Nama : Selfi Mahat Putri
Nim : 10/306215/PSA/02239
Tulisan
Hall membahas mengenai bagaimana penulisan sejarah di Asia Tenggara tentang
masyarakat Asia sendiri yang dilakukan pada tahun 1956 di London University,
School of Oriental and African Studies.
Konferensi ini dilakukan karena masih terlihatnya kesenjangan
pengetahuan antara sejarawan barat dengan sejarawan asia dalam melihat Sejarah
Asia Tenggara. Sarjana Prancis dan Belanda banyak tertarik mengenai Asia
Tenggara, tulisan-tulisan yang ada terutama untuk periode hubungan (kontak)
dengan Eropa dan masih banyak penemuan dan bukti-bukti dari sumber yang belum
diselidiki dan dieksplorasi.
Bernard
Philippe Groslier’s menulis tentang Angkor, yaitu Angkor et le Cambodge au XVI siecle d’apres les sources portugaises et
espagnoles (Paris, 1958) lalu J.G. de Casparis’s dua volume studi tentang prasasti
abad kedelapan dan kesembilan dari Jawa (Prasasti Indonesia, I dan II, Bandung,
1950, 1956), yang telah merevolusi pengetahuan kita tentang Sailendra dalam
periode sejarah Indonesia. Paul Wheatley yang melakukan
pemeriksaan kembali tulisan-tulisan Cina, Yunani, Arab, Persia dan India
berkaitan dengan geografi sejarah awal Malaya, yang akan segera diterbitkan
dengan judul The Golden Khersonese . Profesor C. C. Berg dalam studi sastra Jawa
Kuno, terutama pertanyaan ke dalam historisitas dari kompilasi terkenal seperti
Nagarakertagama, Pararaton dan Babad
Tanah Jawi, yang telah diberikan versi Krom dari “Hindu-Jawa”.
Ini
menggambarkan begitu besarnya minat peneliti-peneliti asing ingin mengetahui
mengenai Sejarah Asia Tenggara padahal mereka banyak terkendala bahasa sumber
yang begitu sulit, tetapi hal ini tak menghalangi semangat mereka untuk
melakukan penelitian tentang historiografi Asia Tenggara walaupun dengan waktu
yang begitu lama. Meskipun tak bisa kita pungkiri bahwa tulisan-tulisan dari
sarjana barat ini lebih Eropasentris karena banyak berhubungan mengenai
periode-periode hubungan antara Eropa dan Asia Tenggara.
Sejarawan
Indonesia harus berhati-hati untuk melihat sebuah periodisasi guna menghindari istilah-istilah
seperti “masa kolonial” atau “zaman Belanda” agar tak terpengaruh dari sudut
pandang Eropasentris. Pendapat penulis mengenai periodisasi ini tertuang dalam
buku A History of South-Easth Asia.
Buku ini dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, Periode Pra-Eropa, Asia Tenggara selama awal fase ekspansi
Eropa, Masa wilayah Eropa ekspansi, dan
terakhir Nasionalisme dan Tantangan terhadap dominasi Eropa.
Studi
mengenai Asia Tenggara tidak hanya dilakukan oleh sejarawan saja, di Amerika Studi Asia Tenggara telah menjadi
bidang kajian ilmu politik, sosiologi, antropologi dan Ekonomi. Bagaimanapun
mereka menyadari bahwa penelitian mereka memiliki latar belakang sejarah dalam
banyak kasus dan beberapa pandangan tentang sejarah. Adanya usaha yang cukup
besar dan serius dalam perluasan studi Asia Tenggara di Amerika menggambarkan
begitu pentingnya studi mengenai Asia Tenggara.
Lalu ketika kita tengok tulisan Sue
Nichterlein yang berangkat dari pendapat beberapa pakar mengenai historisisme,
menurut Karl Mannheim historisisme merupakan sesuatu yang dominan pada
kesadaran intelektual Barat Kontemporer. Bagaimana doktrin lama telah
digantikan oleh gaya baru dari filsafat sosial yang telah memberikan
perubahan-perubahan. Penyair Meksiko, Oktavio Paz berpendapat bahwa
historisisme atau perilaku sejarah merupakan fungsi dari cara tertentu mengetahui
dunia ketika ia menyarankan dalam kritik terhadap tulisan-tulisan Claude
Levi-Strauss- bahwa baginya, citra dunia atau manusia adalah konsekuensi dari sebuah
sejarah. Ini terjadi karena negara-negara dibangun atau direkonstruksi setelah
era kolonial Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melakukan pencarian
atau melihat paradigma sejarah dan politik baru mengenai kesadaran baru dari
hubungan bangsa-bangsa di dunia baik sekarang maupun masa lalu.
John
R W.Smail dalam tulisannya “On the Possibility of an Autonomous History of
Modern Southeast Asia”. Smail menulis tentang krisis dalam historigrafi dalam
study Asia Tenggara Modern dari kasus Indonesia. Pada akhir masa kolonial,
sejarawan mulai pendekatan baru yaitu Asia-sentris sebagai perlawanan dari
Eropa-sentris. Para Sejarawan Indonesia pun mulai melakukan perubahan dalam
penulisan dan pembelajaran sejarah. Sehingga pada tahun 1957 di
selenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.
Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Agenda seminar
ini meliputi filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia dan
pendidikan sejarah.
Perdebatan
yang berkelanjutan sampai tahun 1970, ialah pertanyaan mengenai
Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme, bagaimana meletakkan tekanan pada
peranan sejarah orang Indonesia dalam sejarah Indonesia. Kepustakaan sejarah
yang ada pada waktu itu lebih banyak menekankan pada peranan orang Eropa dan
melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Lalu
muncul pertanyaan lain mengenai objektivitas dan subjektivitas dalam
historiografi. Banyak pikiran yang muncul dalam kurun waktu itu yang direkam
kembali dalam sebuah buku William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan
Sesudah Revolusi. Buku ini meliput periode yang lebih lama dan mengandung
permasalahan yang beragam mengenai sejarah Indonesia. Kita dapat melihat
kembali panorama pemikiran sejarawan Indonesia melalui buku ini, baik sejarawan
akademis, amatir, maupun sekedar kaum intelektual yang berminat.[1]
Perselisihan
pendapat utama muncul antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat
bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang
dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Soedjatmoko, di pihak lain,
mengecam ide “masa lalu utopis” dengan nilai-nilai kolektifnya yang dijadikan
landasan sejarah nasional. Soedjatmoko kalah suara karena pendekatannya tidak
sesuai dengan iklim 1950-an, saat rakyat diseluruh kepulauan itu di dorong
untuk menjadi orang Indonesia.[2]
Kedua
artikel diatas memperlihatkan begitu menariknya studi mengenai Historiografi
Asia Tenggara dan khususnya Indonesia, sumber-sumber yang begitu banyak baik
berupa artefak atau peninggalan, karya sastra tradisional, foklore maupun
dokumen-dokumen atau bukti-bukti tertulis yang belum tergali. Para sejarawan
barat telah banyak yang memulai dengan penelitian-penelitian mereka, walaupun
kalau kita lihat dari sudut pandang orang Asia Tenggara khususnya Indonesia,
historiografi yang ditulis tidak lepas dari Eropasentris yang akhirnya
memunculkan sejarawan-sejarawan Asia khususnya Indonesia yang melihat dari
sudut padang mereka orang Asia tenggara sendiri yang bersifat Asiasentris dan
Indonesiasentris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar