Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

ADA APA DENGAN PERIODE TAHUN 1950–AN..?


Adrian Perkasa
338934
Penulisan sejarah nasional Indonesia sebelum maupun sesudah reformasi menyisakan beberapa masalah. Salah satu masalah yang menjadi perhatian artikel yang ditulis oleh Adrian Vickers adalah tentang periode tahun 1950–an yang sering terpinggirkan dibanding misalnya periode tahun 1965–an. Padahal menurut penulis periode tahun 1950–an penting dikaji dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia karena selain untuk memahami seperti apa sistem politik yang paling cocok bagi negara Indonesia dalam kajian ilmu politik seperti yang dikemukakan oleh Ruth McVey, periode ini juga menjadi salah satu kunci untuk melihat masalah identitas bangsa Indonesia sendiri tentang bagaimana lahirnya dan apa yang ada dalam benak masyarakat Indonesia tentang bangsanya. Dalam ulasan ini, pengulas akan mengikuti penjelasan dari penulis artikel ini tentang urgensi pembahasan periode tahun 1950–an sembari memberikan percikan–percikan pemikiran yang muncul dari pengulas. Walaupun terdapat risiko akan berkelindan, namun pengulas berusaha tetap membedakan penjelasan yang pengulas dapatkan dari penjelasan Adrian Vickers dan yang mana bukan darinya.

Harus diakui seperti yang dijelaskan oleh Vickers bahwa periodesasi tahun 1950–an sendiri masih kabur. Ada yang menyatakan berlakunya sistem demokrasi parlementer hingga berakhrirnya sistem tersebut, tak sedikit pula yang memasukkan era ini sebagai satu kesatuan dengan masa revolusi seperti yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno. Merujuk pada buku Sejarah Nasional Indonesia, periode tersebut rupanya dimasukkan ke dalam satu jilid dengan tema besar masa revolusi dimana terdapat juga masa Jepang, seputar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkan oleh Soekarno. Pengulas sendiri melihat pentingnya periode ini khususnya ketika melihat bagaimana perkembangan dari militer sendiri, antara warisan dari didikan militer Belanda dengan militer bentukan Jepang. Lebih dari sekedar melihat perbedaan antara mereka, namun bagaimana militer sendiri memaknai Indonesia dan politik yang sedang berkembang ketika itu. Tak bisa dipungkiri bahwa pada periode ini terdapat polarisasi kekuatan politik yang ada tanpa ada dominasi yang kuat dimiliki oleh kekuatan tertentu. Bahkan dalam militer sendiri.

Kembali pada penjelasan Vickers, dominasi militer dan berkembangnya politik pada masa Orde Baru seringkali disebutkan merupakan replikasi dari pemerintahan kolonial. Hal tersebut menurut penulis berasal dari tradisi para peneliti dari tradisi Cornell yang orthodoks. Realitanya penjelasan dari para sarjana dengan tradisi ini pada umumnya melompati banyak babakan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia terutama juga pengabaian era 1950–an. Memang pengulas bisa memahami mengapa penjelasan yang melompat–lompat itu bisa terjadi karena kebanyakan sarjana dari tradisi Cornell tersebut berasal dari sarjana–sarjana pionir peneliti tentang Indonesia yang berlatar belakang ilmu politik maupun hubungan internasional seperti Benedict R.O.G.Anderson. Argumen yang dibangun oleh Ben Anderson maupun para sarjana ini melihat bahwa asal–usul bangsa Indonesia ini telah ada sejak masa kolonial Hindia Belanda. Pendapat seperti ini didukung oleh tulisan –tulisan para intelektual bumiputera seperti Muhammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA, dan lainnya.

Memang Muhammad Yamin dan HAMKA sendiri banyak menulis tentang seperti apa kebangsaan Indoneisa itu. Muhammad Yamin dikenal dengan karya sastra maupun sejarahnya tentang Indonesia yang sangat menonjolkan peran dari kerajaan–kerajaan pra Islam khususnya Majapahit. Kebesaran Majapahit dilihatnya merupakan awal dari tumbuhnya suatu kesatuan diantara daerah–daerah yang ada di kepulauan dan diikat bersama di bawah panji satu kerajaan. Bahkan menurutnya, bendera sang saka merah putih telah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Pemikiran dari Yamin ini telah mengemuka terutama sejak masa mudanya dimana ia terlibat aktif dalam Kongres Pemuda II yang dihelat pada tahun 1928. Menurut penulis artikel ini, tak dapat dipungkiri kedekatan minatnya terhadap sejarah masa lalu Jawa, salah satunya terbentuk karena pendidikan formalnya lebih banyak dihabiskan di Jawa daripada di Sumatera, tanah kelahirannya.

Berbeda dengan Yamin, HAMKA lebih berorientasi pada keislamannya terlebih dahulu setelah itu baru berbicara tentang nasionalisme dan ke–Indonesia–an. Dari penjelasan artikel ini dapat kita ketahui bahwa HAMKA menolak suatu kebangsaan yang bersifat melebihkan bangsanya atas bangsa lain atau chauvinisme seperti yang ada dalam tulisan–tulisan Yamin. Ide tentang nasionalisme bagi HAMKA memang berawal dari ide tentang pan Islamisme dimana menuntut kebersatuan umat Islam untuk memperbaiki dirinya sendiri dalam melawan ketertindasan dan kebodohan. Karena pengalamannya dalam organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan berkeliling ke beberapa daerah di Hindia Belanda, maka terciptalah suatu perasaan menghargai karakteristik kedaerahan yang ada di kepulauan ini. Ia juga mengikuti argumen dari Ki Hajar Dewantara yang menganggap bahwa kebudayaan Indonesia merupakan puncak–puncak kebudayaan dari berbagai daerah.

Namun pandangan –pandangan umum semacam ini mendapat tentangan dari William O’Malley. Hipotesis dari O’Malley seperti yang dikutip dalam artikel ini menyatakan bahwa gerakan nasionalis tidak sebesar atau sepenting apa yang dituliskan dalam historigrafi baik Barat maupun Indonesia. Terdapat banyak contoh tentang keterputusan antara kaum nasionalis yang melakukan pergerakan khususnya di tingkat nasional dengan kenyataan rakyat jelata di tingkat lokal. Seperti pada penelitian yang dilakukan penulis di Bali maupun korespondensi dengan William Frederik tentang Surabaya, argumen dari O’Malley ini tampak menunjukkan kebenarannya bahwa memang terdapat jurang pemisah antara pemimpin pergerakan dengan anggota masyarakat lainnya. Anasir–anasir yang sering disebut para pejuang revolusioner baru benar–benar muncul setelah proklamasi kemerdekaan Republik. Apabila konsekuen mengikuti sejarah lokal di beberapa daerah di Indonesia, maka negara modern yang bernama Indonesia baru ada sejak penyerahan kedaulatan dan bangsa yang bernama Indonesia baru mengikuti keberadaan negara itu sejak tahun 1950–an.

Apa yang ditulis Adrian Vickers dalam artikel ini membawa pemahaman menarik bagi para sejarawan untuk menuliskan kembali periode tahun 1950–an dengan perspektif yang lebih segar dan berwarna khususnya memperhatikan sisi lokalitas yang ada di Indonesia. Selain itu argumen kontinuitas yang sering didapati dalam beberapa historiografi Indonesia dari masa revolusi hingga munculnya orde baru rupanya juga harus berbagi tempat dengan adanya diskontinuitas di banyak babakan sejarah. Seperti yang dituliskan oleh penulis di akhir artikel ini yang menunjukkan bagaimana perkembangan penulisan sejarah pasca 1965 yang begitu berbeda dalam melihat para pemimpin di tahun 1950–an yang tersingkirkan. Di sinilah kemudian berbagai kemungkinan untuk melihat periode terbentuknya bangsa Indonesia dapat digali lebih dalam lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar