Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Konteks Ilmu Sosial Dalam Historiografi Indonesia


Diskursus Dalam Ilmu Sosial Asia
Tanggapan Terhadap Eurosentrisme
Bab 7 Kuasa dan Diskursus Alternatif
Syed Farid Alatas
Oleh 
Haris Zaky Mubarak
Ø  Overview


            Dalam bab kuasa dan diskursus alternatif,dijelaskan mengenai ketergantungan  secara institusional dan teoritis atas ilmu sosial barat para ilmuwan dunia ketiga atas ilmu sosial Barat telah membangkitkan seruan atas diskursus alternatif dikalangan intelektual di masyarakat berkembang. Seruan diskursif alternatif sendiri  penuh dengan kesulitan. Uraian Foucault mengenai relasi antara diskursus dan kekuasaan kemudian dipakai untuk memperlihatkan masalah peniruan ilmu sosial maupun masalah yang muncul dalam seruan terhadap diskursus ilmu sosial alternatif di masyarakat berkembang.Tujuannya untuk menghadirkan sebuah pemahaman mengenai peniruan maupun wawasan tentang rintangan yang dihadapi dalam menciptakan diskursus alternatif berdasarkan relasi antara diskursus dan kekuasaan.Memahami studi pembangunan,peniruan dan kebutuhan akan diskursus aSyed Farid Alatas,lternatif, Gunnar Myrdal (1957) memperingatkan bahaya pengadopsian teori dan metodologi secara tidak kritis di negara –negara  berkembang.Oleh karenanya perlunya disusun kembali teori ekonomi agar relevan dengan masalah dan kepentingan negara berkembang.
            Pada tataran yang yang lebih praktis, S.H Alatas (1956) menunjukkan fakta bahwa sistem ekonomi dunia, metode pemerintahan hukum,ide demokrasi,prosedur pemiludan konsepsi kesejahteraan telah diadopsi secara tidak kritis dan didukung oleh para elit masyarakat berkembang.[1]Sementara itu J.P.S Uberoi (1968) mengemukakan masalah ilmu sosial  Barat secara umum.Ia memperhatikan kurangnya pendekatan ilmu ulayat dalam ilmu sosialdi banyak dunia berkembang karena penerapan ilmu sosial secara tidak kritis dan ditiru secara tidak terkontrol. Hal ini bukan untuk mengikari depedensi secara akademis yang yang merelasikan antara ilmuwan sosial pusat dan ilmuwan diluar itu (pinggiran). Depedensi secara akademis terhadap pusat menyangkut dana riset dan kuasa untuk melakukan pengembangan. Selain juga permasalah jurnal-jurnal ilmiah yang secara otoritas dikendalikan oleh institusi akademis di negara pusat.
            Seruan atas diskursus alternatif bukanlah sekedar untuk mendekati masalah ulayat secara ilmiah sosial dengan perspektif untuk konsep dan metode yang cocok dan memodifikasi dari apa yang tealah berkembang  dalam latar Barat. Dan diskursus ini sebenarnya merupakan  wujud ide bahwa teori dan konsep dan metodologi ilmiah sosial juga dapat diambil dari sejarah dan kebudayaan non barat.
            Analisis wacana kemudian disadur dan dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas dan umum termasuk pada akhirnya analisis wacana berkembang di ranah ilmu sosial (sosiologi) sebagai salah satu bentuk analisis baru yang dikembangkan. Diskusi yang kemudian dikembangkan dalam diskursus ilmu sosial lebih pada memotret perbedaan dan penggunaan teori ilmu sosial yang diterapkan dan ‘dipaskan’ dalam memotret masalah sosial yang ada melalui struktur text yang muncul dari berbagai paradigma, artikel, gagasan dan ide yang telah dikembangkan terlebih dulu. Pengetahuan dalam analisis wacana menghasilkan klaim interpretif dengan memandang pada efek kekuasaan dari wacana dalam kelompok-kelompok orang, tanpa klaim yang dapat digeneralisasikan pada konteks lain. Dasar teoritis untuk analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam pengetahuan, dan teori sosial. Sebagai suatu pendekatan pada analisis yang sistematik dalam pembentukan pengetahuan (wacana), analisis wacanapun tidak dipungkiri juga mengambil bagian dari beberapa tradisi pemikiran barat. Tradisi ini banyak dipengaruhi
perkembangan analisis Foucaultian.
             Dalam pandangan Foucault diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Suatu dominasi atau hegemoni tertentu menggunakan wacana sebagai ‘elemen taktis’ untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, ini semua terkait dengan pembangunan sebuah dominasi dan pelestarian kekuasaan.


            Hegemoni teori sosial Barat memberi banyak pengaruh pada peta keilmuwan sosial di Indonesia. Fakta bahwa sebagian besar ilmu sosial dan humaniora di masyarakat (negara) berkembang datang dari barat telah memunculkan masalah relevansi ilmu-ilmu sosial bagi kebutuhan dan masalah dunia ketiga. Tokoh-tokoh barat terkadang diposisikan sebagai penemu, perintis beberapa teori sosial yang pada tahapannya akhirnya ditanamkan dan digunakan di masyarakat non-barat. Masyarakat diposisikan sebagai konsumen yang selalu membeli teori-teori pemikiran dari dunia barat yang terkadang tidak sesuai dengan kajian masyarakat di negara dunia ketiga. Hegemoni teori sosial barat menjadi suatu keniscayaan karena perkembangan pengetahuan barat yang maju beberapa langkah dibanding perkembangan keilmuwan di dunia ketiga.
            Kritik atas ilmu sosial Barat dari segi kontrol dan pembatasan terhadap upaya ilmu sosial ulayat tidak boleh hanya dibatasi pada kritik atas epistemologi positivis tetapi diperluas pada hal nativis dalam ilmu sosial interpretif. Jelas bahwa seruan ulayatisasi sekaligus seruan mencari sebuah diskursus yang membebaskan untuk menerebos rezim kekuasaan,kontrol dan normalisasi. Sementara ilmu sosial positivis membantu normalisasi masyarakat berkembang metode interpetif menurut Alatas belum tentu mampu membongkar proses normalisasi tersebut yang dipropagandakan oleh para aktor ulayat (nativis).Oleh karenanya Alatas melihat bahwa yang harus dilibatkan dalam proyek ilmu sosial alternatif pada tingkatan konseptual dan empiris.
Ø  Making Connections
            Kuntowijoyo, memberikan kritik yang tajam tentang perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia. Dalam pandangannya Ilmu Sosial di Indonesia mengalami proses kemandegan bahkan kehilangan kerangka nilai yang mengarahkan kemana transformasi masyarakat di Indonesia digerakan. Dalam kaitan ini untuk memperbaiki kondisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia Kuntowijoyo mengusulkan perlunya memberikan ruang untuk hadirnya apa yang disebut dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP).
            Berkaitan dengan pentingnya ditumbuhkan sikap kritis, kiranya perlu dicatat bahwa Ilmu sosial Barat tentu lahir dan berkembang dari struktur dan sistem sosial sertapranata sosial yang berbeda dengan masyarakat Indonesia, bahkan para orientalis membaca Timur menurut kategori dan perspektif Barat. Intelektual-akademisi Nusantara terpesona dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat, bahkan isu-isu dan masalahyang menjadi topik kajian para intelektual Barat juga menjadi topik yang ditiru oleh Intelektual kita, tanpa memiliki dasar pijakan empiris yang kuat. Keadaan itu terusberlangsung, bahkan setelah lebih dari satu abad ilmu-ilmu sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada teori-teori sosial yang dihasilkan oleh intelektual kitadalam rangka menjelaskan kehidupan sosial masyarakat secara memadai. Keadaan ini barangkali rendahnya penghargaan sesama intelektual Nusantara dalam menghargai idedan gagasan diantara mereka, atau tradisi kutip-mengutip di antara mereka, sehingga ilmu sosial Nusantara tidak pernah mengalami perkembangan, bahkan mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan hebat meniru-niru dan mengulang-ulang apa yang mereka pelajari di Barat tersebut, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-teori sosial yang orisinal dan khas Nusantara[2]


[1] Syed Farid Alatas,Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia, Tanggapan Terhadap Eurosentrisme, (Jakarta Selatan,Mizan Publika,2011),hlm.160.
[2] Syarifuddin Jurdi, Pengislaman Ilmu dan Pengilmuan Islam dalam Ilmu-Ilmu Sosial ISP
Kuntowijoyo dan Diskursus Alternatif Ilmu Sosial Indonesia, Makalah Diskusi Publik LSB Yogyakarta, tahun 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar