Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
Tulisan ini
merupakan review bagian kedelapan dari buku antologi yang berjudul Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia yang diedit
oleh Henk
Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari. Secara umum
karya antologi ini mencoba menawarkan alternatif baru penulisan sejarah
Indonesia yang sebelumnya terlalu bercorak anti-Nerlandosentris,
anti-Eropasentris dan bahkan setelah masuk pada orde baru, cenderung ke arah
rezimsentris. Akibatnya, narasi sejarah Indonesia tidak pernah diisi dengan kajian orang-orang yang dianggap sebagai musuh
pemerintah. Buku ini juga memberikan “jalan kembali” arah penulisan sejarah
Indonesia yang bisa ditulis dengan memanfaatkan karya sastra, arsip
audiovisual, maupun foto. Khusus bab yang akan direview dalam tulisan ini,
menawarkan metode dan perspektif baru penggalian data sejarah melalui sejarah
lisan.
John Roosa dan
Ayu Ratih mempunyai konsentrasi kajian pada historiografi ordebaru khusunya
yang menyangkut peristiwa 1965. Karya-karya sebelumnya yang ditulis oleh
keduanya tidak lepas dari kajian tentang PKI. Sebut saja salah satu karya
monumental yang pernah dicekal oleh pemerintahan Soeharto yakni Dalih Pembunuhan Massal (2006). Metode
pencarian data yang digunakan keduanya adalah menggunakan sejarah lisan. Data
dari sumber lisan mendominasi penelitian mereka. Satu hal yang diharapkan
mereka adalah perspektif baru terkait peristiwa 1965 dari perspektif korban dan
saksi. Mereka enggan menggunakan sumber-sumber resmi pemerintah karena mereka
menganggap sumber-sumber itu banyak yang mengaburkan fakta yang sebenarnya
terjadi. Namun, mereka merenungkan bahwa apakah informan sejarah lisan cukup
bertanggung jawab dan bisa melepaskan diri dari subjektivitas ketokohan masa
lalunya itu serta tidak membuat melodrama untuk menghadirkan empati orang lain.
Sejarah Lisan,
Empati dan Melodrama
Diakui bahwa sejarah lisan menjadi harapan baru bagi
sejarawan untuk menggali pengalaman orang-orang biasa dalam mengatasi
keterbatasan sumber dokumen-dokumen tertulis untuk menyusun narasi-narasi baru
historigrafi Indonesia. Sejarah lisan juga dianggap mampu menyoroti episode
sejarah yang gelap dan misterius, seperti pembantaian missal 1965-66. Era rezim
Orde Baru yang sangat otoriter dengan sejarah militeristiknya sehingga banyak
kisah sejarah yang disembunyikan, disamarkan ataupun dihilangkan, saat ini
perlahan-lahan mulai bisa dibuka tirainya melalui sejarah lisan ini. Selain
pembantaian 1965-66, kerusuhan buruh, kerusuhan Malari, pembantaian Tanjung
Priok ataupun penembakan misterius, satu per satu bisa dibaca.
John Roosa dan
Ayu Ratih melihat bahwa kecenderungan yang dilakukan oleh para peneliti di
Indonesia adalah menggunakan salah satu dari dua posisi ekstrim dalam hubungan
mereka dengan narasumber/informan. Mereka mempertahankan sikap objektifikasi
yang dingin, atau berempati penuh dengan orang yang diwawancarai. Pendekatan
yang pertama yakni objektivikasi lebih sering digunakan. Mereka mencatat bahwa
penghalang utama proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asusmsi
bahwa wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekam
“kesaksian” yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial,
pengacara, penyelidik hak asasi manusia atau wartawan.
Peneliti-peneliti
di Indonesia berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan yang
sudah mereka kenal, yakni peranan yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang
dibangun berdasarkan gagasan ideal penjagaan jarak. Penolakan atau ketakutan
melibatkan emosi, telah memuat peneliti tidak mampu mengatasi
persoalan-persoalan intersubjektif yang kompleks yang mereka hadapi dalam
wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti tidak bisa berpatokan
semata-mata pada kuesioner atau daftar pertanyaan dan memperlakukan orang yang
diwawancarai sebagai subjek tanpa nama untuk sebuah survey statistik. Peneliti
mau tidak mau harus terlibat secara pribadi.
David Border,
seorang psikolog dari Amerika Serikat memulai praktek sejarah lisan sebelum
implementasinya dinamakan oral history
seperti sekarang. Sejarah lisan telah berubah, bahkan telah mengalami kemajuan,
sejak pertengahan tahun 1940an. Sekarang sudah ada kesepakatan bahwa wawancara
adalah sebuah dialog lisan (oral dialogue), bukan rekaman
solilokui, pembicaraan dengan diri sendiri, yang sudah tersusun rapi. Akan
tetapi, prinsip ini menurut John Roosa dan Ayu Ratih terdengar klise, alasan
prinsip ini diabaikan bukan saja oleh paradigma ilmu yang mengharuskan pengamat
bersikap netral tetapi juga oleh lawannya: paradigma identifikasi empatik total
peneliti dengan orang yang diwawancarai. Paradigma ini dapat dilihat pada
aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk memperjuangkan
kepentingan orang yang diwawancarai. Misalnya sejumlah aktivis dari
organisasi-organisasi yang didirikan para korban di Indonesia percaya bahwa
korban kekerasan negara merupakan sejenis makluk suci, kata-katanya otomatis
mengandung kebenaran. Peneliti kemudian berperan sebagai penyampai kebenaran
korban dari balik layar, penghubung tidak kentara antara korban dan masyarakat
luas. Peneliti dituntut melayani korban dan mengindentifikasikasi diri
sepenuhnya dengan penderitaan korban sehingga penderitaan korban menjadi
penderitaannya sendiri. Di sini lagi-lagi prinsip dialog diabaikan.
Sejarah Lisan: Harapan
Baru
Konsep Freud tentang analisa sosial yang mencakup working
through, acting out, dan transference, dapat membantu sejarawan lisan untuk
beranjak menjauhi metodologi empirisis dan memulai perenungan diri yang sulit
tentang hubungan dengan orang yang diwawancarai, dengan kejadian-kejadian masa
lalu, dan dengan pembaca yang menjadi sasaran tulisan. Tentu saja konsep Freud
belum mencakup pendekatan ilmu sosial, dan ini menjadi bagian yang lain dari
yang harus dilengkapi. Menurut John Roosa dan Ayu Ratih, sejarawan yang meneliti
sejarah lisan di Indonesia akan berhasil dalam penelitiannya apabila mereka
tidak melakukan identifikasi empatis sepenuhnya dengan orang yang diwawancarai
atau mengambil objektifikasi ekstrim. Posisi sejarawan menurut John Roosa dan
Ayu Ratih unik karena memang berbeda dengan wartawan, peneliti HAM, aktivis
politik ataupun psikolog. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar