Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

(BISAKAH) PRIBUMI MENULIS SEJARAHNYA SENDIRI..?!


Adrian Perkasa
338934
Kolonialisme Barat membawa banyak implikasi bagi masyarakat pribumi yang dikoloninya. Tidak hanya kekayaan alam dan kekuasaan politik yang didapatkan, namun juga patron dari modernitas tak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuatan banga Barat khususnya Eropa. Modernitas tentu saja tidak berdiri sendiri, salah satu unsur utamanya adalah ilmu pengetahuan(science). Rasionalitas Barat, yang muncul dan berkembang pasca era Renaissance dan Pencerahan bermuara pada positivisme ilmu pengetahuan pada abad ke–19, secara sengaja maupun tidak diperkenalkan kepada masyarakat pribumi yang menjadi koloni. Jelas porsi yang diperoleh penduduk wilayah koloni adalah sebagai objek. Sejarah mencatat bahwa tidak selamanya bangsa Eropa menguasai daerah jajahannya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, hampir seluruh daerah koloni bangsa Eropa memperoleh kemerdekaan. Walaupun secara politik dapat dikatakan banyak kondisi yang berubah secara signifikan, akan tetapi di beberapa aspek lain kemerdekaan itu patut dipertanyakan. Salah satunya adalah dalam ranah ilmu pengetahuan.

Argumen saya tentang permasalahan ini didasarkan pada tulisan dari Linda Tuhiwai Smith khususnya pada bab pertama dalam bukunya Decolonizing Methodologies. Pertanyaan besar yang dibahas dalam buku ini sebenarnya adalah tentang penelitian beserta komponen intinya yaitu metodologi. Apabila dilakukan simplifikasi tentang permasalahan ini, pertanyaannya adalah mungkinkah dengan ilmu pengetahuan dus metodologi yang dimiliki dan diperkenalkan oleh bangsa Barat masih relevan untuk diterapkan ketika bangsa pribumi berkehendak menjelaskannya melalui cara dan metodenya sendiri? Lebih khusus lagi mungkinkah bangsa pribumi menjadi subjek atas ilmu pengetahuan dan metodologinya sendiri? Memang secara sekilas jika kita membaca buku ini mulai awal hingga akhir kesan pertama yang kita dapatkan adalah Smith menulis dengan semangat anti terhadap penelitian. Menurut argumennya penelitian dan khususnya metodologi yang kita pakai dari bangsa Barat pasti akan mengalami kegagalan untuk menjadikan bangsa pribumi sebagai subjek. Namun jika kita mengamati secara cermat apa yang ditulis oleh Smith ini lebih merupakan suatu sejarah tentang penelitian masyarakat pribumi. Hal ini dipertegas oleh Smith pada bagian pengantar bukunya.

Penjelasan dari argumen Smith dapat dilihat pada bab pertama buku ini. Kutipan pada awal dan akhir bab ini juga menjelaskan pertanyaan besar yang dikemukakan oleh Smith, bagaimana mungkin peralatan atau perkakas sang empunya rumah digunakan untuk membongkar(dismantle) rumahnya sendiri? Logika dalam berpikir secara ilmiah ini terartikulasikan melalui empat konsep penting yang menjadi bahasa utama bab ini, yaitu imperialisme, sejarah, menulis, dan teori. Konsep–konsep inilah yang problematis bagi masyarakat pribumi. Lebih lanjut Smith mengaggap bahwa konsep–konsep ini telah membawa pengetahuan, budaya, hingga bahasa pribumi didiamkan dalam wujud dimisrepresentasi, ditertawakan, diejek dalam diskursus populer maupun akademik.

Imperialisme dalam pengertian Smith di sini tidak hanya berbicara tentang ekspansi ekonomis saja, menundukkan sang liyan, maupun aktivitas global suatu bangsa dalam arti yang luas khususnya bangsa Eropa pada era modern. Imperialisme yang dimaksud di sini adalah tentang suatu diskursus pengetahuan dan perkembangannya. Lebih khusus lagi bagaimana imperialisme telah menjangkau alam pikiran masyarakat yang selama ini terjajah. Pada akhirnya ketika masa kolonialisme berakhir maka muncul para aktivis pemikir yang berusaha melakukan perlawanan terhadap imperialisme seperti Frantz Fanon, Gayatri Spivak dan lainnya yang memperkenalkan studi poskolonialisme. Dalam istilah lain studi ini sering disebut juga penulisan dari yang selama ini terpinggirkan atau termarginalkan. Maka muncul beragam konsen dan topik penelitian yang berfokus pada masyarakat pribumi mulai dari hak asasi, perbudakan, sampai yang termutakhir misalnya tentang pasar bebas dalam World Trade Organization atau WTO (dalam bahasa Smith masih ditulis GATT yang kita kenal sebagai embrio WTO).

Sedangkan dari tiga konsep lainnya tentang sejarah, menulis, dan teori, Smith merangkum dalam beberapa ide tentang kritik sejarah Barat yang dianggap sebagai proyek kaum modernis. Ide –ide tersebut antara lain ide bahwa sejarah adalah diskursus totalitas. Ide bahwa adanya suatu sejarah yang universal. Ide bahwa sejarah adalah sebuah kronologi besar. Ide bahwa sejarah adalah sesuatu tentang perkembangan. Ide bahwa sejarah adalah tentang aktualisasi diri manusia sebagai subjek. Ide bahwa sejarah adalah cerita  yang bisa dirangkum dalam satu narasi yang koheren. Ide bahwa sejarah adalah suatu disiplin yang tidak kenal salah. Ide bahwa sejarah dikategorikan dalam suatu oposisi biner. Ide bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat patriarki. Ide penting lainnya adalah bagaimana interseksi antar ide ini tentang konsep penting lainnya misalnya tentang literasi. Dalam simpulan bab ini, Smith membawa kita pada suatu saran tentang pentingnya memiliki pemahaman yang kritis terhadap penelitian dan komponen–komponennya, tidak hanya teknisnya tetapi juga secara konseptual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar