Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

“Memuliakan, menguntuk, dan mengangkat kembali pahlawan nasional: Kasus Tan Malaka oleh Harry A. Poeze” - Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia


Nama                    : Septi Utami
No. Mahasiswa    :12/339799/PSA/7354


            Secara garis besar buku ini ingin menghadirkan kembali tulisan historiografi Indonesia yang selama ini dinilai kurang dalam melihat sejarah masyarakat Indonesia sepenuhnya. Hal ini yang kemudian dicoba untuk mencari nilai kesejarahan dengan cara memulai pengenalan tulisan sejarah di masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, dan saat ini. Di dalam bab 7 Harry A. Poeze mencoba memulai tulisannya dengan melihat sejarah yang berdasarkan pelakunya. Poeze sejak dahulu sangat berkonsentrasi pada pemikiran dan pemahaman dari Tan Malaka, seperti tulisannya yang berjudul “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1925-1945” dan juga “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia” yang terbagi menjadi 2 jilid. Poeze mencoba menelisik perjalanan Tan Malaka yang sejak masa mudanya sangat tercurah di dalam membangun suatu negara yang bebas penjajah. Sikap nasionalisme Tan Malaka dinilai sangat berpengaruh karena gerakan kiri yang dianutnya membawa dia berfikir keras dan melawan terhadap penjajahan. Pengaruh Marxis memberikan pengetahuan yang lebih dalam dari seorang Tan Malaka untuk menentang segala tindak penyelewengan terhadap segala bentuk penindasan.
Dalam dekade pertama Poeze menggambarkan Tan Malaka sebagai pejuang yang tersingkir karena gerakan kirinya. Akan tetapi, pada saat Indonesia membutuhkan orang berani dan tegas terhadap penumpasan penjajah Tan Malaka dihadirkan oleh Soekarno sebagai sosok yang sangat berfikir kuat untuk membangun suatu negara. Sepenggal kalimat Tan Malaka yang sangat digemari saat itu seperti “100 persen merdeka” dan “Tak ada kompromi dengan pisau di dada” telah membangkitkant semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk turut mendukung atas kebebasan bernegara. Di dalam dekade selanjutnya, setelah Tan Malaka menemui ajalnya pada tahun 1949 cerita Tan Malaka seperti tertutup oleh kekuasaan-kekuasaan elite- pemerintahan. Walaupun ada sebagaian yang menganggap Tan Malaka sebagai guru nasionalis, seperti Hatta serta Yamin, namun hal ini tidak pernah membawa Tan Malaka menjadi seseorang yang dikenal di dalam kalangan pelajar sebagai pahlawan. Dan di masa orde baru, nama Tan Malaka hanya hidup dalam ingatan para pengikutnya saja. Hal ini sengaja di tutup-tutupin oleh pemerintahan orde baru karena sebagai bentuk perlawanan terhadap PKI. Akan tetapi, hal ini semata-mata tidak mampu memberikan jawaban kepastian karena berdasarkan sumber-sumber yang ada Tan Malaka sangat menolak sifat pemberontakan PKI. Dengan tegas Tan Malaka menyingkir dari pemahaman PKI yang mencoba melakukan pemberontakan pada tahun 1920-an di Madiun. Pada masa orde baru ini Tan Malaka dinilai bukan termasuk pahlawan pergerakan, padahal banyak sekali karya-karya serta sumbangsih Tan Malaka terhadap terbentuknya negara Indonesia.
Pada masa ini nama Tan Malaka kembali dihadirkan sebagai sosok pahlawan yang sangat tangguh dan terhormat. Diberikan gambaran seorang Datuk Ibrahim-Tan Malaka sebagai seorang yang sangat cinta pada impian negara kesatuan. Kehidupannya yang selalu menjadi buron dari berbagai kalangan, telah memberi jiwa Tan sebagai jiwa yang bebas tanpa belenggu keluarga maupun sanak saudara. Hidup perantauan benar-benar dijalankan oleh Tan sebagai pegangan hidup yaitu, seorang yang mandiri. Kegemaran Tan menulis membawa pemahamannya sangat dihargai sekarang, tulisan-tulisan seperti Madilog membawa para sejarawan untuk beramai-ramai meneliti tentang pemikiran Tan. Banyak penulis yang saat ini secara bebas tanpa hadangan dari pemerintah menulis sosok Tan sebagai seorang Pahlawan. Bahkan ada suatu bentuk pertemuan di kampungnya Tan- Payakumbuh untuk mengenang Tan dan juga ada organisasi-organisasi yang berfokus pada Tan Malaka sebagai pemikir rasional yang bersifat sosialis.
Peninggalan Tan yang hanya berupa cerita, buku, serta kenang-kenangannya secara tidak langsung yang terlibat dalam pemikir-pemikir kaum nasionalis memberi nuansa baru bagi seorang sejarawan dalam mencari tahu semangat Tan lain dalam pembangunan suatu bangsa besar. Secara garis besar negara sudah diciptakan oleh kalangan-kalangan besar seperti Soekarno-Hatta, akan tetapi ciptaan bangsa sebagai jati diri belum pernah ditemukan. Hal ini yang membawa para penulis mencoba memulai tulisan dengan hal-hal yang kecil namun memberi pengaruh besar. Seorang pemikir Tan bukanlah hanya sosok pemikir kiri yang radikal, namun pemikir dari sosok Tan sangat ditakuti oleh beberapa pihak, baik dari kolonial maupun dari bangsa sendiri-TNI. Walaupun secara umum gamabaran sosok Tan Malaka sudah dimulai dari Poeze, namun sampai saat ini belum ada yang mencoba membuka peranan Tan secara langsung dalam membentuk Indonesia karena Tan jarang sekali ditemukan sebagai orator handal dimana sikap Tan yang selalu tersembunyi dan bukan sebagai sosok digemari. Hal lain yang sampai saat ini belum dapat diceritakan adalah tentang kematian Tan yang misterius. Akan tetapi, tulisan-tulisan Poeze tentang Tan telah membangkitkan semangat baru bagi sejarawan untuk menulis ulang historiografinya kembali di dalam melihat sesosok seorang pahlawan.
Lebih lanjut di dalam bab 7 ini menceritakan tentang semangat juang para pengikut Tan dengan menghadirkan partai Murba bentukan Tan. Partai ini dijelaskan oleh Poeze jarang sekali digemari oleh rakyat kebanyakan, akan tetapi partai ini tetap hidup dalam semangat dan juga ingatan pengikutnya. Sosok Tan yang termakan oleh aturan-aturan politk kenegaraan lah yang membentuk partai Murba serta Tan jarang digemari. Akan tetapi, pasca orde baru keruntuhan tentang pendapat ini sudah terlihat, karena banyak sekali para sejarawan sudah menulis Tan dalam studinya. Berbeda saat masa Soeharto yang mana Tan sangat disembunyikan, dan juga masa Soekarno tahun 1950-an, Tan pun tidak diingat menjadi pahlawan nasional. Akan tetapi, pada saat pasca orde baru lah Tan Malaka yang kita kenal saat menjadi sumber referensi dalam membangun dekolonisasi sejarah Indonesia, karena historiorafi indonesia hanya berkisar pada penulisan kembali sejarah dari sudut Eropa menjadi Indonesia. Akan tetapi, apabila kita mampu mencari pemahaman Tan tentang membentuk negara maka jati diri Indonesia sebagai bangsa akan mulai terbangun. Hal inilah yang menurut saya, sebagai sikap nasionalis dari seorang pelajar dimana peranannya sebagai penerus bangsa agar dapat memberikan jati diri bangsanya. Bukan hanya sikap revolusionislah yang menggambarkan nasionalisme karena sikap ini hanya terlihat mapan pada saat perlawanan dengan bangsa asing, namun tidak cocok dalam perlawanan bangsa sendiri.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar