Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

J.C. Van Leur, 1973, Abad Ke-18 sebagai Kategori dalam Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Bhratara.


Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)

====================================================================

Tulisan ini sebenarnya merupakan kritik Dr. J.C. Van Leur atas tulisan Dr. Goede Molsbergen yang merupakan jilid keempat dari Geschiedenis van Nederlands Indie yang diedit oleh Dr. F.W. Stapel. Berbekal dengan sumber-sumber terjemahan arsip VOC, Van Leur mempunyai intrepetasi yang berbeda dalam melihat aktivitas VOC pada abad ke-18.

Dalam tulisannya Molsbergen menyatakan bahwa pada kurun itu, VOC yang merupakan representasi dari Kerajaan Belanda, merupakan sebuah kekuatan yang menentukan di Eropa. Padahal, sanggah Van Leur, Persia, India dan Tiongkok pada kurun abad ke-18 juga mengambil peran yang signifikan. Sehingga dengan tegas, Van Leur menyatakan bahwa abad ke-18 tak ubahnya abad ke-17 bagi VOC. Namun itu berbeda halnya ketika memasuki abad ke-19 karena hegemoni VOC memang benar-benar muncul.

Poin lain yang dilupakan Molsergen menurut Van Luer, bahwasanya orang-orang Indonesia dan orang-orang Asia yang hidup pada periode itu juga mempunyai perkembangan sejarahnya sendiri tanpa intervensi VOC. Maksudnya, sejarah tidak melulu ditulis dari kaca mata VOC atau Belanda, namun juga bisa dari sudut pandang orang-orang Indonesia dan Asia itu pun, sejarah bisa ditulis.

Historiografi Kolonial Memandang Abad ke-18

Historiografi kolonial yang menggambarkan abad ke-18 dimulai oleh Du Bois. Dalam karyanya,  rekonstruksi historis kolonial dilakukan berdasarkan pergantian jabatan gubernur jendral. Sistem ini diikuti oleh De Jonge, Van Deventer dan Colenbrader. Dalam historiografi tersebut abad ke-18 didiskripsikan sebagai penerusan abad ke-17 dalam deretan gubernur jendral yang berlangsung sampai tahun 1795 yang kemudian dilanjutkan fase sesuai dengan perubahan system pemerintahan di negeri Belanda (Republiek, Staatsbewind, Pensionaat, Koninklijke Kolonie, Keizerlijke annexatie, Britisch Tussenbewind, Hersteld Gezag dan Souverin Vorst). Jadi, secara general, abad ke-18 dilihat sebagai suatu kesatuan sejarah.

Pilihan menggunakan periodesasi berdasarkan masa jabatan gubernur jendral ataupun seseorang yang memegang kekuasaan hanyalah membantu dalam kategorisasi saja. Kategori zaman itu meminjam dari sejarah Eropa Barat dan Amerika Utara. Peralihan dari satu periode ke periode yang lain yang berdasarkan ikatan kebudayaan (kondisi kulutral masing-masing periode gubernur jendral) inilah yang menguatkan Godee tetap menggunakan pemakaian abad-18 sebagai kategori sejarah Hindia dengan sejarah Eropa. Pun ini berlaku pada sejarah Indonesia/Hindia pada waktu itu. Sebagaimana dikatakan Goede bahwa “… kadang-kadang lebih terang lagi disinari oleh matahari tropis, (dan) dpengaruhi oleh jarak yang jauhnya tak terbayangkan antara Negeri Belanda dan Nusantara.”

Penguasaan kewilayahan (kolonisasi Hindia-Belanda) ternyata bermakna sama dengan “penguasaan” historiografi. Hal inilah yang membuat para sejarawan Belanda periode awal sebut saja F.W. Stapel seakan mengesampingkan hak penduduk Hindia-Belanda untuk menjadi objek sejarah itu sendiri. Padahal meskipun Belanda menjadikan negeri mereka sebagai koloni, mereka sendiri bisa menuliskan sejarah mereka sendiri tanpa harus menjadikan VOC sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarahnya. Bukannya mereka berhak memisahkan bahkan mengesampingkan peran VOC dalam proses historis mereka?

Menjadi statemen yang kurang mendasar ketika dikatakan bahwa pada abad ke-18, Belandalah yang mendominasi Eropa. Bahkan, juga mendominasi Asia. Perlu dikroscek lebih jauh. Apakah statemen itu sudah diikuti dengan analisasa mendalam tentang kondisi Eropa dan Asia. Mari kita lihat.

Kurun abad-18 ditandai dengan dua kemajuan signifikan dari Prancis dan Inggris yang kemudian melahirkan revolusi Prancis dan Industri di masing-masing tempat. Terjadinya revolusi-revolusi tersebut tentu dibarengi dengan kemajuan dan kemakmuran yang terjadi di wilayah-wilayah itu. Prancis sebelum 1789 yang masyhur dengan kemewahan dan keglamorannya sepertinya lebih pantas disebut negara paling makmur di Eropa. Begitu juga dengan Inggris, proses industrialisasi yang terjadi pada kurun itu tidaklah mungkin terjadi jika kondisi Inggris saat itu miskin.

Belum lagi di belahan bumi Asia. Kurun abad ke-18 di sana ditandai dengan kemajuan Iran (Persia), Mongol, Hindia belakang, Birma, Cina dan Jepang. Persia dan Hindia belakang pada periode itu masih menjadi kerajaan yang kuat. Persia masih menjadi wilayah yang utuh pada saat itu. Kontak infansi dengan Mongol pun hanya terjadi sepintas lalu. Bukti bahwa di belahan Asia Barat ada dua kekuatan besar yang cukup seimbang. Begitu juga dengan Hindia belakang dan Birma. Di sana masih tegak berdiri kerajaan-kerajaan yang masih utuh di Annam dan Tonkin sebelum akhirnya datang kolonisasi Prancis.

Bagaimana dengan Cina dan Jepang? Di Jepang masih tak tergoyahkan sedikitpun kekuatan Shogun. Dampak dari kondisi yang kondusif itu antara lain dapat berkembangnya kemajuan ekonomi setempat. Indikatornya antara lain banyaknya saudagar-saudagar besar, kaum spekulan yang beruang meningkat meskipun bersamaan dengan itu tragedi bencana juga menghampiri mereka dengan letusan gunung, banjir, gagal panen dan juga kemarau panjang. Begitu pula dengan Cina. Di sana masih berdiri kokoh kekaisaran Mansyu yang pada periode abad ke-18 sedang berada di masa-masa kejayaannya. Wilayah Cina pada kurun itu membentang sampai Turkestan barat, Tibet. Nepal, bahkan Birma.

Potensi lain dari Asia abad ke-18 yang dilupakan adalah jumlah penduduk. Cina pada kurun itu sudah berpenduduk 60-80 sampai 100 juta jiwa. Di Jepang 26 juta. Sedangkan di India 100 juta. Berapa jumlah penduduk Eropa? Perancis pada akhir periode abad ke-18 hanya berpenduduk 23 juta jiwa. Inggris 6 juta (jika ditambah Scotlandia menjadi 13 juta). Lalu berapa jumlah penduduk Belanda? Tidak ada fakta yang cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa Eropa pada abad ke-18 mendominasi Asia, kecuali hanya legitimasi historiografis.



Pudarnya Eropa di Asia

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada abad ke-18 tidak ada belahan Asia sedikitpun yang dikuasai Eropa. Kerajaan-kerajaan di Asia masih cukup aktif menjalankan aktivitasnya. Oleh karena itu, hal ini menjadi bukti bahwa mereka masih “berdaulat” atas negerinya. Lalu, apakah hal ini berarti juga bahwa VOC di Hindia-Belanda tidak bertaring lagi? Statemen itu bisa saja benar. Fakta menunjukkan kantor dagang VOC di luar Jawa dan Madura tidak lagi menjalankan peranan penting dlaam perdagangan Kompeni. Tentu hal ini bisa diintepretasikan bahwa wilayah-wilayah VOC di luar Jawa dan Madura mengalami kemunduran. Belum lagi tentang banyaknya penutupan pantai-pantai sebagai akses dagang masyarakat Hindia-Belanda ketika itu yang menjadikan mengingkatnya angka kemiskinan. Itu bukanlah sebuah bentuk supermasi tapi justru sebaliknya, itu menunjukkan ketidak beradaban Eropa di Asia.


Sedikit menyimpulkan bahwa kondisi Eropa khususnya Belanda tidaklah semulus yang dituliskan oleh Goede Molsbergen. Eropa dan Belanda tidaknya sesempurna itu. Bagaimanapun kekuatan-kekuatan di Asia pada abad ke-18 sebagai kekuatan lokalitas-lokalitas kerajaan harus diperhitungkan. Memang semuanya sedikit bergeser ketika memasuki kurun abad ke-19 yang memang Eropa tampak mendominasi: Inggris di India, Belanda di Hindia-Belanda, Prancis di Indocina. Benar apa yang dilakukan Van Leur bahwa historiografi yang Eropasentris dan Nerlandosentri seperti itu memang layak dikritisi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar