Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

“Asian Values and Southeast Asian Histories ” dan “On the Study of Southeast Asian History” (Review dan Perbandingan)


RENI WIDIASTUTI
12/339283/PSA/07262

Dalam artikel “On The Study of Southeast Asian History” yang ditulis oleh D.G.E. Hall ini diawali dengan pembahasan mengenai  perlunya evaluasi dan tinjauan mengenai metode dan karakter dari sebagian besar penulisan sejarah mengenai masyarakat di Asia pada masa kini. Ada semacama celah yang perlu disambungkan, kurangnya pengetahuan serta keterbatasan peneliti lapangan yang membuat banyaknya informasi yang ada diwilayah Asia Tenggara masih perlu ditelusuri. Penemuan fakta dan interpretasi yang cukup luar biasa telah dibuat, terutama  oleh ilmuwan perancis dan Belanda mengenai  daratan dan kepulauan di Asia Tenggara, mengenai tulisan-tulisan terutama pada periode ketika mengalami persinggungan dengan Eropa,  ini sangat penting karena bagi peneliti-peneliti barat kawasan Asia merupakan meninggalkan kesan yang begitu mendalam, serta sangat penting untuk dikaji lebih mendalam.
Hall menyebutkan bahwa banyak penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh para sejarawan. Diantaranya adalah Bernard Philippe Groslier meneliti mengenai Angkor, dia meneliti mengenai peradaban Khmer Lama yang cukup memuaskan juga mengenai sisa-sisa dari arsitekturnya yang masih terlihat kemegahanmya dan belum tertandingi.  J.G. de Casparis mengkaji dua jilid mengenai prasasti di Jawa pada abad 18 dan 19, yang  mengubah pengetahuan kita mengenai masa Syailendra dalam sejarah Indonesia. Juga Paul Wheatley yang mengkaji ulang mengenai catatan Cina, Yunani, Arab, Persia, dan India yang memiliki kaitan dengan sejarah awal Melayu. Gordon Luce yang melakukan penelitian dan pengumpulan data epigrafi mengenai Burma lama yang merupakan negeri yang kaya dibandingkan negeri manapun di Asia Tenggara, dia melakukan penelitian hingga akhir abad ketiga belas. CC Berg yang mengkaji mengenai sastra Jawa Kuno, terutama mengenai nilai historis dari kumpulan naskah kuno seperti Negarakertagama, Pararaton dan Babad Tanah Jawi yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh Krom sebagai penilaian untuk melihat mengenai sejarah awal Indonesia.
Dari contoh tersebut ada beberapa poin penting dalam penelitian mengenai sejarah terbentuknya suatu wilayah, yaitu pentingnya sumber Cina dibandingkan sumber lain, bahkan tulisan orang-orang pribmu begitukental dengan “aroma” mitos, terutama tulisan pada tulisan sebelum 1000 Masehi, juga prasasti masih menjadi lahan penelitian yang kaya karena sebagian besar belum dijamah, sehingga peneliti dapat mengkajinya terutama untuk mengetahui kehidupan sosial dan ekonomi. Arkeologi juga menawarkan bidang penelitian yang luasn, tetapi sejauh ini periode sejarahnya masih dianggap lalu. Babad serta tulisan lain sejenis didominasi cerita legenda, tradisi, serta cerita sejarah yang baik saja, namun hanya sedikit informasi yang digunakan oleh sejarawan, karena sebagian informasi didalamnya masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, terutama untuk mengetahui kebenarannya.
Beberapa peneliti melihat bahwa kawasan Asia Tenggara kaya akan sumber sejarah untuk diteliti. Seperti pada masa hubungan antara Eropa dengan Asia Tenggara yang menawarkan banyak sumber untuk dikaji. Namun ada kecenderungan dari orang Eropa untuk menghadirkan dominasi mereka dalam setiap perilaku masyarakat pribumi. Bahkan mereka masih menganggap kawasan Asia Tenggara dengan sebelah mata. Seperti Van Leur dalam essainya yang berjudul “On the Study of Indonesian History” yang mengawali dengan kalimat “ Barangsiapa mendekati sejarah Indonesia maka memasuki dunia yang belum dikenal”. Dia menekankan untuk menolak mensejajarkan sejarah Indonesia dengan sejarah Barat. Para sejarawan Indonesia akhir-akhir ini pun berhati-hati dalam memakai “the colonial period”atau  “the Dutch period”, hal ini oleh Hall dianggap sebagai kritik dari sejarawan Indonesia terhadap periodisasi yang dibuat olehnya dalam buku “A History of South-East Asia”.
Keberadaan sumber sejarah di Asia Tenggara yang diselimuti mitos dan hal-hal”unhistoris” ini membuat para sejarawan sedikit mengabaikan untuk meneliti sejarah menggunakan sumber-sumber sejarah lokal. Hal ini mengakibatkan lahan penelitian di Asia Tenggara dikuasai oleh para peneliti dari bidang ilmu antropologi, sosiologi, ekonomi, dan politik. Padahal kawasan Asia Tenggara ini menyimpan banyak sekali sumber-sumber tulisan babad dan sejenisnya sebagai peninggalan dari kerajaan-kerajaan. sudah menjadi ciri khas pula bahwa historiografi peninggalan kerajaan di kawasan Asia Tenggara ini, terutama di Indonesia dipenuh ioleh cerita mitos, legenda, dan cerita rakyat yang mungkin dirasa tidak memiliki nilai historis dan jika tidak dikaji lebih mendalam akan menimbulkan salah penafsiran. Namun cerita-cerita yang disebut “unhistoris’ tersebut masuk dalam historiografi tradisional juga tanpa alasan. Unsur-unsur mitos yang “unhistoris” masuk dalam babad dan tulisan sejenis salah satunya sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan dari rezim yang sedang bertahta, dan inilah salah satu keunikan dari historiografi tradisional di Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Berbeda dengan artikel D.G.E Hall, artikel  T. N. Harper ini berjudul “'Asian Values' and Southeast Asian Histories”mengulas mengenai Ekspansi Eropa ke Asia pada lima ratus tahun terakhir telah melahirkan “asian values” yang disebarluaskan oleh kaum intelektual Amerika Serikat. Hal ini bertujuan agar masyarakat Asia dapat menemukan jati diri mereka. Hal ini ditandai  dengan suksesi seperti perang antara pangeran, perang antar negeri serta perang ide pada abad ke-20. “Asian values” lahir sebagai bentuk penolakan terhadap sejarah Barat. Terutama akibat pengalaman terhadap ekspansi dan pendudukan Barat di Asia. Namun masyarakat Eropa mengkritik bahwa “Asian Values” sangat bertentangan dengan realita sosial, serta merupakan bentuk lain dari konservatisme Barat.
Di Asia Tenggara perdebatan tentang 'nilai-nilai Asia' adalah perdebatan tentang sejarah,
di mana sejarah tersebut pergi dan bagaimana sejarah bergerak. Pergeseran mengenai “Asian Values” ini membuat masyarakat Asia Tenggara berusaha melihat kembali mengenai pertemuan antara masyarakat Asia Tenggara dengan yang disebut dengan “modernitas”. Hal ini terutama untuk melacak hubungan antara adat yang kuat pada masa sebelumnya dengan jaringan pra-kolonial. Ide modernitas ini muncul salah satunya melalui perdagangan.
Di Asia Tenggara, "Asian values” adalah perdebatan mengenai arah dari  masa depan masyarakat sipil, perdebatan yang mempertanyakan sejauh mana elit yang pernah sukses di memproyeksikan interpretasi mereka tentang sejarah dan takdir ke bangsa. Modernitas kolonial dan nasionalisme anti-kolonial telah begitu terjalin bahwa
ini tidak bisa dihindarkan. Jika ide ini dilihat secara menyeluruh, maka warisan ideologis mengenai “Asian Values” akan  terlihat cukup beragam. Namun jika ditelaah lebih lanjut, “Asian Values” ini sebenarnya tidak hanya akan mempertahankan diri ketika berhadapan dengan individualisme Barat, tetapi juga akan memberi respon terhadap masyarakat Asia Tenggara sendiri. Yaitu ketika terjadi konflik dalam keluarga, menghadapi kebingungan sikap remaja, serta beragamnya cara berpikir yang populer.
Artikel dari D.G.E Hall serta TN Harper ini keduanya sama-sama memiliki bahasan mengenai Sejarah Asia Tenggara. Namun keduanya memiliki pembahasan yang sedikit berbeda. Hall lebih mengulas mengenai Sejarah awal terbentuknya masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara, dia memulai kajiannya pada abad ke-13. Pada kajiannya Hall mengulas bagaimana “uniknya” masyarakat di Asia Tenggara dengan peradaban dan kebudayaannya yang beragam. Hall menggambarkan bahwa Asia Tenggara memiliki kekuatan yang besar, terutama kekuatan politiknya, hal ini terlihat dari banyaknya kerajaan-kerajaan tradisional besar yang pernah berdiri di sana. Sementara, Harper sendiri dalam artikelnya mencoba melihat bagaiman kemunculan “Asian Values” dalam masyarakat di Asia, terutama Asia Tenggara, serta melihat bagaimana orang-orang Asia berusaha menunjukkan “Ke-Asia-an” mereka, terutama saat berhadapan dengan dunia Eropa yang masih memandang Asia dengan “sebelah mata”. Namun inti dari kedua artikel ini sama-sama ingin memperlihatkan bagaimana  “Asia Tenggara” sebagai sebuah wilayah yang selama ini dipandang sebelah mata karena dianggap kuno namun juga memiliki sisi “modernitas” yang lahir dari masyarakat Asia Tenggara itu sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar