Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Historiografi dan Jembatan Menjadi Bangsa


Historiografi dan Jembatan Menjadi Bangsa[*]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 5)

Satu kebutuhan mendesak bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada masa awal kemerdekaannya adalah segera membuat sejarahnya sendiri. Kemendesakan ini semata-mata dilatari oleh hasrat penjungkiran segala nilai-nilai lama yang ditatankan dalam historiografi kolonial. Nilai-nilai Asia (Asian values) pun akhirnya menyeruak mendesak segala berbau kolonial untuk angkat kaki dari negara-bangsa yang baru menikmati kemerdekaannya itu.
Maka yang didapati pada masa awal poskolonial adalah bentuk-bentuk –meminjam istilah Samuel P. Huntington– “benturan peradaban” Timur (baca: Asia) dengan Barat (baca: eks kolonialis Eropa). Meski istilah terkenal Huntington ini mendapat banyak kritikan, salah satunya dari T.N. Harper (1997) yang mengatakan istilah “clash of civilization” adalah tipologi yang sewenang-wenang; apalagi konsepsi benturan itu sebatas dirumuskan dalam retorika Perang Teluk (baca: Barat versus Islam). Harper menyalahkan konsepsi benturan Huntington yang hanya melihat latar belakang benturan bukan dari soal sekat-sekat budaya, tapi sebatas kepentingan negara. Padahal dalam konteks Asia Tenggara poskolonial, benturan kebudayaan –saya lebih memilih diksi ini ketimbang peradaban– sangat-sangat kompleks. Satu sisi nilai-nilai Asia ingin mendepak segala bentuk kolonialisme, tapi sisi lain segala bentuk identitas dan mentalitas (etnik, budaya, bahkan bangsa itu sendiri) sebenarnya lebih merupakan konstruksi tatanan kolonial, tanpa banyak disadari. Bahkan benturan bukan hanya antara nilai-nilai Asia dengan kolonialisme itu sendiri. Tapi, benturan pemikiran bahkan fisik di dalam nilai-nilai Asia sendiri sangat rawan terjadi. Sebagaimana bisa dibuktikan pada masa-masa awal Indonesia merdeka hingga menjelang masa transisi ke Orde Baru.
Maka itu, nilai-nilai Asia yang mengemuka pada masa poskolonial tak lebih perubahan iklim intelektual yang lebih mengedepan sebagai sebuah pengujian kembali persentuhan awal masyarakat Asia Tenggara dengan modernitas. Dalam hal ini, modernitas itu adalah: nasionalisme. Sebagai sebuah ideologi yang menggeliat pada awal abad 20, nasionalisme memang membayang-bayangi spirit kehidupan masyarakat di Asia Tenggara. Dekolonialisasi pun merayap mulai dari perlawanan pemikiran hingga fisik. Dan historiografi nasional sentris pun muncul dan berkembang menjadi bukan cuma jembatan dekolonialisasi, tapi lebih dari itu demi –meminjam istilah Benedict Anderson– ”membayangkan sebuah kesatuan”: bangsa.
Tentu saja nation building bagi negara-negara Asia Tenggara semisal Indonesia dan Malaysia yang merasa memiliki sejarah masa keemasan (golden age) perlu dibubuhkan ke dalam historiografi nasional mereka. Heroisme para tokoh bangsa pun dimunculkan demi menginjeksi spirit kebangsaan warga negaranya.
Maka dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, buku babon sejarah hingga kurikulum sejarah pun dikemas secara nasional sentris. Serangkaian periode penting, heroisme dalam peperangan, dan tokoh-tokoh besar dijejalkan melalui teks-teks sejarah. Hanya saja problema besar ketika wacana historiografi ditulis dari atas (baca: kekuasaan politik), maka masa lalu sebagai jembatan masa kini dan akan datang tidak dihadirkan sebagai sarana refleksi. Sejarah yang dihadirkan pun cuma narasi-narasi besar (sejarah dari atas/kekuasaan). Hal-hal kecil atau lapis bawah, semisal kehidupan petani dan korban-korban politik tidak dibahas secara utuh dan tersendiri. Hanya sepintas lalu saja. Secara implisit terkesan mendudukan orang-orang biasa (rakyat, petani, buruh) sebagai ‘pemberontak’, ‘makar’, dan ‘tidak punya peran’ dalam sejarah.
Sejarah macam inilah yang oleh Henk Schulte Nordholt dalam De-colonising Indonesian Historiography (2004) dikatakan sebagai “sejarah tanpa manusia” (a history without people) yang menghasilkan “manusia tanpa sejarah” (people without history). Historiografi yang nasional sentris justru –jika harus jujur– merepetisi insidious mind dalam historiografi kolonial yang dikritiknya sebagai despotisme kekuasaan.    
Historiografi kolonial memang sistematis mencitrakan tanah jajahannya sebagai “si liyan” (the other). Pengasingan Indonesia dari sejarahnya sendiri telah dirintis pada masa kolonial tatkala –salah satu misalnya– F.W. Stapel menyusun lima jilid buku besar sejak 1938 hingga 1940 bertajuk Geschiedenis van Nederlandsch-Indië (sejarah Hindia Belanda). Pada dua jilid pertama buku, terbahas sejarah tua Jawa pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam. Namun pada jilid 3 dan selebihnya, ketika Belanda datang, sejarah Nusantara pun berubah. Belanda dinarasikan Stapel sebagai superior. Adapun kedudukan pribumi termarginalkan dalam narasinya.
Inilah salah satu sebab yang melatar-belakangi diselenggarakannya Seminar Sejarah pada 1957. Sebagai yang perdana, seminar ini menginisiasikan dorongan untuk menulis sejarah Indonesia sebagai salah satu wujud dekolonialisasi. Para partisipan pun menujukan dirinya pada beberapa persoalan pokok konseptual. Meski bukan sebagai seorang sejarawan akademik, Soedjatmoko terbilang progresif menyorot soal mesianisme dan millenarianisme yang melatari gerakan protes petani pada masa kolonial. Tersirat dari pemikiran Soedjatmoko, bahwa gerakan protes (dan juga Revolusi 1945) mengindikasikan sebagai klimaks lahirnya gerak(an) kebangsaan. Fenomena sosial dan budaya ini menjadi determinan yang merembeskan kesadaran sejarah terhadap pikiran kolektif masyarakat (di) Indonesia yang terbingkai ahistoris itu. Soedjatmoko pun menekankan perbandingan antara l’histoire-realité dengan l’histoire recité yang harus dikedepankan oleh para sejarawan Indonesia agar tidak terjebak dalam anakronisme.
Keseriusan Soedjatmoko mengomentari sejarawan Indonesia pra dan pasca-Seminar Sejarah bukan tanpa maksud. Ia bermaksud menengahi hasrat dan motif para sejarawan menyejarahkan Indonesia yang dinilainya masih terjebak dalam nasionalisme yang banal. Misal saja ada Sanusi Pane yang menolak etika Barat dan lebih mengedepankan warisan Timur dalam historiografinya. Pun L.M. Sitorus dan M.D.Mansur yang tak jauh beda hasratnya dengan Pane dalam menghadirkan “orisinalitas” ke-Indonesia-an. Wajar jika Mohammad Hatta memperingatkan kedangkalan hasrat keaslian ini yang –saya siratkan maksudnya– malah hanya akan membawa Indonesia ke arah chauvinisme. Kesempitan menjadi serba nasional ini jugalah yang didapati pada penanganan historiografi oleh Mohammad Yamin dan Nugroho Notosusanto.   
Selain halnya kekritisan Soedjatmoko dan Hatta (yang non-sejarawan), sejarawan Mohammad Ali dan Sastroprajitno sejatinya menjadi tonggak penting bagi pemikiran kritis sejarah Indonesia saat ini. Pemikiran keduanya begitu bermakna untuk menyikapi dua dari enam rumusan Laporan Seminar Sejarah: konsep filosofi sejarah nasional dan periodeisasi sejarah Indonesia yang dinilai oleh sejarawan Sue Nichterlein (1974) sebagai terlalu prematur dan ambisius.
Konsepsi sejarah yang banal dapat menghasilkan kebanalan historiografi. Historiografi yang banal dapat menghasilkan kebanalan nasionalisme. Inilah problema pelik yang menggerayangi ”nilai-nilai Indonesia”, khususnya, dan ”nilai-nilai Asia”, umumnya, pada masa poskolonial. Ternyata, menjadi nasional bukan serta-merta terbebas dari jerat permasalahan masa lalunya.              




[*] Pembacaan atas T.N. Harper. 1997. “’Asian Values’ and Southeast Asian Histories” dalam The Historical Journal, vol. 40, No. 2 dan Sue Nichterlein. 1974. “Historicism and Historiography in Indonesia” dalam History and Theory, vol. 13 No. 3. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar