Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Menguasai Sejarah, Menekuni, Bahasa, Menaklukan Jajahan


Menguasai Sejarah, Menekuni, Bahasa, Menaklukan Jajahan[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 3)


De taal is macht...
(Karel Frederik Holle)

Pada abad ke-19 hingga medio pertama abad ke-20, langgengnya kolonialisme di berbagai tanah jajahan mulai dari benua Amerika, Afrika, hingga Asia bukan sekedar bermodalkan karena mapannya kekuasaan politik. Tatkala ekonomi menumbuh dan politik kian menubuh, maka memasuki abad ke-19 perhatian kolonialisme lebih digiatkan di bidang pengetahuan, khususnya etnografi. Sebagai cikal bakal antropologi, bidang ini mulai memetakan bahasa, geografi, dan ragam manusia (taal, land, en volkenkunde) di tanah jajahannya berikut sejarah dan kebudayaannya.
Sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 ini, identitisikasi sosial dan budaya sendiri makin berkembang dan berubah pelik seiring bergulirnya kondisi zaman. Perkembangan ini sendiri lebih dilahirkan dari rahim kepentingan politik kolonial. Manusia di tanah jajahan berikut sejarah dan kebudayaannya pun diteliti semata-mata bukan untuk sekedar menghasilkan studi etnologi saja, tapi lebih dari itu, semua ini lebih pada proyek politik kekuasaan pemerintah kolonial melalui kerja dan karya para sarjananya.
Dalam hal ini, sejarah dan bahasa menjadi dua saluran penting untuk memapankan eksistensi kolonial. Dengan kata lain, kata-kata George Orwell setidaknya terbunyikan : “siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa kini ; dan yang menguasai masa kini akan menguasai masa depan.” Selain itu, bahasa-bahasa di tanah jajahan, seperti dibilang linguis Holle, perlu dikuasai juga sebagai kekuatan (macht) untuk memahami karakter manusia di tanah jajahannya. Pentingnya penguasaan sejarah dan bahasa inilah yang setidaknya tersirat dari tulisan Coolhaas bertajuk Sekitar Sedjarah Kolonial dan Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa (1971).
Seperti disiratkan Coolhaas dari kata-kata de Jonge (hal. 9), bahwa dengan bekal ilmu bahasa, ilmu bumi, dan ilmu bangsa-bangsa pribumi, pemerintah kolonial dapat menentukan posisinya sebagai penguasa atas dunia jajahannya. Walhasil, kata-kata de Jonge itu terbukti. Hampir secara serempak, politik kolonial  Eropa berhasil menancapkan kuku kuasanya mulai dari Asia, Afrika, Amerika, hingga Pasifik. Tak heran Inggris mampu menguasai hampir seluruh permukaan dunia buah dari ketekunannya mengembangkan politik sejarah dan bahasa di tanah-tanah koloninya.
Pun halnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Meski hegemoninya tidak semasif Inggris, Belanda tak kalah serius meneliti Hindia Belanda sebagai aset politik dan ekonominya. Riset sejarah dan bahasa (inlandsche taal) para sarjana yang disponsori lembaga semisal Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menjadi bukti, bahwa proyek-proyek ilmu pengetahuan berkontribusi penting juga memapankan kekuasaan politik kolonial di Hindia Belanda.
Tak heran para sarjana kolonial seperti sejarawan akademisi dan amatir mulai dari Valentijn, Raffles, de Jonge, Hageman, hingga de Graaf serta para linguis seperti Herman N. van der Tuuk, Rigg, K.F. Holle, Juynboll, Oosting, dan Coolsma, mendalami dunia jajahannya secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Punggawa bahasa Nusantara, van der Tuuk, misalnya, menjadi  penguasa bahasa Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Sunda, Bali, dan Jawa Kuno. Karya besarnya, Kamus Batak – Belanda (Bataksch-Nederduitsch Woordenboek [1861]) hingga saat ini masih menjadi rujukan terandal bagi siapa saja yang meneliti budaya Batak.
Dengan menguasai bahasa-bahasa di tanah jajahannyalah Tuuk dapat menguasai seluk-beluk pengetahuan (tradisi, budaya, adat, hingga mentalitas) rakyat pribumi. Dalam konteks kolonial, bentuk penguasaan ini adalah sejenis penjinakan bahkan pengadaban rakyat pribumi agar bisa masuk dalam segala kepentingan mereka. Misi-misi kaum kolonialis Eropa, sebutlah dengan memberi pendidikan, kristenisasi, penelitian etnografi, serta menjalin hubungan politik dan ekonomi lokal, dilakukan melalui pengiriman “utusan bahasa” yang salah satunya dimotivasi oleh misi Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG/Perhimpunan Injil Belanda) pada paruh pertama abad 19. Sebagai salah satu utusan itu, van der Tuuk berujar :

“Semua yang telah dikerjakan untuk bahasa-bahasa Nusantara sama sekali tidak berharga, dan tidak akan ada perubahan, selama orang tidak mempelajarinya atas kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri. Orang tidak akan banyak mencapai di segala bidang selama melakukan pekerjaan itu tanpa cinta.” dikutip dari Groeneboer [2002 : 3])”

Sejak pendiriannya pada 1814, NBG telah mencetak ulang terjemahan Alkitab berbahasa Melayu beraksara Arab dan Latin. Disusul dengan menerjemahkan Alkitab berbahasa Jawa seiring mendesaknya kebutuhan politik untuk mengkristenkan Tanah Jawa. Berlanjut pada 1845, diputuskan membuat Injil dalam terjemahan ke dalam bahasa Dayak, bahasa Makasar, bahasa Bugis, dan bahasa Batak. Disusul kebijakan NBG mengirim para “utusan bahasa” seperti B.F. Matthes ke Makasar, van der Tuuk ke tanah Batak, dan A. Haderland ke Dayak untuk juga menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Dayak.    
Selain bidang agama, ”kecintaan” ini pun merasuk juga ke dunia arkeologi. Misalnya C.M. Pleyte, N.J. Krom, C.C. Berg, dan R.A. Kern yang bertugas di Oudheidkundigen Dienst (Dinas Kepurbakalaan) banyak meneliti kebudayaan masa Hindu-Budha. Selain itu, Kern, misalnya juga, berandil memetakan bahasa Austronesia yang membantu para peneliti masa-masa kemudian dalam membahas pertautan sejarah bahasa daerah dengan bahasa di kawasan Asia Pasifik.
Melalui ”pendekatan sejarah dan bahasa” itulah, hubungan kolonial dengan pribumi dicitakan dapat saling memahami. Namun tujuan pokok di baliknya, dengan merangkum pemikiran Coolhaas, semua ini semata-mata agar dapat mengikat emosi masyarakat pribumi supaya yang terjajah bisa masuk serta mendukung segala misi dan kepentingan si penjajah. Strategi sejarah dan bahasa inilah yang menjadi sebab langgengnya kolonialisme yang mewariskan juga konstruksi identitas dan mentalitas bagi anak-anak jajahannya.


[1] Pembacaan atas W.PH. Coolhaas (1971). Sekitar Sedjarah Kolonial dan Sedjarah Indonesia, Sedjarawan dan Pegawai Bahasa. Jakarta: Bhratara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar