Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

MEMIKIRKAN KEMBALI SEJARAH LISAN UNTUK MEMBANGUN SEJARAH SOSIAL INDONESIA


Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)

Tulisan ini merupakan review bagian kedelapan dari buku antologi yang berjudul Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia yang diedit oleh Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari. Secara umum karya antologi ini mencoba menawarkan alternatif baru penulisan sejarah Indonesia yang sebelumnya terlalu bercorak anti-Nerlandosentris, anti-Eropasentris dan bahkan setelah masuk pada orde baru, cenderung ke arah rezimsentris. Akibatnya, narasi sejarah Indonesia tidak pernah diisi dengan  kajian orang-orang yang dianggap sebagai musuh pemerintah. Buku ini juga memberikan “jalan kembali” arah penulisan sejarah Indonesia yang bisa ditulis dengan memanfaatkan karya sastra, arsip audiovisual, maupun foto. Khusus bab yang akan direview dalam tulisan ini, menawarkan metode dan perspektif baru penggalian data sejarah melalui sejarah lisan.

John Roosa dan Ayu Ratih mempunyai konsentrasi kajian pada historiografi ordebaru khusunya yang menyangkut peristiwa 1965. Karya-karya sebelumnya yang ditulis oleh keduanya tidak lepas dari kajian tentang PKI. Sebut saja salah satu karya monumental yang pernah dicekal oleh pemerintahan Soeharto yakni Dalih Pembunuhan Massal (2006). Metode pencarian data yang digunakan keduanya adalah menggunakan sejarah lisan. Data dari sumber lisan mendominasi penelitian mereka. Satu hal yang diharapkan mereka adalah perspektif baru terkait peristiwa 1965 dari perspektif korban dan saksi. Mereka enggan menggunakan sumber-sumber resmi pemerintah karena mereka menganggap sumber-sumber itu banyak yang mengaburkan fakta yang sebenarnya terjadi. Namun, mereka merenungkan bahwa apakah informan sejarah lisan cukup bertanggung jawab dan bisa melepaskan diri dari subjektivitas ketokohan masa lalunya itu serta tidak membuat melodrama untuk menghadirkan empati orang lain.

Sejarah Lisan, Empati dan Melodrama
Diakui bahwa sejarah lisan menjadi harapan baru bagi sejarawan untuk menggali pengalaman orang-orang biasa dalam mengatasi keterbatasan sumber dokumen-dokumen tertulis untuk menyusun narasi-narasi baru historigrafi Indonesia. Sejarah lisan juga dianggap mampu menyoroti episode sejarah yang gelap dan misterius, seperti pembantaian missal 1965-66. Era rezim Orde Baru yang sangat otoriter dengan sejarah militeristiknya sehingga banyak kisah sejarah yang disembunyikan, disamarkan ataupun dihilangkan, saat ini perlahan-lahan mulai bisa dibuka tirainya melalui sejarah lisan ini. Selain pembantaian 1965-66, kerusuhan buruh, kerusuhan Malari, pembantaian Tanjung Priok ataupun penembakan misterius, satu per satu bisa dibaca.
John Roosa dan Ayu Ratih melihat bahwa kecenderungan yang dilakukan oleh para peneliti di Indonesia adalah menggunakan salah satu dari dua posisi ekstrim dalam hubungan mereka dengan narasumber/informan. Mereka mempertahankan sikap objektifikasi yang dingin, atau berempati penuh dengan orang yang diwawancarai. Pendekatan yang pertama yakni objektivikasi lebih sering digunakan. Mereka mencatat bahwa penghalang utama proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asusmsi bahwa wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekam “kesaksian” yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial, pengacara, penyelidik hak asasi manusia atau wartawan.

Peneliti-peneliti di Indonesia berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang dibangun berdasarkan gagasan ideal penjagaan jarak. Penolakan atau ketakutan melibatkan emosi, telah memuat peneliti tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan intersubjektif yang kompleks yang mereka hadapi dalam wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti tidak bisa berpatokan semata-mata pada kuesioner atau daftar pertanyaan dan memperlakukan orang yang diwawancarai sebagai subjek tanpa nama untuk sebuah survey statistik. Peneliti mau tidak mau harus terlibat secara pribadi.

David Border, seorang psikolog dari Amerika Serikat memulai praktek sejarah lisan sebelum implementasinya dinamakan oral history seperti sekarang. Sejarah lisan telah berubah, bahkan telah mengalami kemajuan, sejak pertengahan tahun 1940an. Sekarang sudah ada kesepakatan bahwa wawancara adalah sebuah dialog  lisan (oral dialogue), bukan rekaman solilokui, pembicaraan dengan diri sendiri, yang sudah tersusun rapi. Akan tetapi, prinsip ini menurut John Roosa dan Ayu Ratih terdengar klise, alasan prinsip ini diabaikan bukan saja oleh paradigma ilmu yang mengharuskan pengamat bersikap netral tetapi juga oleh lawannya: paradigma identifikasi empatik total peneliti dengan orang yang diwawancarai. Paradigma ini dapat dilihat pada aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk memperjuangkan kepentingan orang yang diwawancarai. Misalnya sejumlah aktivis dari organisasi-organisasi yang didirikan para korban di Indonesia percaya bahwa korban kekerasan negara merupakan sejenis makluk suci, kata-katanya otomatis mengandung kebenaran. Peneliti kemudian berperan sebagai penyampai kebenaran korban dari balik layar, penghubung tidak kentara antara korban dan masyarakat luas. Peneliti dituntut melayani korban dan mengindentifikasikasi diri sepenuhnya dengan penderitaan korban sehingga penderitaan korban menjadi penderitaannya sendiri. Di sini lagi-lagi prinsip dialog diabaikan.

Sejarah Lisan: Harapan Baru

Konsep Freud tentang analisa sosial yang mencakup working through, acting out, dan transference, dapat membantu sejarawan lisan untuk beranjak menjauhi metodologi empirisis dan memulai perenungan diri yang sulit tentang hubungan dengan orang yang diwawancarai, dengan kejadian-kejadian masa lalu, dan dengan pembaca yang menjadi sasaran tulisan. Tentu saja konsep Freud belum mencakup pendekatan ilmu sosial, dan ini menjadi bagian yang lain dari yang harus dilengkapi. Menurut John Roosa dan Ayu Ratih, sejarawan yang meneliti sejarah lisan di Indonesia akan berhasil dalam penelitiannya apabila mereka tidak melakukan identifikasi empatis sepenuhnya dengan orang yang diwawancarai atau mengambil objektifikasi ekstrim. Posisi sejarawan menurut John Roosa dan Ayu Ratih unik karena memang berbeda dengan wartawan, peneliti HAM, aktivis politik ataupun psikolog. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar