Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
====================================================================
Tulisan
ini sebenarnya merupakan kritik Dr. J.C. Van Leur atas tulisan Dr. Goede
Molsbergen yang merupakan jilid keempat dari Geschiedenis van Nederlands Indie yang diedit oleh Dr. F.W. Stapel.
Berbekal dengan sumber-sumber terjemahan arsip VOC, Van Leur mempunyai
intrepetasi yang berbeda dalam melihat aktivitas VOC pada abad ke-18.
Dalam
tulisannya Molsbergen menyatakan bahwa pada kurun itu, VOC yang merupakan
representasi dari Kerajaan Belanda, merupakan sebuah kekuatan yang menentukan
di Eropa. Padahal, sanggah Van Leur, Persia, India dan Tiongkok pada kurun abad
ke-18 juga mengambil peran yang signifikan. Sehingga dengan tegas, Van Leur
menyatakan bahwa abad ke-18 tak ubahnya abad ke-17 bagi VOC. Namun itu berbeda
halnya ketika memasuki abad ke-19 karena hegemoni VOC memang benar-benar
muncul.
Poin
lain yang dilupakan Molsergen menurut Van Luer, bahwasanya orang-orang
Indonesia dan orang-orang Asia yang hidup pada periode itu juga mempunyai
perkembangan sejarahnya sendiri tanpa intervensi VOC. Maksudnya, sejarah tidak
melulu ditulis dari kaca mata VOC atau Belanda, namun juga bisa dari sudut
pandang orang-orang Indonesia dan Asia itu pun, sejarah bisa ditulis.
Historiografi Kolonial Memandang
Abad ke-18
Historiografi
kolonial yang menggambarkan abad ke-18 dimulai oleh Du Bois. Dalam
karyanya, rekonstruksi historis kolonial
dilakukan berdasarkan pergantian jabatan gubernur jendral. Sistem ini diikuti
oleh De Jonge, Van Deventer dan Colenbrader. Dalam historiografi tersebut abad
ke-18 didiskripsikan sebagai penerusan abad ke-17 dalam deretan gubernur
jendral yang berlangsung sampai tahun 1795 yang kemudian dilanjutkan fase
sesuai dengan perubahan system pemerintahan di negeri Belanda (Republiek, Staatsbewind, Pensionaat,
Koninklijke Kolonie, Keizerlijke annexatie, Britisch Tussenbewind, Hersteld
Gezag dan Souverin Vorst). Jadi,
secara general, abad ke-18 dilihat sebagai suatu kesatuan sejarah.
Pilihan
menggunakan periodesasi berdasarkan masa jabatan gubernur jendral ataupun
seseorang yang memegang kekuasaan hanyalah membantu dalam kategorisasi saja.
Kategori zaman itu meminjam dari sejarah Eropa Barat dan Amerika Utara.
Peralihan dari satu periode ke periode yang lain yang berdasarkan ikatan
kebudayaan (kondisi kulutral masing-masing periode gubernur jendral) inilah
yang menguatkan Godee tetap menggunakan pemakaian abad-18 sebagai kategori
sejarah Hindia dengan sejarah Eropa. Pun ini berlaku pada sejarah Indonesia/Hindia
pada waktu itu. Sebagaimana dikatakan Goede bahwa “… kadang-kadang lebih terang
lagi disinari oleh matahari tropis, (dan) dpengaruhi oleh jarak yang jauhnya
tak terbayangkan antara Negeri Belanda dan Nusantara.”
Penguasaan
kewilayahan (kolonisasi Hindia-Belanda) ternyata bermakna sama dengan
“penguasaan” historiografi. Hal inilah yang membuat para sejarawan Belanda
periode awal sebut saja F.W. Stapel seakan
mengesampingkan hak penduduk Hindia-Belanda untuk menjadi objek sejarah itu
sendiri. Padahal meskipun Belanda menjadikan negeri mereka sebagai koloni,
mereka sendiri bisa menuliskan sejarah mereka sendiri tanpa harus menjadikan
VOC sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarahnya. Bukannya mereka berhak
memisahkan bahkan mengesampingkan peran VOC dalam proses historis mereka?
Menjadi statemen
yang kurang mendasar ketika dikatakan bahwa pada abad ke-18, Belandalah yang
mendominasi Eropa. Bahkan, juga mendominasi Asia. Perlu dikroscek lebih jauh.
Apakah statemen itu sudah diikuti dengan analisasa mendalam tentang kondisi
Eropa dan Asia. Mari kita lihat.
Kurun abad-18 ditandai
dengan dua kemajuan signifikan dari Prancis dan Inggris yang kemudian
melahirkan revolusi Prancis dan Industri di masing-masing tempat. Terjadinya
revolusi-revolusi tersebut tentu dibarengi dengan kemajuan dan kemakmuran yang
terjadi di wilayah-wilayah itu. Prancis sebelum 1789 yang masyhur dengan
kemewahan dan keglamorannya sepertinya lebih pantas disebut negara paling
makmur di Eropa. Begitu juga dengan Inggris, proses industrialisasi yang
terjadi pada kurun itu tidaklah mungkin terjadi jika kondisi Inggris saat itu
miskin.
Belum lagi di
belahan bumi Asia. Kurun abad ke-18 di sana ditandai dengan kemajuan Iran
(Persia), Mongol, Hindia belakang, Birma, Cina dan Jepang. Persia dan Hindia
belakang pada periode itu masih menjadi kerajaan yang kuat. Persia masih
menjadi wilayah yang utuh pada saat itu. Kontak infansi dengan Mongol pun hanya
terjadi sepintas lalu. Bukti bahwa di belahan Asia Barat ada dua kekuatan besar
yang cukup seimbang. Begitu juga dengan Hindia belakang dan Birma. Di sana
masih tegak berdiri kerajaan-kerajaan yang masih utuh di Annam dan Tonkin
sebelum akhirnya datang kolonisasi Prancis.
Bagaimana dengan
Cina dan Jepang? Di Jepang masih tak tergoyahkan sedikitpun kekuatan Shogun.
Dampak dari kondisi yang kondusif itu antara lain dapat berkembangnya kemajuan
ekonomi setempat. Indikatornya antara lain banyaknya saudagar-saudagar besar,
kaum spekulan yang beruang meningkat meskipun bersamaan dengan itu tragedi
bencana juga menghampiri mereka dengan letusan gunung, banjir, gagal panen dan
juga kemarau panjang. Begitu pula dengan Cina. Di sana masih berdiri kokoh
kekaisaran Mansyu yang pada periode abad ke-18 sedang berada di masa-masa
kejayaannya. Wilayah Cina pada kurun itu membentang sampai Turkestan barat,
Tibet. Nepal, bahkan Birma.
Potensi lain
dari Asia abad ke-18 yang dilupakan adalah jumlah penduduk. Cina pada kurun itu
sudah berpenduduk 60-80 sampai 100 juta jiwa. Di Jepang 26 juta. Sedangkan di
India 100 juta. Berapa jumlah penduduk Eropa? Perancis pada akhir periode abad
ke-18 hanya berpenduduk 23 juta jiwa. Inggris 6 juta (jika ditambah Scotlandia
menjadi 13 juta). Lalu berapa jumlah penduduk Belanda? Tidak ada fakta yang
cukup kuat yang bisa membuktikan bahwa Eropa pada abad ke-18 mendominasi Asia,
kecuali hanya legitimasi historiografis.
Pudarnya Eropa di Asia
Secara umum
dapat dikatakan bahwa pada abad ke-18 tidak ada belahan Asia sedikitpun yang
dikuasai Eropa. Kerajaan-kerajaan di Asia masih cukup aktif menjalankan
aktivitasnya. Oleh karena itu, hal ini menjadi bukti bahwa mereka masih
“berdaulat” atas negerinya. Lalu, apakah hal ini berarti juga bahwa VOC di
Hindia-Belanda tidak bertaring lagi? Statemen itu bisa saja benar. Fakta
menunjukkan kantor dagang VOC di luar Jawa dan Madura tidak lagi menjalankan
peranan penting dlaam perdagangan Kompeni. Tentu hal ini bisa diintepretasikan
bahwa wilayah-wilayah VOC di luar Jawa dan Madura mengalami kemunduran. Belum
lagi tentang banyaknya penutupan pantai-pantai sebagai akses dagang masyarakat
Hindia-Belanda ketika itu yang menjadikan mengingkatnya angka kemiskinan. Itu
bukanlah sebuah bentuk supermasi tapi justru sebaliknya, itu menunjukkan
ketidak beradaban Eropa di Asia.
Sedikit
menyimpulkan bahwa kondisi Eropa khususnya Belanda tidaklah semulus yang
dituliskan oleh Goede Molsbergen. Eropa dan Belanda
tidaknya sesempurna itu. Bagaimanapun kekuatan-kekuatan di Asia pada abad ke-18
sebagai kekuatan lokalitas-lokalitas kerajaan harus diperhitungkan. Memang
semuanya sedikit bergeser ketika memasuki kurun abad ke-19 yang memang Eropa
tampak mendominasi: Inggris di India, Belanda di Hindia-Belanda, Prancis di
Indocina. Benar apa yang dilakukan Van Leur bahwa historiografi yang
Eropasentris dan Nerlandosentri seperti itu memang layak dikritisi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar