Nama : Septi Utami
No. Mahasiswa :12/339799/PSA/7354
Secara
garis besar buku ini ingin menghadirkan kembali tulisan historiografi Indonesia
yang selama ini dinilai kurang dalam melihat sejarah masyarakat Indonesia
sepenuhnya. Hal ini yang kemudian dicoba untuk mencari nilai kesejarahan dengan
cara memulai pengenalan tulisan sejarah di masa pra kemerdekaan, pasca
kemerdekaan, dan saat ini. Di dalam bab 7 Harry A. Poeze mencoba memulai
tulisannya dengan melihat sejarah yang berdasarkan pelakunya. Poeze sejak
dahulu sangat berkonsentrasi pada pemikiran dan pemahaman dari Tan Malaka,
seperti tulisannya yang berjudul “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik,
1925-1945” dan juga “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia” yang
terbagi menjadi 2 jilid. Poeze mencoba menelisik perjalanan Tan Malaka yang
sejak masa mudanya sangat tercurah di dalam membangun suatu negara yang bebas
penjajah. Sikap nasionalisme Tan Malaka dinilai sangat berpengaruh karena
gerakan kiri yang dianutnya membawa dia berfikir keras dan melawan terhadap
penjajahan. Pengaruh Marxis memberikan pengetahuan yang lebih dalam dari seorang
Tan Malaka untuk menentang segala tindak penyelewengan terhadap segala bentuk
penindasan.
Dalam dekade
pertama Poeze menggambarkan Tan Malaka sebagai pejuang yang tersingkir karena
gerakan kirinya. Akan tetapi, pada saat Indonesia membutuhkan orang berani dan
tegas terhadap penumpasan penjajah Tan Malaka dihadirkan oleh Soekarno sebagai
sosok yang sangat berfikir kuat untuk membangun suatu negara. Sepenggal kalimat
Tan Malaka yang sangat digemari saat itu seperti “100 persen merdeka” dan “Tak
ada kompromi dengan pisau di dada” telah membangkitkant semangat perjuangan
rakyat Indonesia untuk turut mendukung atas kebebasan bernegara. Di dalam
dekade selanjutnya, setelah Tan Malaka menemui ajalnya pada tahun 1949 cerita
Tan Malaka seperti tertutup oleh kekuasaan-kekuasaan elite- pemerintahan.
Walaupun ada sebagaian yang menganggap Tan Malaka sebagai guru nasionalis,
seperti Hatta serta Yamin, namun hal ini tidak pernah membawa Tan Malaka
menjadi seseorang yang dikenal di dalam kalangan pelajar sebagai pahlawan. Dan
di masa orde baru, nama Tan Malaka hanya hidup dalam ingatan para pengikutnya
saja. Hal ini sengaja di tutup-tutupin oleh pemerintahan orde baru karena
sebagai bentuk perlawanan terhadap PKI. Akan tetapi, hal ini semata-mata tidak
mampu memberikan jawaban kepastian karena berdasarkan sumber-sumber yang ada
Tan Malaka sangat menolak sifat pemberontakan PKI. Dengan tegas Tan Malaka
menyingkir dari pemahaman PKI yang mencoba melakukan pemberontakan pada tahun
1920-an di Madiun. Pada masa orde baru ini Tan Malaka dinilai bukan termasuk
pahlawan pergerakan, padahal banyak sekali karya-karya serta sumbangsih Tan
Malaka terhadap terbentuknya negara Indonesia.
Pada masa ini
nama Tan Malaka kembali dihadirkan sebagai sosok pahlawan yang sangat tangguh
dan terhormat. Diberikan gambaran seorang Datuk Ibrahim-Tan Malaka sebagai
seorang yang sangat cinta pada impian negara kesatuan. Kehidupannya yang selalu
menjadi buron dari berbagai kalangan, telah memberi jiwa Tan sebagai jiwa yang
bebas tanpa belenggu keluarga maupun sanak saudara. Hidup perantauan
benar-benar dijalankan oleh Tan sebagai pegangan hidup yaitu, seorang yang
mandiri. Kegemaran Tan menulis membawa pemahamannya sangat dihargai sekarang,
tulisan-tulisan seperti Madilog membawa para sejarawan untuk beramai-ramai
meneliti tentang pemikiran Tan. Banyak penulis yang saat ini secara bebas tanpa
hadangan dari pemerintah menulis sosok Tan sebagai seorang Pahlawan. Bahkan ada
suatu bentuk pertemuan di kampungnya Tan- Payakumbuh untuk mengenang Tan dan
juga ada organisasi-organisasi yang berfokus pada Tan Malaka sebagai pemikir
rasional yang bersifat sosialis.
Peninggalan Tan
yang hanya berupa cerita, buku, serta kenang-kenangannya secara tidak langsung
yang terlibat dalam pemikir-pemikir kaum nasionalis memberi nuansa baru bagi
seorang sejarawan dalam mencari tahu semangat Tan lain dalam pembangunan suatu
bangsa besar. Secara garis besar negara sudah diciptakan oleh kalangan-kalangan
besar seperti Soekarno-Hatta, akan tetapi ciptaan bangsa sebagai jati diri
belum pernah ditemukan. Hal ini yang membawa para penulis mencoba memulai
tulisan dengan hal-hal yang kecil namun memberi pengaruh besar. Seorang pemikir
Tan bukanlah hanya sosok pemikir kiri yang radikal, namun pemikir dari sosok
Tan sangat ditakuti oleh beberapa pihak, baik dari kolonial maupun dari bangsa
sendiri-TNI. Walaupun secara umum gamabaran sosok Tan Malaka sudah dimulai dari
Poeze, namun sampai saat ini belum ada yang mencoba membuka peranan Tan secara
langsung dalam membentuk Indonesia karena Tan jarang sekali ditemukan sebagai
orator handal dimana sikap Tan yang selalu tersembunyi dan bukan sebagai sosok
digemari. Hal lain yang sampai saat ini belum dapat diceritakan adalah tentang kematian
Tan yang misterius. Akan tetapi, tulisan-tulisan Poeze tentang Tan telah
membangkitkan semangat baru bagi sejarawan untuk menulis ulang historiografinya
kembali di dalam melihat sesosok seorang pahlawan.
Lebih lanjut di
dalam bab 7 ini menceritakan tentang semangat juang para pengikut Tan dengan
menghadirkan partai Murba bentukan Tan. Partai ini dijelaskan oleh Poeze jarang
sekali digemari oleh rakyat kebanyakan, akan tetapi partai ini tetap hidup
dalam semangat dan juga ingatan pengikutnya. Sosok Tan yang termakan oleh
aturan-aturan politk kenegaraan lah yang membentuk partai Murba serta Tan
jarang digemari. Akan tetapi, pasca orde baru keruntuhan tentang pendapat ini sudah
terlihat, karena banyak sekali para sejarawan sudah menulis Tan dalam studinya.
Berbeda saat masa Soeharto yang mana Tan sangat disembunyikan, dan juga masa
Soekarno tahun 1950-an, Tan pun tidak diingat menjadi pahlawan nasional. Akan
tetapi, pada saat pasca orde baru lah Tan Malaka yang kita kenal saat menjadi
sumber referensi dalam membangun dekolonisasi sejarah Indonesia,
karena historiorafi indonesia hanya berkisar pada penulisan kembali sejarah
dari sudut Eropa menjadi Indonesia. Akan tetapi, apabila kita mampu mencari
pemahaman Tan tentang membentuk negara maka jati diri Indonesia sebagai bangsa
akan mulai terbangun. Hal inilah yang menurut saya, sebagai sikap nasionalis
dari seorang pelajar dimana peranannya sebagai penerus bangsa agar dapat memberikan
jati diri bangsanya. Bukan hanya sikap revolusionislah yang menggambarkan nasionalisme
karena sikap ini hanya terlihat mapan pada saat perlawanan dengan bangsa asing,
namun tidak cocok dalam perlawanan bangsa sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar