Reni Widiastuti
12/339283/PSA/7262
Selama ini penelitian dan kajian mengenai bangsa-bangsa yang terjajah
selalu menempatkan mereka sebagai bangsa yang termarjinalkan. Hal ini tidak
lepas dari pengaruh cara penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti
dari Barat. Mereka dianggap menciptakan sejarah dan realitas yang melukai dan
membawa dampak negatif bagi bangsa terjajah Bahkan yang paling buruk adalah
bahwa bangsa Barat juga menolak anggapan bahwa bangsa terjajah dapat membuat
kebudayaan mereka sendiri, bahkan sebelum kedatangan bangsa kolonial. Linda
Tuhiwai Smith dalam “Imperialisme,
Sejarah, Penulisan dan Teori” salah satu bab dalam bukunya “Dekolonisasi Metodologi” mencoba
melihat bagaimana imperialisme telah membuat pengkotak-kotakkan dan
pemarjinalan bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan. pengalaman negara yang
mengalami penjajahan. Sehingga menggugah bangsa-bangsa yang mengalami
penjajahan untuk memperoleh sejarah, tanah,bahasa dan harkat kemanusiaan bangsa
mereka.
Imperialisme dan kolonialisme dipandang oleh
Linda sebagai bingkai sekaligus pembelokkan pengalaman masyarakat dari
negara-negara yang mengalami penjajahan, atau sering disebut (oleh bangsa
penjajah) sebagai “negara Selatan”. Imperialisme yang dilakukan bangsa Eropa
awal abad sembilan belas berbentuk:
-
Imperialisme
sebagai ekspansi ekonomi
-
Imperialisme
sebagai penundukan others
-
Imperialisme
sebagai gagasan atau semangat beserta berbagai macam pengejawantahannya.
-
Imperialisme
sebagai bidang pengetahuan diskursif
Ketiga bentuk imperialisme pertama dipandang sebagai imperialisme yang
sangat berpihak pada Eropa. Sementara untuk imperialisme yang keempat ini
memiliki bentuk yang berbeda. Pandangan ini muncul untuk memahami imperialisme
dan kolonialisme berdasarkan pengalaman masyarakat yang mengalami penjajahan,
atau imperialisme berdasarkan pemahaman dan perspektif lokal. Ketika banyak
sarjana dari bangsa yang terjajah yang memperdebatkan masalah imperialisme
yang. Muncul pemikiran post-kolonial yang menajdi tantangan baru bagi mereka,
ilmuwan dari bangsa terjajah, untuk melihatnya apakah sebagai cara meneguhkan
kembali bangsa non-terjajah, karena kehadiran wacana post-kolonial tetap saja
mengabaikan eksistensi dari bangsa terjajah.
Dalam beberapa penelitian ada beberapa karakteristik bangsa terjajah
yang dilekatkan oleh bangsa penjajah. Salah satunya adalah bahwa “bangsa
primitif” tidak memiliki kemampuan intelektual, terutama untuk menciptakan
sejarah, serta membuat seni peradaban. Seperti yang dikatakan A.S. Thomson
bahwa “ kemampuan imajinasi tidak banyak dikembangkan oleh kami, imajinasi
hanya keliaran buta pada takhayul yang absurd”. Kekuasaan yang dibangun oleh
bangsa Eropa pada abad kesembilan belas membangun relasi sosial dan sistem
pranata yang berfungsi untuk mengatur interaksi bangsa-bangsa terjajah. Namun
secara implisit relasi dan pranata yang dibangun tersebut menimbulkan kesan
bahwa bangsa terjajah tersebut bukan manusia seutuhnya, sehingga menimbulkan
jarak dan penjustifikasian terhadap kebijakan yang berujung pada pemusnahan dan
penjinakan bangsa terjajah. Hal ini tentu saja bertentangan prinsip kesetaraan
terhadap sesama manusia.
Beberapa pandangan imperialisme jika dicermati terlihat kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Imperialisme dan kolonialisme memandang bahwa bangsa
terjajah tidak memiliki apa-apa sebelum mereka (penjajah) masuk ke wilayah
terjajah. Mereka mengabaikan fakta bahwa bangsa terjajah telah memiliki
kebudayaan, sistem masyarakat, sejarah sebelum kedatangan mereka. Bangsa
terjajah dalam angggapan mereka bukanlah manusia seutuhnya karena kemampuan
intelektual yang tidak bisa menghasilkan peradaban kecil sekalipun. Seperti
yang dinyatakan oleh Albert Memmi “fakta bahwa masyarakat bangsa terjajah
memiliki sistem ketertiban sendiri, diingkari melalui serangkaian negasi:
mereka buakn manusia sepenuhnya, mereka tidak cukup beradab untuk mempunyai
sistem, mereka tidak terpelajar, dan mereka mempunyai bahasa dan mode pemikiran
yang pas-pasan.”
Tulisan dianggap sebagai awal mula suatu bangsa memasuki masa
peradaban dan perkembangan teori, tulisan juga merupakan bagian teorisasi dan
sejarah. Sehingga Sejarah, tulisan dan teori adalah tujuan utama masyarakat
Eropa untuk mengkaji bangsa terjajah. Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan,
maka selalu ada keinginan untuk menuliskan kembali hal-hal mengenai bangsa
mereka menurut versi mereka sendiri. Sebuah tulisan yang lepas dari perspektif
penjajah yang selalu mendiskreditkan mereka. Hal ini penting untuk mereka
karena ini merupakan bagian dari upaya menunjukkan jati diri dan eksistensi
mereka serta melepaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme dan penjajahan.
Sejarah memiliki arti penting bagi sebuah bangsa, terutama bagi bangsa
yang terjajah, karena hal ini berkaitan dengan identitas, jati diri, serta
ideologi merekasebagai sebuah bangsa. Apalagi sejarah mereka seringkali
diceritakan oleh menurut perspektif dan kepentingan bangsa penjajah sendiri,
tanpa mempertimbangkan fakta yang sebenarnya yang mungkin akan melukai perasaan
bangsa terjajah. Sejarah menurut Linda merupakan serangkaian ide mengenai
totalitas, universal, kronologi besar, perkembangan, bersubyek pada manusia
yang mengaktualisasikan diri, penuturannya dalam narasi koheren, disiplin ilmu
yang polos, dikonstruksikan di seputar kategori biner, dan patriarkal.
Sejarah mengenai bangsa terjajah yang hadir dari perspektif bangsa
penjajah seringkali tidak “otentik, karena ada unsur kepentingan tertentu yang
menyusup di dalamnya. Hal inilah yang kemudian mengundang kritik dari kalangan
terjajah, yang kemudian berkembang menjadi isu modernisme. Namun kajian sejarah
yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan ini kemudian mengakibatkan pandangan
bahwa sejarah bukan hal yang penting bagi bangsa terjajah karena posisi mereka
yang tetap termarjinalkan dan tidak berkuasa mentransformasikan sejarah menjadi
lebih adil. Dalam hal penelitian dan pengembangan sejarah, bangsa terjajah
memerlukan teori, terutama untuk memahami realitas serta yang paling penting adalah untuk memberi ruang agar yang terjajah
dapat merencanakan, menata, serta memiliki kontrol yang besar terhadap
penulisan sejarah yang dilakukan bangsa Barat berdasarkan perspektif mereka.
Hal ini adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mendekonstruksi sejarah yang
terjajah, agar tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang termarjinalkan dan tidak memiliki peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar