Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

MELAHAP TEXT PIRING-PIRING INGGRIS BERHIASAN SAJAK MELAYU


Tugas Mata Kuliah : Historiografi

Review Artikel
MELAHAP TEXT PIRING-PIRING INGGRIS
BERHIASAN SAJAK MELAYU

Roger Kembuan

Artikel oleh Henri Chambert Loir ini diterbitkan pertama kali tahun 1994 dalam majalah Indonesia Circle, Volume 22, No 63. Dengan jumlah 17 halaman. Penulis adalah seorang peneliti di Ecole Française d'Extrême-Orient. Ada tiga hal yang penting menurut saya dalam tulisan dari Hendri Chamber Loir ini: (1) Piring sebagai sumber sejarah, (2) Dinamika interaksi ekonomi dalam peredaran piring Inggris, (3) makna dibalik penggunaan teks berbahasa melayu, makasar, arab dalam piring Inggris.

Piring sebagai Sumber Sejarah
            Pada umumnya sejarawan menganggap sumber sejarah harus didasarkan pada arsip-arsip, dokumen, laporan perjalanan, laporan-laporan resmi. Artefak berbentuk semisalnya guci, tempayan, keramik dan terutama piring, sering dianggap bukan “sumber” dan ranah kajian dari sejarah namun lebih kepada studi arkeologi. Pola pikir ini muncul karena tinggalan artefak semacam ini kebanyakan diteliti arkeolog, digunakan sebagai pajangan di museum, diperjualbelikan sebagai barang antik maupun sebagai koleksi pribadi.
Tulisan ini secara luas membuka pemahaman baru kepada kita dalam melihat tinggalan masa lalu yang berbentuk benda (dalam hal ini piring) dapat menjadi sumber sejarah yang sahih. Persoalan kapan dibuat? siapa yang membuat?, dipasarkan di mana?, digunakan untuk apa? Secara implisit dapat memancing keingintahuan sejarawan dalam melihatnya dalam perpektif historis.

Dinamika Interaksi Ekonomi dalam peredaran piring Inggris
            Peredaran piring dan berbagai alat sebagai barang jualan atau alat tukar di Nusantara dapat dirunut sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Budha, jauh sebelum ekspansi Eropa dan kolonisasi yang dimulai pada awal abad ke 16. Pedagang Arab, China dan India yang mendominasi peredaran piring-piring tersebut. Namun yang dalam  tulisan ini, Henri Chamber Loir membahas tentang piring buatan Inggris yang beredar pada abad ke 19 di Hindia Belanda.
Pengaruh Inggris di Nusantara dapat dilihat pada masa peralihan dari bangkrutnya VOC ke Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1811- 1816 dengan Gubernur Jendral Thomas Stanford Raffles sebagai tokoh sentral. Di masa yang pendek tersebut pengaruh Inggris secara umum belum terasa. Namun di pertengahan abad 19 dengan adanya kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang membuka beberapa pelabuhan di Hindia Belanda sebagai “pelabuhan bebas” artinya kapal-kapal selain milik belanda diizinkan untuk melakukan aktifitas dagang di Hindia Belanda. Implikasinya jelas berpengaruh pada masuknya barang-barang dari Inggris ke Hindia Belanda.
Hal lain juga, adalah di abad ke 19 merupakan awal zaman Industrialisasi di Eropa. Berbagai penemuan dan pengembangan dalam bidang manufaktur berkembang pesat di masa ini. Hal ini berimplikasi pada adanya perubahan pandangan dari eropa yang tidak sekedar menjadikan daerah koloni sebagai tempat eksploitasi kekayaan alam namun mulai menganggapnya sebagai pangsa pasar yang potensial tempat dikirimnya produk-produk industri dari Eropa. Ciri khususnya barang eropa yaitu: adanya standarisasi pabrik, masif, dan harganya murah.
Dalam tulisan ini penulis merujuk berbagai perusahaan Inggris (sebagai contoh: Anderson Tolson, William Adams and Sons dan J. Hawley). Perusahaan-perusahaan tersebut berdiri sejak awal tahun 1800, namun di Hindia belanda, perdagangan piring Inggris tersebut terjadi di sekitar tahun 1840-1870. Sebagaimana telah dirujuk di atas, pada masa ini pembukaan pelabuhan bebas oleh pemerintah kolonial belanda berimplikasi pada munculnya pengecer-pengecer piring tersebut di kota-kota pelabuhan di Hindia Belanda.
Dalam konteks kekinian hal ini terlihat dengan jelas oleh kita yaitu, contoh kasus yang terlihat dari banyak peralatan ibadah yang digunakan oleh berbagai penganut agama di Indonesia misalnya, sarung, peci untuk sholat,  alat sakramen perjamuan kristen, baju pemuka agama yang bertuliskan “Made in China”.

Makna dibalik penggunaan teks berbahasa Melayu, Makasar, Arab dalam piring Inggris
            Secara umum kita mengetahui penggunaan bahasa melayu secara luas sebagai bahasa penghubung antar etnis, suku, dan daerah di sepanjang wilayah Nusantara. Penggunaan teks Melayu dalam piring yang dibuat oleh perusahaan Inggris secara umum untuk menjawab kebutuhan pasar. Sedangkan penggunaan bahasa Makasar lebih pada alasan lokalitas, di mana penggunaan bahasa makasar lebih menarik untuk penggunanya, walaupun ada juga piring yang dipengaruhi oleh ungkapan berbahasa Arab.
Di sisi yang lain proses Islamisasi dan pengaruhnya dalam masyarakat yang semakin intens secara langsung membuat Aksara Arab menjadi suatu identitas baru dalam masyarakat Islam di Hindia Belanda. Adanya sesuatu yang menarik dalam piring yang beraksara Arab tersebut yaitu terdapat syair cinta yang oleh penulis disebut katalog manuskrip “erotis” (pantoen anak tjina) namun karena mistifikasi dan kesakralan bahasa Arab hal itu digunakan dalam hiasan di Makam Sunan Bonang dan Ki Gede Kebagusan.
Sedangkan dalam kategori yang diberikan penulis, ada 3 bagian dalam tema teks yang tedapat dalam piring Inggris: Pantun Iklan, Pantun dan Syair Cinta dan Syair ajaran agama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar