Halaman

Kamis, 17 Januari 2013

Melihat tulisan “On the Study of Southeast Asian History” (D.G.E. Hall) dan ” Historicism and Historiography in Indonesia” ( Sue Nichterlein)


Nama  : Selfi Mahat Putri
Nim     : 10/306215/PSA/02239
Tulisan Hall membahas mengenai bagaimana penulisan sejarah di Asia Tenggara tentang masyarakat Asia sendiri yang dilakukan pada tahun 1956 di London University, School of Oriental and African Studies.  Konferensi ini dilakukan karena masih terlihatnya kesenjangan pengetahuan antara sejarawan barat dengan sejarawan asia dalam melihat Sejarah Asia Tenggara. Sarjana Prancis dan Belanda banyak tertarik mengenai Asia Tenggara, tulisan-tulisan yang ada terutama untuk periode hubungan (kontak) dengan Eropa dan masih banyak penemuan dan bukti-bukti dari sumber yang belum diselidiki dan dieksplorasi.
Bernard Philippe Groslier’s menulis tentang Angkor, yaitu Angkor et le Cambodge au XVI siecle d’apres les sources portugaises et espagnoles (Paris, 1958) lalu J.G. de Casparis’s dua volume studi tentang prasasti abad kedelapan dan kesembilan dari Jawa (Prasasti Indonesia, I dan II, Bandung, 1950, 1956), yang telah merevolusi pengetahuan kita tentang Sailendra dalam periode sejarah Indonesia. Paul Wheatley yang melakukan pemeriksaan kembali tulisan-tulisan Cina, Yunani, Arab, Persia dan India berkaitan dengan geografi sejarah awal Malaya, yang akan segera diterbitkan dengan judul The Golden Khersonese . Profesor C. C. Berg dalam studi sastra Jawa Kuno, terutama pertanyaan ke dalam historisitas dari kompilasi terkenal seperti Nagarakertagama, Pararaton dan Babad Tanah Jawi, yang telah diberikan versi Krom dari “Hindu-Jawa”.
Ini menggambarkan begitu besarnya minat peneliti-peneliti asing ingin mengetahui mengenai Sejarah Asia Tenggara padahal mereka banyak terkendala bahasa sumber yang begitu sulit, tetapi hal ini tak menghalangi semangat mereka untuk melakukan penelitian tentang historiografi Asia Tenggara walaupun dengan waktu yang begitu lama. Meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa tulisan-tulisan dari sarjana barat ini lebih Eropasentris karena banyak berhubungan mengenai periode-periode hubungan antara Eropa dan Asia Tenggara.
Sejarawan Indonesia harus berhati-hati untuk melihat sebuah periodisasi guna menghindari istilah-istilah seperti “masa kolonial” atau “zaman Belanda” agar tak terpengaruh dari sudut pandang Eropasentris. Pendapat penulis mengenai periodisasi ini tertuang dalam buku A History of South-Easth Asia. Buku ini dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, Periode Pra-Eropa,  Asia Tenggara selama awal fase ekspansi Eropa,  Masa wilayah Eropa ekspansi, dan terakhir Nasionalisme dan Tantangan terhadap dominasi Eropa.

Studi mengenai Asia Tenggara tidak hanya dilakukan oleh sejarawan saja, di  Amerika Studi Asia Tenggara telah menjadi bidang kajian ilmu politik, sosiologi, antropologi dan Ekonomi. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa penelitian mereka memiliki latar belakang sejarah dalam banyak kasus dan beberapa pandangan tentang sejarah. Adanya usaha yang cukup besar dan serius dalam perluasan studi Asia Tenggara di Amerika menggambarkan begitu pentingnya studi mengenai Asia Tenggara.
 Lalu ketika kita tengok tulisan Sue Nichterlein yang berangkat dari pendapat beberapa pakar mengenai historisisme, menurut Karl Mannheim historisisme merupakan sesuatu yang dominan pada kesadaran intelektual Barat Kontemporer. Bagaimana doktrin lama telah digantikan oleh gaya baru dari filsafat sosial yang telah memberikan perubahan-perubahan. Penyair Meksiko, Oktavio Paz berpendapat bahwa historisisme atau perilaku sejarah  merupakan fungsi dari cara tertentu mengetahui dunia ketika ia menyarankan dalam kritik terhadap tulisan-tulisan Claude Levi-Strauss- bahwa baginya, citra dunia atau manusia adalah konsekuensi dari sebuah sejarah. Ini terjadi karena negara-negara dibangun atau direkonstruksi setelah era kolonial Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melakukan pencarian atau melihat paradigma sejarah dan politik baru mengenai kesadaran baru dari hubungan bangsa-bangsa di dunia baik sekarang maupun masa lalu. 
John R W.Smail dalam tulisannya “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia”. Smail menulis tentang krisis dalam historigrafi dalam study Asia Tenggara Modern dari kasus Indonesia. Pada akhir masa kolonial, sejarawan mulai pendekatan baru yaitu Asia-sentris sebagai perlawanan dari Eropa-sentris. Para Sejarawan Indonesia pun mulai melakukan perubahan dalam penulisan dan pembelajaran sejarah. Sehingga pada tahun 1957 di selenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Agenda seminar ini meliputi filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia dan pendidikan sejarah.
Perdebatan yang berkelanjutan sampai tahun 1970, ialah pertanyaan mengenai Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme, bagaimana meletakkan tekanan pada peranan sejarah orang Indonesia dalam sejarah Indonesia. Kepustakaan sejarah yang ada pada waktu itu lebih banyak menekankan pada peranan orang Eropa dan melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Lalu muncul pertanyaan lain mengenai objektivitas dan subjektivitas dalam historiografi. Banyak pikiran yang muncul dalam kurun waktu itu yang direkam kembali dalam sebuah buku William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Buku ini meliput periode yang lebih lama dan mengandung permasalahan yang beragam mengenai sejarah Indonesia. Kita dapat melihat kembali panorama pemikiran sejarawan Indonesia melalui buku ini, baik sejarawan akademis, amatir, maupun sekedar kaum intelektual yang berminat.[1]
Perselisihan pendapat utama muncul antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Soedjatmoko, di pihak lain, mengecam ide “masa lalu utopis” dengan nilai-nilai kolektifnya yang dijadikan landasan sejarah nasional. Soedjatmoko kalah suara karena pendekatannya tidak sesuai dengan iklim 1950-an, saat rakyat diseluruh kepulauan itu di dorong untuk menjadi orang Indonesia.[2]  
Kedua artikel diatas memperlihatkan begitu menariknya studi mengenai Historiografi Asia Tenggara dan khususnya Indonesia, sumber-sumber yang begitu banyak baik berupa artefak atau peninggalan, karya sastra tradisional, foklore maupun dokumen-dokumen atau bukti-bukti tertulis yang belum tergali. Para sejarawan barat telah banyak yang memulai dengan penelitian-penelitian mereka, walaupun kalau kita lihat dari sudut pandang orang Asia Tenggara khususnya Indonesia, historiografi yang ditulis tidak lepas dari Eropasentris yang akhirnya memunculkan sejarawan-sejarawan Asia khususnya Indonesia yang melihat dari sudut padang mereka orang Asia tenggara sendiri yang bersifat Asiasentris dan Indonesiasentris.


[1] Lihat Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 1-2.
[2] Lihat Henk Schulte Nordholt, dkk., Memikir Ulang Historiografi Indonesia dalam buku “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2008), hlm. 8-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar