Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

Henri Chambert-Loir, 2011, “Syair Sultan Fansuri”, dalam Sultan, Pahlawan dan Hakim, Jakarta: KPG-Ecole francaise d’Extreme-Orient-Masyarakat Penaskahan Nusantara-Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta, pp. 57-91.


Ghifari Yuristiadhi (12/340109/PSA/07394)

Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang terdiri dari satu tulisan kenangan tentang Denys Lombard dan lima tulisan utama yang berjudul Ruang Politik dalam Hikayat Hang Tuah, Syair Sultan Fansuri, Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di Kasultanan Pontianak Tahun 1880-an, Tempayan Kalimantan Menurut Sebuah Teks Melayu Tahun 1839 dan Melahap Teks: Piring-piring Inggris Berhiasan Sajak Melayu. Satu tulisan yang akan direview dalam tulisan ini yakni judul kedua: Syair Sultan Fansuri.

Historis Teks

Syair Sultan Fansuri yang dibahas dalam bab kedua buku ini merupakan teks pertama dalam sebuah dokumen yang disalin oleh H.N. van  der Tuuk atas naskah-naskah yang dipinjamkannya di Barus dan Padang. Naskah van der Tuuk ini kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dengan Cod. Or. 3303 dan telah dideskripsikan oleh E. Weiringa.

Naskah ini termasuk teks-teks Melayu yang dikumpulkan van der Tuuk di Sumatra selama lima tahun ia tinggal di Barus, tahun 1852-1857, ketika ia mendapatkan tugas untuk menerjemahkan Kitab Injil ke dalam bahsa Toba atas pesanan Masyarakat Alkitab Belanda. Sepanjang karirnya, van der Tuuk mengumpulkan sekitar 230 naskah Melayu (juga naskah bahasa lain yang jumlahnya lebih banyak). Hal yang menarik dari teks-teks yang dimilikinya yakni terdapat 15 dokumen yang dibeli langsung di Barus dan semua disalin oleh orang-orang yang berbeda-beda antara tahun 1850-1856.

Naskah-naskah itu berisi rislah dan kitab agama, epos dari dunia Islam dalam bentuk pusi dan prosa, sejumlah dongeng Minangkabau, ditambah tiga teks singkat yang berkaitan dengan sejarah Barus masa mutakhir serta upacara-upacara kerajaan yang khas di kota itu, di antaranya puisi yang diterbitkan dalam syair Sultan Fansuri ini.

Ringakasan Teks

Naskah ini termasuk teks-teks Melayu yang dikumpulkan van der Tuuk di Sumatra selama lima tahun ia tinggal di Barus, tahun 1852-1857, ketika ia mendapatkan tugas untuk menerjemahkan Kitab Injil ke dalam bahsa Toba atas pesanan Masyarakat Alkitab Belanda. Sepanjang karirnya, van der Tuuk mengumpulkan sekitar 230 naskah Melayu (juga naskah bahasa lain yang jumlahnya lebih banyak). Hal yang menarik dari teks-teks yang dimilikinya yakni terdapat 15 dokumen yang dibeli langsung di Barus dan semua disalin oleh orang-orang yang berbeda-beda antara tahun 1850-1856.

Daya tarik syair terlihat pada isinya yang bernilai sejarah dan bukan pada bentuknya. Isinya diringkas dan dikomentari pada tulisan ini. Namun, meskipun begitu, dari bentuk syairnya pun bisa diambil kesimpulan bahwa teks tersebut ditulis menurut prosodi syair yang sangat lentur. Dengan kata lain, syair tersebut juga bisa disebut dengan puisi. Meskipun sebenarnya, puisi mengingatkan pada harmoni dan pencarian estetis, syair sejarah sebagai suatu genre sastra tidak banyak memperdulikan harmoni dan estetika. Syair Sultan Fansuri sendiri termasuk kategori yang tidak menghiraukan keindahan sastra. Teks tersebut merupakan kisah yang terpotong-porong dalam larik-larik, yang masing-masing merupakan satu kesatuan semantik berjumlah empat kata.

Di samping itu, larik-larik itu harus berima empat per empat. Walaupun sangat sederhana, kedua aturan itu sering diabaikan, padahal struktur tersebut mempunyai pengaruh langsung pada gramatika kisah: di satu pihak, oleh banyaknya intervensi yang dipaksakan oleh irama dan rima, di lain pihak oleh deretan satuan-satuan mekanik yang kebanyakan disejajarkan tanpa ada tanda sintaksis, terakhir, oleh  banyaknya kalimat yang eliptis. Syair Sultan Fansuri ini diberi tanda baca untuk memudahkan pemahamannya, namun secara minimal saja karena pembagian dalam larik-larik sudah merupakan pembagian semantik.

Syair sebagai Teks Sejarah

Teks-teks sejarah yang berkaitan denga Barus jumlahnya sekitar sepuluh. Telaah tentang teks-teks Barus seperti Syair Sultan Fansuri itu telah dimulai oleh J. Drakard. Selain itu, masih ada teks lain yang membahas Barus, antara lain Hikaijat Tjarita Barus (dalam bab buku ini juga di bahas). Semua teks itu berhubungan dengan periode modern sejarah Barus yang berciri kehadiran dua buah keluaga raja, satu di hulu dan satu di hilir (Raja di Hulu, Raja di Hilir). Beberapa teks lain justru bertujuan merekam asal-usul kedua garis keturunan itu serta urutan kesinambungannya secara terus menerus. Maka teks-teks tersebut jelas bagian dari dua tradisi  yang berbeda: satu dari Hulu dan satu dari Hilir. Kedua tradisi itu nampaknya  mempunyai tujuan legitimasi yang berbeda dan oleh karena itu, menghasilkan cerita-cerita yang berbeda pula, namun yang tak pernah bertentangan.

Sayangnya, tak satupun dari dokumen-dokumen itu, juga tak satupun studi sejarah, menyebut peristiwa yang merupakan tema Syair ini. Peristiwa tersebut, yang terjadi pada tahun 1812, tentulah tidak begitu penting dan boleh dikatakan tidak meninggalkan jejak dalam sejarah, namun menarik sebagai indikator suasana politik yang terdapat di Barus pada awal abad ke-19: selain situasi dalam negeri yang merupakan sumber konflik terus menerus, raja harus menghadapi tekanan dari luar yang juga tak ada hentinya, yang terus saja menjerumuskannya ke bawah penguasaan suatu pihak untuk melepaskan diri dari cengkraman pihak lain.

Walaupun tidak secara komprehensif saya bisa membaca dan memahami serta menelaah teks Syair Sultan Fansuri ini, saya memberanikan mengambil kesimpulan bahwa syair yang merupakan ekspresi dari perasaan seseorang di masa lampau bisa juga menjadi sumber sejarah meskipun tentu saja kritik sumber dan intrepretasi ilmiah yang sesuai dengan metodologi penelitian sejarah harus dilakukan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar