Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Kekuasaan di Jawa: Mitos dalam Sejarah, Sejarah dalam Mitos


Kekuasaan di Jawa:
Mitos dalam Sejarah, Sejarah dalam Mitos[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 1)

Dalam rekam jejak kekuasaan politik masa-masa kerajaan, mitos senantiasa meraga dalam rupa-rupa kitab tradisional. Babad, carita, tambo, dan hikayat adalah sekian bukti contoh jenis kitab yang banyak mengetengahkan relasi mitos dengan kekuasaan.
Ketika masa-masa sumber literer kuno itu diproduksi pada zamannya, hanya raja, pujangga, dan lingkungan istana sajalah yang mengetahui latar belakang tujuan penulisan geneologi seorang penguasa sebagai turunan dari para dewa, orang-orang suci, dan penguasa masyhur. Tentu saja sekumpulan teks pada zaman ketika budaya lisan masih melekat pada kehidupan manusia itu lebih merupakan sarana legitimasi.
Jika membicarakan tradisi tulis di Jawa yang berlangsung ratusan hingga ribuan tahun sebelum manusia mengenal mesin cetak, ciri lazimnya, sebuah naskah ditulis hanya sedikit, bahkan malah hanya satu. Kelas masyarakat yang melek huruf pun tidak banyak. Hanya mereka saja yang memiliki akses ke keraton bisa membacanya. Maka, berjenis-jenis kitab tradisional itu dibuat semata untuk dilanjutkan dalam fase pelisanan. Di sinilah transmisi naskah berikut kandungannya menyebar ke masyarakat yang lalu melisankannya secara mewaris. Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1982: 117) menyarikan teorinya tentang pengaruh kelisanan, melek kirografik (manuskrip), dan melek cetak, dengan mengatakan bahwa “tulisan menata kembali kesadaran”. Maka praktis, masyarakat Jawa masa iliterasi belum memiliki kesadaran atas relasi mitos dengan kekuasaan raja-raja Jawa. Mereka masih dibalut keimanan segala rupa kegaiban menyatu dalam kekuasaan para raja (bahkan pun hingga kini).
Dalam penelitiannya atas peran organisasi struktural dan mitos dalam historiografi Jawa, Anthony H. Johns menafsir segala sesuatu yang berada di balik dua sumber klasik historiografi Jawa, Pararaton  dan Babad Tanah Jawi. Dua kitab yang menandai kekuasaan Hindu-Jawa (Pararaton) dan Islam-Jawa (Babad Tanah Jawi).
Sebagai peneliti naskah-naskah Nusantara era awal poskolonial, Johns boleh dikata melanjutkan pekerjaan sarjana seperti Kern dan Berg. Penafsiran Johns lebih mengarah pada penebalan tafsir-tafsir lama atas Pararaton dan Babad Tanah Jawi. Mula-mula Johns melihat transmisi naskah Jawa dan Melayu yang memiliki kesamaan menyiratkan relasi kuasa dengan mitos, seperti didapati dalam cerita Panji. Cara pengisahan lahirnya kekuasaan raja-raja pun tak jauh berbeda, hanya tumbuh kembangnya kekuasaan saja yang agaknya membedakan.
Pararaton sebuah kitab yang mengisahkan raja-raja di Jawa Timur dimulai dengan inkarnasi pendiri Singhasari (1222 – 1292), Ken Angrok. Dikisahkan Ken Angrok mengorbankan dirinya kepada Dewa Yamadipati. Dirinya berjanji, setelah berada di alam kahyangan, ia akan lahir kembali ke dunia sebagai seorang penguasa Singhasari. Dalam proses menitisnya dikisahkan bahwa Ken Angrok adalah anak hasil hubungan gaib Dewa Brahma dengan seorang perempuan petani. Saat kelahirannya, tubuh Ken Angrok memancarkan cahaya. Ia pun diadopsi oleh Ki Lembong, seorang pencuri yang membesarkan Ken Angrok menjadi seorang kecu. Namun, bukanlah takdirnya sebagai seorang kriminil. Mengingat ia seorang titisan dewata, maka kisahnya harus mengembalikan Ken Angrok sebagai seorang penguasa. Seorang brahmana dari India bernama Lohgawe mengumumkan bahwa Ken Angrok adalah inkarnasi Wisnu yang akan membawa stabilitas di Tanah Jawa.
Singkat kisah, kekuasaan Ken Angrok dilalui melalui pengambil-alihan kekuasaan Raja Kediri, Tunggul Ametung. Hal yang memantik Ken Angrok melakukan ini didorong hasrat merebut istri sang raja, Ken Dedes yang diisyaratkan Lohgawe memiliki rahim yang bercahaya. Siapa saja pria yang memiliki Ken Dedes, ia akan menjadi seorang cakravartin, penguasa semesta. Dengan menggunakan keris khusus buatan Mpu Gandring, hatta, Ken Angrok membunuh Raja Kediri, lalu mengambil istrinya.   
A.H. Johns menafsirkan kisah dalam Pararaton tersebut sarat akan symptom tatanan kosmik (mikrokosmos dan makrokosmos) yang sengaja ditanamkan dalam kekuasaan Ken Angrok dan mewaris pada para raja sesudahnya. Benar, banyak sekali mitos yang sulit dipercaya. Tapi, dengan melakukan koroborasi terhadap prasasti dan berita China, Johns meyakini mitos-mitos dalam Pararaton bukan tanpa maksud. Kitab itu dibuat sebagai historiografi Jawa yang berkurun 1222 – 1451 untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja masa Singhasari hingga Majapahit.   
Begitupun halnya dengan maksud penulisan Babad Tanah Jawi (BTJ). Kitab yang meriwayatkan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah (1582 – 1749) dibuka dengan kisah penyatuan genealogi dewa-dewa Hindu dan nabi-nabi dalam Islam, keturunan para dewa di bumi, dan pendirian beragam tatanan dalam kehidupan. Disusun pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613 – 1645), konteks BTJ lebih rumit daripada Pararaton. Berpijak dari masa berdirinya negara Mataram di Jawa Tengah oleh Senapati (1582) hingga mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan cucunya, Sultan Agung. Dikatakan rumit, pasalnya, BTJ memadukan unsur-unsur Hindu dan Islam yang begitu kuat.
Pengisahan pasang-surut hingga  berakhirnya kekuasaan Majapahit (1293 – 1478) kemudian bergulirnya kekuasaan Demak, Pajang, dan Mataram pada abad ke-16 dalam BTJ dijalin padu sebagai historiografi Jawa masa Islam. Garis besar kisah BTJ pun tak jauh beda dengan alur kisah Ken Angrok meraih kekuasaan. Sang pujangga melegitimasi klaim kekuasaan seorang penguasa, memberkatinya dengan kualifikasi untuk memenuhi fungsi-fungsi kosmik, dan menunjukkan serta menghidupkan pembawaan sifat-sifat ketuhanan pada citra sang penguasa.
Melalui dua historiografi Jawa klasik ini, Johns mencoba menafsir mitos yang memuat pemahaman mendalam atas simbol-simbol universal dalam kekuasaan raja-raja Jawa. Bisa dirasakan di dalamnya ada ikhtiar menanamkan kekaguman, misteri, dan dinamika internal jiwa berupa harapan dan ketakutan. Dalam keadaan demikian, mitos dibutuhkan untuk mengarungi hidup; dan pada masa itu bisa dibayangkan orang-orang di Jawa menjadi pencerita tangguh. Hakikatnya, kedua historiografi klasik itu pun menjadi semacam profetik atas struktur kekuasaan dalam budaya politik Jawa.
Bila riwayat itu didasarkan lebih jauh lagi pada eksperimentasi dan rasio sebagaimana dimaknai Johns dalam metode koroborasinya, walhasil yang terlihat bukan hanya sekedar ada mitos dalam sejarah, tapi juga, ada sejarah dalam mitos. Dengan begini, historiografi tradisional bisa menjadi sumber yang menarik untuk ditelusuri segala kandungan maknanya. Bukan hanya dimaknai untuk masa lalu, tapi juga masa depan kekuasaan di Jawa hari ini dan yang akan datang.  


[1] Pembacaan atas Anthony H. Johns. 1964.  “The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography “, The Journal Asian Studies, vol. 24 No. 1 (Nov, 1964), pp. 91 – 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar