Halaman

Senin, 07 Januari 2013

”Kerajaan Tekstual”


”Kerajaan Tekstual”:
Bukan Awal dari Sebuah Akhir[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 4)


”Tidak ada apapun di luar teks”
(Jacques Derrida, Of Grammatology)

Dengan merekam realita dalam sekumpulan teks, berarti seorang penulis telah mereduksi segala obyektivitas kehidupan yang diamatinya. Walhasil sekumpulan teks adalah sekumpulan subyektivitas yang dilahirkan dari berbagai kecenderungan, entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga mentalitas sang penulis menghadapi subyek atau obyek yang ditulisnya. Dengan begini, jelas sudah, yang diabadikan dari kata-kata, tak lebih hanya pengabadian atas alam pikiran sang penulis.
Itulah yang membuat Mary Catherine Quilty menyebut sejarah pengaruh Inggris di Asia Tenggara lebih sebagai “Kerajaan Tekstual.” Dalam bukunya Textual Empire; A Reading of Early British Histories of Southeast Asia (1998), Mary menelisik bagaimana pengaruh teks-teks yang dihasilkan oleh sosok-sosok seperti William Marsden, M. Symes, Thomas Stamford Raffles, John Crawfurd, dan J. Anderson berandil besar menubuhkan citra negeri koloni berdasar perspektif mereka.
Melebihi aspek politik dan militer, modal yang abadi untuk menguasai tanah jajahan adalah menanamkan segala pengetahuan ke dalam karya-karya historiografis. Pengaruh Inggris di Asia Tenggara dilandasi juga oleh modal demikian. Meski pengaruh politiknya tidak selama dan sebesar Belanda di Hindia Timur atau Perancis di Indo-China, Inggris sangat sadar diri untuk menghadirkan diri mereka melalui ”Kerajaan Tekstual”-nya. Hal ini terasa sekali ketika memasuki betapa kuasanya kata-kata sebagai sebuah jalan baru untuk mentransmisikan pengetahuan kepada khalayak pembaca Eropa. Dalam sudut pandang orientalisme, transmisi pengetahuan buah karya orang-orang Inggris ini dilandasi lebih pada kesan bagaimana kawasan Asia Tenggara ’dijinakan.’ Kata ’dijinakan’ bisa hadir dalam benak dan pikiran pembaca melalui teks-teks yang dibacanya. Jika begini, maka para penulis teks telah berhasil menyebarkan gagasan ke pada khalayak pembaca mengenai citra kawasan Asia Tenggara yang terdedahkan dari alam pikirannya, bukan dari realitas sebenarnya. 
Setidak-tidaknya, hal ini terbuktikan dari karya tersohor semisal History of Sumatra-nya Marsden. Sebagai karya yang saintifik bagi para penulis Inggris, karya Marsden ini menjadi semacam model dalam menelaah kawasan Asia Tenggara pada paruh pertama abad 19. Kecenderungan lebih saintifik sendiri sebagaimana dikatakan Michel de Certeau (1988) adalah buah dari hasrat Enlightenment yang merasuk jiwa Eropa pada masa abad 18. Tujuan teks-teks yang dihasilkan Marsden, kemudian diikuti Symes, Raffles, Crawfurd, dan Anderson adalah semacam jalan pencerahan untuk mendidik publik.
Karya-karya orang Inggris di Asia Tenggara sungguh lebih sebagai semacam panduan (handbook) untuk mengubah cara dan kebiasaan hidup masyarakat yang diobservasinya. Mereka melakukan kritik dan komentar terhadap teks-teks terdahulu (abad 16 – 18) yang dirasanya terlalu dangkal atau tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya.
Maka itu, kesan saintifik dengan menelusur detil segala obyek yang ditelaahnya lebih menggejala pada awal abad 19. Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago (1820) terkesan lebih menilai teks-teks terdahulu atas Asia Tenggara lebih banyak diselimuti fiksi. Tapi pada awal abad 19 ia yakin segala fiksi itu dapat ditaklukan oleh realitas melalui pemikiran orang Eropa (seperti dirinya). Tak heran, seperti halnya Crawfurd, Raffles dalam dua jilid magnum opus-nya History of Java, menelaah segala beluk alam Jawa mulai geografi, manusia pribumi, pertanian, flora, fauna, hingga reruntuhan candi secara rinci dilengkapi oleh lukisan dan peta sebagai sarana untuk menayangkan teks-teksnya. Bagi mereka, menjadi lebih saintifik mengesankan semacam kepercayaan diri untuk lebih menjinakan alam Timur secara lebih wibawa dan beradab. Atau dalam kata-kata Crawfurd –saat ia mengomentari candi-candi di Jawa yang dinilainya dibuat ceroboh tanpa imajinasi seni– demi ”menjinakan si ceroboh” (to ’tame’ the ’wanton’).
Keilmiah macam inilah yang dikatakan Foucault dipakai untuk ”membatasi kebebasan wilayah pengalaman dirinya” atas yang ditelitinya. Meski masih ada cara pandang macam Crawfurd, tapi jika dibandingkan dengan para peneliti masa-masa sebelumnya yang terperangkap mentalnya dalam meliyankan si obyek yang ditelitinya, maka generasi awal abad 19 setidaknya lebih proporsional dalam teks-teksnya.  
Sebagai misal pengamatan Marsden dan Anderson atas kanibalisme di kalangan orang Batta (Batak) yang mewanti-wanti pembaca untuk lebih bijak memahaminya. Keduanya tidak menemukan citra dan cerita berlebihan yang dilekatkan oleh laporan para petualang sebelumnya (old travellers). Anderson bahkan lebih berimbang dengan menekankan adanya sisi-sisi eksotik di balik kengerian citra dan cerita yang ia terima sebelumnya. Pun ini dilakukan juga oleh Crawfurd saat mengomentari tentang citra dan cerita tradisi pengorbanan janda (suttee) di Bali yang tak pernah ia saksikan. Justru citra dan cerita suttee ia dapati dari banyak orang-orang di luar Bali.
”Kerajaan Tekstual” para peneliti Inggris paruh pertama abad 19 memang memberi nuansa berbeda melalui pengilmiahan gaya narasi mereka atas sejarah Asia Tenggara. Meski begitu, sebagaimana juga mereka mengeluarkan dunia pengetahuan dari teks-teks lama dan memasukan dunia mereka sendiri dalam teks-teks barunya, ini memberi kesan bahwa ”Kerajaan Tekstual” mereka bukanlah awal dari sebuah akhir.
Jejak teks-teks mereka memang kian menua. Jika meminjam arkeologi pengetahuan-nya Foucault, akankah teks-teks mereka memfosil dilumat oleh ”Kerajaan Tekstual” baru yang bisa menandingi mereka?   


[1] Pembacaan atas Mary Catherine Quilty. 1998. “Natural Histories: The New Ways of Knowing” dalam Textual Empire; a Reading of Early British Histories of Southeast Asia. Monash: Monash University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar