foucault tertarik pada praktik yang mengarah pada normalisasi dan kontrol disiplin manusia. Dalam kajian studi pembangunan, kita akan melihat bagaimana proses normalisasi ini berjalan baik kita sadari maupun tidak. Misalnya tentang kebenaran teori pembangunan Barat baik itu neoklasik hingga Marxis yang menjadi kebenaran tunggal kemudian disampaikan dan diterapkan membabi buta baik oleh para akademisi, praktisi sampai pembuat dan pelaksana kebijakan. Di sinilah masyarakat Dunia Ketiga tetap diperlakukan sebagai objek untuk diteliti dan diukur melalui ilmu pengetahuan dan diskursus Barat. Apa yang menjadi standar bagi Barat menjadi suatu yang universal sehingga apabila ada metode lain, seperti misalnya yang ditunjukkan oleh Alatas dengan metode Islam, maka hal tersebut diperlakukan sebagai sesuatu yang bukan ilmiah dan perlu dilakukan normalisasi yang mengatasnamakan kemudahan pembangunan. Kontrol di sini dilakukan tidak hanya oleh negara saja melainkan  juga kalangan akademisi dan antar masyarakat sendiri.

Beberapa Kelemahan
Tak bisa dipungkiri bahwa uraian Alatas membawa kita untuk melakukan pencarian yang mendalam bagi terciptanya suatu diskursus alternatif dalam ilmu sosial dan budaya bagi kajian di Dunia Ketiga. Namun menurut saya argumen yang dibangunnya dalam bab ini masih kurang kuat untuk mendorong kita mengikuti alur pemikirannya. Alih–alih bisa jadi Alatas justru yang mendapat serangan balik dari mereka yang dikritik oleh Alatas. Hal ini bisa terjadi karena masih ada beberapa kelemahan yang mencolok dalam tulisannya. Pertama, tentang masalah generalisasi. Walaupun secara tegas Alatas mengkritik tentang banyaknya generalisasi dalam studi pembangunan seperti yang dilakukan oleh Hamza Alavi, namun dari awal bab sampai akhir Alatas selalu menggeneralisasi sebutan Dunia Ketiga. Tidak jelas siapakah atau masyarakat manakah yang dirujuk dengan sebutan Dunia Ketiga. Apakah masyarakat ini hanya untuk masyarakat Malaysia, Asia Tenggara, Pasifik, Afrika atau lainnya? Ada kemungkinan memang di bab lainnya Alatas telah menjelaskan, hanya saja apabila kita hanya membaca bab ini saja kita akan terasa kekurangan ini.
Kedua, tentang konsep diskursus alternatif yang ditawarkan oleh Alatas. Senyampang yang saya ketahui, Alatas hanya menggunakan konsepn yang familier bagi kalangan Islam saja. Seperti penggunaan istilah dari Ibnu Khaldun yang disebutnya lebih familier bagi masyarakat non–Barat atau Dunia Ketiga. Sekali lagi hal ini menunjukkan adanya generalisasi yang berlebihan. Mungkin asumsi Alatas ini akan lebih cocok apabila dikaitkan dengan masyarakat Timur Tengah atau Melayu yang identik dengan Islam. Namun bagaimana apabila konsep itu diterapkan kepada masyarakat Cina atau Jepang? Bagaimana pula jika diterapkan pada masyarakat Indonesia yang berada di Papua? Apabila hal ini tidak dijelaskan dengan jernih oleh Alatas, maka tak salah apabila sidang pembaca bukunya menuding Alatas tendensius dalam mengupayakan diskursus alternatif khususnya terhadap Islam.
Ketiga, bab yang menurut saya berasal dari artikel yang ditulis tahun 1993, tidak diperbaharui dengan kondisi yang telah jauh berkembang. Misalnya kritik tentang pengabaian detil–detil seperti budaya dalam studi pembangunan sehingga banyak yang lepas dari diskursus ini. Misalnya Alatas menunjuk tentang korupsi. Padahal kajian tentang postkolonialitas yang membahas tentang perkembangan studi pembangunan telah banyak dilakukan dan dirintis sejak tahun 1990–an. Seperti yang dilakukan oleh Ilan Kapoor(2008) yang telah merangkum perkembangan dari kajian politik postkolonial terhadap pembangunan sejak masa dikembangkannya teori orientalisme Edward Said, postkolonialisme Gayatri Spivak hingga postkomunisme Slavoj Zizek.
Salah satu bab khusus membahas tentang kebijakan pembangunan dan hubungannya terhadap budaya. Misalnya tentang korupsi, konsep tentang korupsi ini berasal dari satu pemahaman akan perlunya tata kelola pemerintahan atau good governance yang baik seperti yang digariskan oleh Bank Dunia sejak tahun 1992. Asumsi good governance dari Bank Dunia ini merupakan prasyarat bagi perkembangan perekonomian yang baik dari suatu negara. Salah satu komponen utamanya adalah transparansi baik itu secara informasional maupun prosedural. Maka korupsi yang ada di masyarakat atau negara non–Barat dianggap sebagai suatu “budaya” yang susah untuk dilepaskan dari masyarakat ini. Padahal tata kelola pemerintahan yang baik ini pada dasarnya juga merupakan mitos yang diciptakan Barat sendiri yang bersifat anakronik. Kita bisa lihat apa yang terjadi apabila korupsi ada di masyarakatnya, seperti sering kita dengar belakangan ini terutama di korporasi. Alih–alih juga disebut “budaya”, melainkan hanya perbuatan segelintir oknum  ataupun praktik bisnis yang buruk.
Dari ulasan singkat di atas kita bisa melihat bahwa masih banyak ketidak seimbangan antara diskursus Barat yang telah mapan dengan diskursus alternatif. Oleh karena itu, pencarian atas berkembangnya diskursus alternatif bagi Dunia Ketiga masih harus terus diusahakan. 


Bacaan Tambahan
Kapoor, Ilan, The Postcolonial Politics of Development, New York:Routledge, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar