Ghifari
Yuristiadhi
Jurnal
ini membahas tentang perbandingan antara dua babad yang menjadi sumber dari
historiografi Jawa yakni Kitab Pararaton yang
mengisahkan tentang raja-raja Singhasari dan Babad Tanah Jawi yang menceritakan tentang raja-raja Mataram Islam.
Anthony H. Johns yang merupakan ahli dalam bidang historiografi Jawa khususnya
literatur Islam Jawa, melihat bahwasanya banyak tulisan sejarah yang
menggambarkan Jawa dan Melayu pada masa lalu sulit untuk dilakukan kritik
ataupun dievaluasi khususnya dalam kebenaran cerita pembuka dari kedua sumber
itu (hlm 91). Sesuai dengan judulnya, jurnal ini mencoba memaparkan struktur
organisasi yang diilhami oleh kebudayaan yang berkembang ketika tulisan itu
ditulis dan sisi-sisi mitos yang berkembang dalam penulisan sejarah Jawa
termasuk alur ceritanya (hlm 92). Dua pembahasan utama itu dipaparkan secara
bergantian dan diakhiri dengan pengambilan kesimpulan apakah kedua sumber
penulisan historiografi Jawa itu sejenis pola tulisannya.
Sebelum
masuk kepada pembahasan tentang Kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawi, Anthony
H. Johns memulai dengan memberi contoh sisi mistisme yang ada dalam The Sejarah Melayu khusunya dalam
pembukaan cerita. Buku sejarah itu dibuka dengan cerita kedatangan Alexander
the Great ke India yang akhirnya mengalahkan Raja Kida Hindi, penguasa India
dan menikahi anak perempuannya. Singkat cerita, Alexander the Great ingin
meluaskan daerah kekuasaannya hingga semenanjung Melayu dan Thailand. Sepanjang
perjalanan, di setiap tempat yang dikuasai, dia menikahi anak perempuan
penguasa dalam rangka menaklukkan sebuah wilayah. Salah satu anak Alexander the
Great muncul sebagai Gunung Seguntang di Sumatera Utara saat ini. Pola-pola
aliansi melalui pernikahan (marital
alliance) ini salah satu yang menjadi penciri historiografi di Jawa maupun
Melayu (hlm 91).
Kitab
Pararaton berfokus pada cerita perjalanan Ken Angrok, pendiri kerajaan
Singhasari dan Majapahit, sebelum dia naik tahta pada 1222. Di awal tulisan,
dikisahkan bahwa Ken Angrok yang merupakan reinkarnasi dari seseorang yang
dikorbankan untuk Yamadipati dalam rangka menyalamatkan banyak orang dari
kematian. Atas kerelaan berkorban, Ken Angrok akan dijanjikan masuk surga Dewa
Wisnu dan akan diturunkan menjadi penguasa Singhasari. Janji itu ternyata tidak
meleset. Ken Angrok diturunkan sebagai anak seorang petani oleh dewa Brahma.
Ayah Ken Angrok meninggal hanya lima hari setelah kelahirannya. Ketika itu
tubuhnya yang berkilau cahaya diletakkan di atas makam ayahnya hingga ada
seorang pencuri lewat yang bernama Ki Lembong (hlm 92).
Dalam
asuhan Ki Lombong ini, Ken Angrok tumbuh menjadi seorang pemuda yang matang
namun saying mempunyai perilaku yang buruk. Karena dididik oleh seorang
pencuri, Ken Angrok pun tumbuh menjadi seorang yang gemar berjudi, merampok dan
mencuri. Karena dimusuhi oleh masyarakat di sekitarnya, Ken Angkrok memilih
menyingkir untuk mencari perlindungan. Bertemulah ia dengan Bango Samparan,
seorang sakti yang kemudian dia tahu dari perbincangannya dengan Batara Guru
(Siwa) bahwa seseorang yang datang kepadanya kelak akan membawa stabilitas dan
kejayaan Jawa. Untuk itu Bango Samparan mengantarkan Ken Angrok ke Lohgawe,
seorang pendeta Hindu yang mendapatkan tugas spesifik dari Wisnu yakni untuk
membantu Wisnu bereinkarnasi ke dalam tubuh Ken Arok. Lohgawe inilah yang
kemudian mengantarkan Ken Angrok kepada Tunggul Ametung, raja Tumapel. Lohgawe
juga menceritakan bahwa istri Tunggul Ametung yakni Ken Dedes adalah pemilik
rahim bercahaya dan barangsiapa bisa memilikinya, maka ia akan menjadi Cakrawartin (raja di raja) (hlm 93).
Dari Kitab Pararaton Anthony H. Johns melihat
bahwa orang Jawa memiliki pandangan tersendiri atas kedudukan raja. Orang Jawa
memandang, proses perjalanan seseorang dari masa lalu menuju masa kini dan masa
depan berada dalam wilayah makrokosmos. Hal ini juga yang terjadi pada
raja-raja Jawa. Mereka sebenarnya berada di wilayah makrokosmos karena
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang biasa, namun proses
ceritanya seperti halnya yang ada dalam Kitab
Pararaton seringkali dimulai dengan menjadi orang biasa, berpetualang,
mengembara hingga dia dapat mencapai derajat yang tinggi menjadi raja (hlm 94).
Berbeda dengan Kitab Pararaton yang memulia cerita dari
reinkarnasi Ken Angkrok, Babad Tanah Jawi
memulai cerita dengan menceritakan genealogis dari raja-raja Mataram Islam
yang merupakan keturunan dari Nabi Adam. Anthony H. Johns melihat proses
penceritaan pembuka dari babad ini lebih komplek dibandingkan Pararaton. Babad Tanah Jawi menitik beratkan pada
pendirian Mataram Jawa Tengah oleh Senapati pada 1582 dan bergulirnya
pemerintahan Mataram khususnya para masa Sultan Agung, cucu dari Senapati.
Babad dibuka dengan sinkretis genealogi antara Dewa ummat Hindu dan Nabi ummat
Islam, perjalanan turunnya dewa ke bumi, awal mula munculnya kalender dan
berinteraksinya sosok Wisnu dengan seluruh penguasa jin dan kekuatan di Jawa.
Setelah itu, Babad membahas tentang muncul dan runtuhnya Majapahit (1293-1478)
serta munculnya kerajaan Demak, Pajang dan Mataram (1582-1755).
Sisi mitos yang
muncul di Babad ini yakni ketika Senopati akan menjadi raja pertama Mataram.
Digambarkan oleh penulis babad ini bahwa yang kelak akan menguasai Mataram ini
adalah seseorang yang memiliki fungsi kosmik penuh dan tentunya mempunyai
kualifikasi yang cukup. Tidak berbeda dengan Pararaton, Babad Tanah Jawi
juga kental akan legitimasi penguasa Jawa ketika itu (hlm 95). Anthony H. Johns
mengutip analisa C.C. Berg menyatkaan bahwa Babad Tanah Jawi merupakan teks
resmi dari penguasa Mataram yang dibuat pada masa Sultan Agung pada 1633. Jadi,
bisa disimpulkan bahwa kisah yang ditulis sebelum masa itu, hanya merupakan
catatan mistis (literary magic) dalam
rangka melegitimasi kekuasaan Mataram.
Anthony H. Johns
mempunyai pandangan bahwa penulis Babad yang memang hidup pada masa Sultan
Agung ini kesulitan dalam mengitrepretasikan masa-masa sebelum Mataram periode
Sultan Agung. Akhirnya yang dilakukan adalah mengkompilasi cerita periode
Majapahit, Demak dan Pajang sebatas apa yang diketahuinya. Akibatnya yang
terjadi adalah tulisan tentang Majapahit yang tidak akurat dan membingungkan.
Berbeda halnya dengan tulisan tentang Demak dan Pajang. Kedekatan emosional
yang sangat mungkin karena sama-sama berlatar belakang corak kerajaan membuat
penulis bisa menuliskannya dengan lebih baik. Anthony H. Johns menutup jurnal
ini dengan kesimpulan bahwa ada kemiripan alur cerita dalam Kitab Pararaton dan Babad Tanah Jawi yakni pada konsep raja-tuhan (god-king) dan fungsi mikro dan makro komsos para penguasa Jawa.
Sebagai ahli
dari Sejarah Jawa, saya melihat Anthony H. Johns sangat detail menganalisis
komparasi antara dua sumber historiografi Jawa ini. Namun alangkah baiknya jika
jurnal ini ditulis dengan pembagian sub-bab yang lebih tegas agar tidak
membingungkan untuk dipahami. Bagaimanapun tulisan Anthony H. Johns
menginspirasi saya untuk lebih mengerti konsep struktur organisasi kekuasaan
dan mitos yang berkembang dalam penulisan hisotriografi Jawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar