Ghifari
Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)
Buku
ini merupakan kumpulan tulisan yang terdiri dari satu tulisan kenangan tentang
Denys Lombard dan lima tulisan utama yang berjudul Ruang Politik dalam Hikayat
Hang Tuah, Syair Sultan Fansuri, Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di
Kasultanan Pontianak Tahun 1880-an, Tempayan Kalimantan Menurut Sebuah Teks
Melayu Tahun 1839 dan Melahap Teks: Piring-piring Inggris Berhiasan Sajak
Melayu. Satu tulisan yang akan direview dalam tulisan ini yakni judul kedua: Syair Sultan Fansuri.
Historis Teks
Syair Sultan
Fansuri yang dibahas dalam bab kedua buku ini merupakan teks pertama dalam
sebuah dokumen yang disalin oleh H.N. van
der Tuuk atas naskah-naskah yang dipinjamkannya di Barus dan Padang.
Naskah van der Tuuk ini kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden
dengan Cod. Or. 3303 dan telah dideskripsikan oleh E. Weiringa.
Naskah ini
termasuk teks-teks Melayu yang dikumpulkan van der Tuuk di Sumatra selama lima
tahun ia tinggal di Barus, tahun 1852-1857, ketika ia mendapatkan tugas untuk
menerjemahkan Kitab Injil ke dalam bahsa Toba atas pesanan Masyarakat Alkitab
Belanda. Sepanjang karirnya, van der Tuuk mengumpulkan sekitar 230 naskah
Melayu (juga naskah bahasa lain yang jumlahnya lebih banyak). Hal yang menarik
dari teks-teks yang dimilikinya yakni terdapat 15 dokumen yang dibeli langsung
di Barus dan semua disalin oleh orang-orang yang berbeda-beda antara tahun
1850-1856.
Naskah-naskah
itu berisi rislah dan kitab agama, epos dari dunia Islam dalam bentuk pusi dan
prosa, sejumlah dongeng Minangkabau, ditambah tiga teks singkat yang berkaitan
dengan sejarah Barus masa mutakhir serta upacara-upacara kerajaan yang khas di
kota itu, di antaranya puisi yang diterbitkan dalam syair Sultan Fansuri ini.
Ringakasan Teks
Naskah ini
termasuk teks-teks Melayu yang dikumpulkan van der Tuuk di Sumatra selama lima
tahun ia tinggal di Barus, tahun 1852-1857, ketika ia mendapatkan tugas untuk
menerjemahkan Kitab Injil ke dalam bahsa Toba atas pesanan Masyarakat Alkitab
Belanda. Sepanjang karirnya, van der Tuuk mengumpulkan sekitar 230 naskah
Melayu (juga naskah bahasa lain yang jumlahnya lebih banyak). Hal yang menarik
dari teks-teks yang dimilikinya yakni terdapat 15 dokumen yang dibeli langsung
di Barus dan semua disalin oleh orang-orang yang berbeda-beda antara tahun
1850-1856.
Daya tarik syair
terlihat pada isinya yang bernilai sejarah dan bukan pada bentuknya. Isinya
diringkas dan dikomentari pada tulisan ini. Namun, meskipun begitu, dari bentuk
syairnya pun bisa diambil kesimpulan bahwa teks tersebut ditulis menurut
prosodi syair yang sangat lentur. Dengan kata lain, syair tersebut juga bisa
disebut dengan puisi. Meskipun sebenarnya, puisi mengingatkan pada harmoni dan
pencarian estetis, syair sejarah sebagai suatu genre sastra tidak banyak
memperdulikan harmoni dan estetika. Syair Sultan Fansuri sendiri termasuk
kategori yang tidak menghiraukan keindahan sastra. Teks tersebut merupakan
kisah yang terpotong-porong dalam larik-larik, yang masing-masing merupakan
satu kesatuan semantik berjumlah empat kata.
Di samping itu,
larik-larik itu harus berima empat per empat. Walaupun sangat sederhana, kedua
aturan itu sering diabaikan, padahal struktur tersebut mempunyai pengaruh
langsung pada gramatika kisah: di satu pihak, oleh banyaknya intervensi yang
dipaksakan oleh irama dan rima, di lain pihak oleh deretan satuan-satuan
mekanik yang kebanyakan disejajarkan tanpa ada tanda sintaksis, terakhir,
oleh banyaknya kalimat yang eliptis.
Syair Sultan Fansuri ini diberi tanda baca untuk memudahkan pemahamannya, namun
secara minimal saja karena pembagian dalam larik-larik sudah merupakan
pembagian semantik.
Syair sebagai Teks Sejarah
Teks-teks sejarah
yang berkaitan denga Barus jumlahnya sekitar sepuluh. Telaah tentang teks-teks
Barus seperti Syair Sultan Fansuri itu telah dimulai oleh J. Drakard. Selain
itu, masih ada teks lain yang membahas Barus, antara lain Hikaijat Tjarita Barus (dalam bab buku ini juga di bahas). Semua
teks itu berhubungan dengan periode modern sejarah Barus yang berciri kehadiran
dua buah keluaga raja, satu di hulu dan satu di hilir (Raja di Hulu, Raja di
Hilir). Beberapa teks lain justru bertujuan merekam asal-usul kedua garis
keturunan itu serta urutan kesinambungannya secara terus menerus. Maka
teks-teks tersebut jelas bagian dari dua tradisi yang berbeda: satu dari Hulu dan satu dari
Hilir. Kedua tradisi itu nampaknya
mempunyai tujuan legitimasi yang berbeda dan oleh karena itu,
menghasilkan cerita-cerita yang berbeda pula, namun yang tak pernah
bertentangan.
Sayangnya, tak
satupun dari dokumen-dokumen itu, juga tak satupun studi sejarah, menyebut
peristiwa yang merupakan tema Syair ini. Peristiwa tersebut, yang terjadi pada
tahun 1812, tentulah tidak begitu penting dan boleh dikatakan tidak
meninggalkan jejak dalam sejarah, namun menarik sebagai indikator suasana
politik yang terdapat di Barus pada awal abad ke-19: selain situasi dalam
negeri yang merupakan sumber konflik terus menerus, raja harus menghadapi
tekanan dari luar yang juga tak ada hentinya, yang terus saja menjerumuskannya
ke bawah penguasaan suatu pihak untuk melepaskan diri dari cengkraman pihak
lain.
Walaupun tidak
secara komprehensif saya bisa membaca dan memahami serta menelaah teks Syair Sultan Fansuri ini, saya
memberanikan mengambil kesimpulan bahwa syair yang merupakan ekspresi dari
perasaan seseorang di masa lampau bisa juga menjadi sumber sejarah meskipun
tentu saja kritik sumber dan intrepretasi ilmiah yang sesuai dengan metodologi
penelitian sejarah harus dilakukan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar