Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

Anthony H. Johns, 1964, The Role of Structural Organization and Myth in Javanese Historiography, The Journal of Asian Studies, Vol. 24. No. 1. (Nov., 1964), pp. 91-99


Ghifari Yuristiadhi 

Jurnal ini membahas tentang perbandingan antara dua babad yang menjadi sumber dari historiografi Jawa yakni Kitab Pararaton yang mengisahkan tentang raja-raja Singhasari dan Babad Tanah Jawi yang menceritakan tentang raja-raja Mataram Islam. Anthony H. Johns yang merupakan ahli dalam bidang historiografi Jawa khususnya literatur Islam Jawa, melihat bahwasanya banyak tulisan sejarah yang menggambarkan Jawa dan Melayu pada masa lalu sulit untuk dilakukan kritik ataupun dievaluasi khususnya dalam kebenaran cerita pembuka dari kedua sumber itu (hlm 91). Sesuai dengan judulnya, jurnal ini mencoba memaparkan struktur organisasi yang diilhami oleh kebudayaan yang berkembang ketika tulisan itu ditulis dan sisi-sisi mitos yang berkembang dalam penulisan sejarah Jawa termasuk alur ceritanya (hlm 92). Dua pembahasan utama itu dipaparkan secara bergantian dan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan apakah kedua sumber penulisan historiografi Jawa itu sejenis pola tulisannya.

Sebelum masuk kepada pembahasan tentang Kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawi, Anthony H. Johns memulai dengan memberi contoh sisi mistisme yang ada dalam The Sejarah Melayu khusunya dalam pembukaan cerita. Buku sejarah itu dibuka dengan cerita kedatangan Alexander the Great ke India yang akhirnya mengalahkan Raja Kida Hindi, penguasa India dan menikahi anak perempuannya. Singkat cerita, Alexander the Great ingin meluaskan daerah kekuasaannya hingga semenanjung Melayu dan Thailand. Sepanjang perjalanan, di setiap tempat yang dikuasai, dia menikahi anak perempuan penguasa dalam rangka menaklukkan sebuah wilayah. Salah satu anak Alexander the Great muncul sebagai Gunung Seguntang di Sumatera Utara saat ini. Pola-pola aliansi melalui pernikahan (marital alliance) ini salah satu yang menjadi penciri historiografi di Jawa maupun Melayu (hlm 91).

Kitab Pararaton berfokus pada cerita perjalanan Ken Angrok, pendiri kerajaan Singhasari dan Majapahit, sebelum dia naik tahta pada 1222. Di awal tulisan, dikisahkan bahwa Ken Angrok yang merupakan reinkarnasi dari seseorang yang dikorbankan untuk Yamadipati dalam rangka menyalamatkan banyak orang dari kematian. Atas kerelaan berkorban, Ken Angrok akan dijanjikan masuk surga Dewa Wisnu dan akan diturunkan menjadi penguasa Singhasari. Janji itu ternyata tidak meleset. Ken Angrok diturunkan sebagai anak seorang petani oleh dewa Brahma. Ayah Ken Angrok meninggal hanya lima hari setelah kelahirannya. Ketika itu tubuhnya yang berkilau cahaya diletakkan di atas makam ayahnya hingga ada seorang pencuri lewat yang bernama Ki Lembong (hlm 92).

Dalam asuhan Ki Lombong ini, Ken Angrok tumbuh menjadi seorang pemuda yang matang namun saying mempunyai perilaku yang buruk. Karena dididik oleh seorang pencuri, Ken Angrok pun tumbuh menjadi seorang yang gemar berjudi, merampok dan mencuri. Karena dimusuhi oleh masyarakat di sekitarnya, Ken Angkrok memilih menyingkir untuk mencari perlindungan. Bertemulah ia dengan Bango Samparan, seorang sakti yang kemudian dia tahu dari perbincangannya dengan Batara Guru (Siwa) bahwa seseorang yang datang kepadanya kelak akan membawa stabilitas dan kejayaan Jawa. Untuk itu Bango Samparan mengantarkan Ken Angrok ke Lohgawe, seorang pendeta Hindu yang mendapatkan tugas spesifik dari Wisnu yakni untuk membantu Wisnu bereinkarnasi ke dalam tubuh Ken Arok. Lohgawe inilah yang kemudian mengantarkan Ken Angrok kepada Tunggul Ametung, raja Tumapel. Lohgawe juga menceritakan bahwa istri Tunggul Ametung yakni Ken Dedes adalah pemilik rahim bercahaya dan barangsiapa bisa memilikinya, maka ia akan menjadi Cakrawartin (raja di raja) (hlm 93).

Dari Kitab Pararaton Anthony H. Johns melihat bahwa orang Jawa memiliki pandangan tersendiri atas kedudukan raja. Orang Jawa memandang, proses perjalanan seseorang dari masa lalu menuju masa kini dan masa depan berada dalam wilayah makrokosmos. Hal ini juga yang terjadi pada raja-raja Jawa. Mereka sebenarnya berada di wilayah makrokosmos karena mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang biasa, namun proses ceritanya seperti halnya yang ada dalam Kitab Pararaton seringkali dimulai dengan menjadi orang biasa, berpetualang, mengembara hingga dia dapat mencapai derajat yang tinggi menjadi raja (hlm 94).

Berbeda dengan Kitab Pararaton yang memulia cerita dari reinkarnasi Ken Angkrok, Babad Tanah Jawi memulai cerita dengan menceritakan genealogis dari raja-raja Mataram Islam yang merupakan keturunan dari Nabi Adam. Anthony H. Johns melihat proses penceritaan pembuka dari babad ini lebih komplek dibandingkan Pararaton. Babad Tanah Jawi menitik beratkan pada pendirian Mataram Jawa Tengah oleh Senapati pada 1582 dan bergulirnya pemerintahan Mataram khususnya para masa Sultan Agung, cucu dari Senapati. Babad dibuka dengan sinkretis genealogi antara Dewa ummat Hindu dan Nabi ummat Islam, perjalanan turunnya dewa ke bumi, awal mula munculnya kalender dan berinteraksinya sosok Wisnu dengan seluruh penguasa jin dan kekuatan di Jawa. Setelah itu, Babad membahas tentang muncul dan runtuhnya Majapahit (1293-1478) serta munculnya kerajaan Demak, Pajang dan Mataram (1582-1755).

Sisi mitos yang muncul di Babad ini yakni ketika Senopati akan menjadi raja pertama Mataram. Digambarkan oleh penulis babad ini bahwa yang kelak akan menguasai Mataram ini adalah seseorang yang memiliki fungsi kosmik penuh dan tentunya mempunyai kualifikasi yang cukup. Tidak berbeda dengan Pararaton, Babad Tanah Jawi juga kental akan legitimasi penguasa Jawa ketika itu (hlm 95). Anthony H. Johns mengutip analisa C.C. Berg menyatkaan bahwa Babad Tanah Jawi merupakan teks resmi dari penguasa Mataram yang dibuat pada masa Sultan Agung pada 1633. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kisah yang ditulis sebelum masa itu, hanya merupakan catatan mistis (literary magic) dalam rangka melegitimasi kekuasaan Mataram.

Anthony H. Johns mempunyai pandangan bahwa penulis Babad yang memang hidup pada masa Sultan Agung ini kesulitan dalam mengitrepretasikan masa-masa sebelum Mataram periode Sultan Agung. Akhirnya yang dilakukan adalah mengkompilasi cerita periode Majapahit, Demak dan Pajang sebatas apa yang diketahuinya. Akibatnya yang terjadi adalah tulisan tentang Majapahit yang tidak akurat dan membingungkan. Berbeda halnya dengan tulisan tentang Demak dan Pajang. Kedekatan emosional yang sangat mungkin karena sama-sama berlatar belakang corak kerajaan membuat penulis bisa menuliskannya dengan lebih baik. Anthony H. Johns menutup jurnal ini dengan kesimpulan bahwa ada kemiripan alur cerita dalam Kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawi yakni pada konsep raja-tuhan (god-king) dan fungsi mikro dan makro komsos para penguasa Jawa.

Sebagai ahli dari Sejarah Jawa, saya melihat Anthony H. Johns sangat detail menganalisis komparasi antara dua sumber historiografi Jawa ini. Namun alangkah baiknya jika jurnal ini ditulis dengan pembagian sub-bab yang lebih tegas agar tidak membingungkan untuk dipahami. Bagaimanapun tulisan Anthony H. Johns menginspirasi saya untuk lebih mengerti konsep struktur organisasi kekuasaan dan mitos yang berkembang dalam penulisan hisotriografi Jawa.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar