Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

Imperialisme, Sejarah, Penulisan dan Teori


Reni Widiastuti
12/339283/PSA/7262
    
Selama ini penelitian dan kajian mengenai bangsa-bangsa yang terjajah selalu menempatkan mereka sebagai bangsa yang termarjinalkan. Hal ini tidak lepas dari pengaruh cara penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti dari Barat. Mereka dianggap menciptakan sejarah dan realitas yang melukai dan membawa dampak negatif bagi bangsa terjajah Bahkan yang paling buruk adalah bahwa bangsa Barat juga menolak anggapan bahwa bangsa terjajah dapat membuat kebudayaan mereka sendiri, bahkan sebelum kedatangan bangsa kolonial. Linda Tuhiwai Smith dalam “Imperialisme, Sejarah, Penulisan dan Teori” salah satu bab dalam bukunya “Dekolonisasi Metodologi” mencoba melihat bagaimana imperialisme telah membuat pengkotak-kotakkan dan pemarjinalan bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan. pengalaman negara yang mengalami penjajahan. Sehingga menggugah bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan untuk memperoleh sejarah, tanah,bahasa dan harkat kemanusiaan bangsa mereka.

Imperialisme dan kolonialisme dipandang oleh Linda sebagai bingkai sekaligus pembelokkan pengalaman masyarakat dari negara-negara yang mengalami penjajahan, atau sering disebut (oleh bangsa penjajah) sebagai “negara Selatan”. Imperialisme yang dilakukan bangsa Eropa awal abad sembilan belas berbentuk:
-          Imperialisme sebagai ekspansi ekonomi
-          Imperialisme sebagai penundukan others
-          Imperialisme sebagai gagasan atau semangat beserta berbagai macam pengejawantahannya.
-          Imperialisme sebagai bidang pengetahuan diskursif

Ketiga bentuk imperialisme pertama dipandang sebagai imperialisme yang sangat berpihak pada Eropa. Sementara untuk imperialisme yang keempat ini memiliki bentuk yang berbeda. Pandangan ini muncul untuk memahami imperialisme dan kolonialisme berdasarkan pengalaman masyarakat yang mengalami penjajahan, atau imperialisme berdasarkan pemahaman dan perspektif lokal. Ketika banyak sarjana dari bangsa yang terjajah yang memperdebatkan masalah imperialisme yang. Muncul pemikiran post-kolonial yang menajdi tantangan baru bagi mereka, ilmuwan dari bangsa terjajah, untuk melihatnya apakah sebagai cara meneguhkan kembali bangsa non-terjajah, karena kehadiran wacana post-kolonial tetap saja mengabaikan eksistensi dari bangsa terjajah.

Dalam beberapa penelitian ada beberapa karakteristik bangsa terjajah yang dilekatkan oleh bangsa penjajah. Salah satunya adalah bahwa “bangsa primitif” tidak memiliki kemampuan intelektual, terutama untuk menciptakan sejarah, serta membuat seni peradaban. Seperti yang dikatakan A.S. Thomson bahwa “ kemampuan imajinasi tidak banyak dikembangkan oleh kami, imajinasi hanya keliaran buta pada takhayul yang absurd”. Kekuasaan yang dibangun oleh bangsa Eropa pada abad kesembilan belas membangun relasi sosial dan sistem pranata yang berfungsi untuk mengatur interaksi bangsa-bangsa terjajah. Namun secara implisit relasi dan pranata yang dibangun tersebut menimbulkan kesan bahwa bangsa terjajah tersebut bukan manusia seutuhnya, sehingga menimbulkan jarak dan penjustifikasian terhadap kebijakan yang berujung pada pemusnahan dan penjinakan bangsa terjajah. Hal ini tentu saja bertentangan prinsip kesetaraan terhadap sesama manusia.
Beberapa pandangan imperialisme jika dicermati terlihat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Imperialisme dan kolonialisme memandang bahwa bangsa terjajah tidak memiliki apa-apa sebelum mereka (penjajah) masuk ke wilayah terjajah. Mereka mengabaikan fakta bahwa bangsa terjajah telah memiliki kebudayaan, sistem masyarakat, sejarah sebelum kedatangan mereka. Bangsa terjajah dalam angggapan mereka bukanlah manusia seutuhnya karena kemampuan intelektual yang tidak bisa menghasilkan peradaban kecil sekalipun. Seperti yang dinyatakan oleh Albert Memmi “fakta bahwa masyarakat bangsa terjajah memiliki sistem ketertiban sendiri, diingkari melalui serangkaian negasi: mereka buakn manusia sepenuhnya, mereka tidak cukup beradab untuk mempunyai sistem, mereka tidak terpelajar, dan mereka mempunyai bahasa dan mode pemikiran yang pas-pasan.”

Tulisan dianggap sebagai awal mula suatu bangsa memasuki masa peradaban dan perkembangan teori, tulisan juga merupakan bagian teorisasi dan sejarah. Sehingga Sejarah, tulisan dan teori adalah tujuan utama masyarakat Eropa untuk mengkaji bangsa terjajah. Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan, maka selalu ada keinginan untuk menuliskan kembali hal-hal mengenai bangsa mereka menurut versi mereka sendiri. Sebuah tulisan yang lepas dari perspektif penjajah yang selalu mendiskreditkan mereka. Hal ini penting untuk mereka karena ini merupakan bagian dari upaya menunjukkan jati diri dan eksistensi mereka serta melepaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme dan penjajahan.
Sejarah memiliki arti penting bagi sebuah bangsa, terutama bagi bangsa yang terjajah, karena hal ini berkaitan dengan identitas, jati diri, serta ideologi merekasebagai sebuah bangsa. Apalagi sejarah mereka seringkali diceritakan oleh menurut perspektif dan kepentingan bangsa penjajah sendiri, tanpa mempertimbangkan fakta yang sebenarnya yang mungkin akan melukai perasaan bangsa terjajah. Sejarah menurut Linda merupakan serangkaian ide mengenai totalitas, universal, kronologi besar, perkembangan, bersubyek pada manusia yang mengaktualisasikan diri, penuturannya dalam narasi koheren, disiplin ilmu yang polos, dikonstruksikan di seputar kategori biner, dan patriarkal.

Sejarah mengenai bangsa terjajah yang hadir dari perspektif bangsa penjajah seringkali tidak “otentik, karena ada unsur kepentingan tertentu yang menyusup di dalamnya. Hal inilah yang kemudian mengundang kritik dari kalangan terjajah, yang kemudian berkembang menjadi isu modernisme. Namun kajian sejarah yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan ini kemudian mengakibatkan pandangan bahwa sejarah bukan hal yang penting bagi bangsa terjajah karena posisi mereka yang tetap termarjinalkan dan tidak berkuasa mentransformasikan sejarah menjadi lebih adil. Dalam hal penelitian dan pengembangan sejarah, bangsa terjajah memerlukan teori, terutama untuk memahami realitas serta yang paling penting  adalah untuk memberi ruang agar yang terjajah dapat merencanakan, menata, serta memiliki kontrol yang besar terhadap penulisan sejarah yang dilakukan bangsa Barat berdasarkan perspektif mereka. Hal ini adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mendekonstruksi sejarah yang terjajah, agar tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang termarjinalkan dan  tidak memiliki peradaban.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar