RENI
WIDIASTUTI
12/339283/PSA/07262
Dalam
artikel “On The Study of Southeast Asian History” yang ditulis oleh D.G.E. Hall
ini diawali dengan pembahasan mengenai
perlunya evaluasi dan tinjauan mengenai metode dan karakter dari
sebagian besar penulisan sejarah mengenai masyarakat di Asia pada masa kini.
Ada semacama celah yang perlu disambungkan, kurangnya pengetahuan serta
keterbatasan peneliti lapangan yang membuat banyaknya informasi yang ada
diwilayah Asia Tenggara masih perlu ditelusuri. Penemuan fakta dan interpretasi
yang cukup luar biasa telah dibuat, terutama
oleh ilmuwan perancis dan Belanda mengenai daratan dan kepulauan di Asia Tenggara,
mengenai tulisan-tulisan terutama pada periode ketika mengalami persinggungan
dengan Eropa, ini sangat penting karena
bagi peneliti-peneliti barat kawasan Asia merupakan meninggalkan kesan yang
begitu mendalam, serta sangat penting untuk dikaji lebih mendalam.
Hall menyebutkan bahwa
banyak penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh para sejarawan.
Diantaranya adalah Bernard Philippe Groslier meneliti mengenai Angkor, dia
meneliti mengenai peradaban Khmer Lama yang cukup memuaskan juga mengenai
sisa-sisa dari arsitekturnya yang masih terlihat kemegahanmya dan belum
tertandingi. J.G. de Casparis mengkaji
dua jilid mengenai prasasti di Jawa pada abad 18 dan 19, yang mengubah pengetahuan kita mengenai masa
Syailendra dalam sejarah Indonesia. Juga Paul Wheatley yang mengkaji ulang mengenai
catatan Cina, Yunani, Arab, Persia, dan India yang memiliki kaitan dengan
sejarah awal Melayu. Gordon Luce yang melakukan penelitian dan pengumpulan data
epigrafi mengenai Burma lama yang merupakan negeri yang kaya dibandingkan
negeri manapun di Asia Tenggara, dia melakukan penelitian hingga akhir abad
ketiga belas. CC Berg yang mengkaji mengenai sastra Jawa Kuno, terutama
mengenai nilai historis dari kumpulan naskah kuno seperti Negarakertagama,
Pararaton dan Babad Tanah Jawi yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh Krom
sebagai penilaian untuk melihat mengenai sejarah awal Indonesia.
Dari contoh tersebut
ada beberapa poin penting dalam penelitian mengenai sejarah terbentuknya suatu
wilayah, yaitu pentingnya sumber Cina dibandingkan sumber lain, bahkan tulisan
orang-orang pribmu begitukental dengan “aroma” mitos, terutama tulisan pada
tulisan sebelum 1000 Masehi, juga prasasti masih menjadi lahan penelitian yang
kaya karena sebagian besar belum dijamah, sehingga peneliti dapat mengkajinya
terutama untuk mengetahui kehidupan sosial dan ekonomi. Arkeologi juga
menawarkan bidang penelitian yang luasn, tetapi sejauh ini periode sejarahnya
masih dianggap lalu. Babad serta tulisan lain sejenis didominasi cerita
legenda, tradisi, serta cerita sejarah yang baik saja, namun hanya sedikit
informasi yang digunakan oleh sejarawan, karena sebagian informasi didalamnya
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, terutama untuk mengetahui
kebenarannya.
Beberapa peneliti
melihat bahwa kawasan Asia Tenggara kaya akan sumber sejarah untuk diteliti.
Seperti pada masa hubungan antara Eropa dengan Asia Tenggara yang menawarkan
banyak sumber untuk dikaji. Namun ada kecenderungan dari orang Eropa untuk menghadirkan
dominasi mereka dalam setiap perilaku masyarakat pribumi. Bahkan mereka masih
menganggap kawasan Asia Tenggara dengan sebelah mata. Seperti Van Leur dalam
essainya yang berjudul “On the Study of Indonesian History” yang mengawali
dengan kalimat “ Barangsiapa mendekati sejarah Indonesia maka memasuki dunia
yang belum dikenal”. Dia menekankan untuk menolak mensejajarkan sejarah
Indonesia dengan sejarah Barat. Para sejarawan Indonesia akhir-akhir ini pun
berhati-hati dalam memakai “the colonial period”atau “the Dutch period”, hal ini oleh Hall
dianggap sebagai kritik dari sejarawan Indonesia terhadap periodisasi yang
dibuat olehnya dalam buku “A History of South-East Asia”.
Keberadaan sumber
sejarah di Asia Tenggara yang diselimuti mitos dan hal-hal”unhistoris” ini
membuat para sejarawan sedikit mengabaikan untuk meneliti sejarah menggunakan
sumber-sumber sejarah lokal. Hal ini mengakibatkan lahan penelitian di Asia
Tenggara dikuasai oleh para peneliti dari bidang ilmu antropologi, sosiologi,
ekonomi, dan politik. Padahal kawasan Asia Tenggara ini menyimpan banyak sekali
sumber-sumber tulisan babad dan sejenisnya sebagai peninggalan dari
kerajaan-kerajaan. sudah menjadi ciri khas pula bahwa historiografi peninggalan
kerajaan di kawasan Asia Tenggara ini, terutama di Indonesia dipenuh ioleh
cerita mitos, legenda, dan cerita rakyat yang mungkin dirasa tidak memiliki
nilai historis dan jika tidak dikaji lebih mendalam akan menimbulkan salah
penafsiran. Namun cerita-cerita yang disebut “unhistoris’ tersebut masuk dalam
historiografi tradisional juga tanpa alasan. Unsur-unsur mitos yang
“unhistoris” masuk dalam babad dan tulisan sejenis salah satunya sebagai cara
untuk melegitimasi kekuasaan dari rezim yang sedang bertahta, dan inilah salah
satu keunikan dari historiografi tradisional di Asia Tenggara, terutama
Indonesia.
Berbeda
dengan artikel D.G.E Hall, artikel T.
N. Harper ini berjudul “'Asian Values'
and Southeast Asian Histories”mengulas mengenai Ekspansi
Eropa ke Asia pada lima ratus tahun terakhir telah melahirkan “asian values”
yang disebarluaskan oleh kaum intelektual Amerika Serikat. Hal ini bertujuan
agar masyarakat Asia dapat menemukan jati diri mereka. Hal ini ditandai dengan suksesi seperti perang antara
pangeran, perang antar negeri serta perang ide pada abad ke-20. “Asian values”
lahir sebagai bentuk penolakan terhadap sejarah Barat. Terutama akibat
pengalaman terhadap ekspansi dan pendudukan Barat di Asia. Namun masyarakat
Eropa mengkritik bahwa “Asian Values” sangat bertentangan dengan realita
sosial, serta merupakan bentuk lain dari konservatisme Barat.
Di
Asia Tenggara perdebatan tentang 'nilai-nilai Asia' adalah perdebatan
tentang sejarah,
di mana sejarah tersebut pergi dan bagaimana sejarah bergerak. Pergeseran mengenai “Asian Values” ini membuat masyarakat Asia Tenggara berusaha melihat kembali mengenai pertemuan antara masyarakat Asia Tenggara dengan yang disebut dengan “modernitas”. Hal ini terutama untuk melacak hubungan antara adat yang kuat pada masa sebelumnya dengan jaringan pra-kolonial. Ide modernitas ini muncul salah satunya melalui perdagangan.
di mana sejarah tersebut pergi dan bagaimana sejarah bergerak. Pergeseran mengenai “Asian Values” ini membuat masyarakat Asia Tenggara berusaha melihat kembali mengenai pertemuan antara masyarakat Asia Tenggara dengan yang disebut dengan “modernitas”. Hal ini terutama untuk melacak hubungan antara adat yang kuat pada masa sebelumnya dengan jaringan pra-kolonial. Ide modernitas ini muncul salah satunya melalui perdagangan.
Di Asia Tenggara, "Asian values” adalah perdebatan mengenai arah dari masa depan masyarakat sipil, perdebatan yang mempertanyakan sejauh
mana elit yang pernah sukses di memproyeksikan interpretasi mereka tentang sejarah dan takdir ke bangsa. Modernitas kolonial dan nasionalisme anti-kolonial telah begitu terjalin bahwa
ini tidak bisa dihindarkan. Jika ide ini dilihat secara menyeluruh, maka warisan ideologis mengenai “Asian Values” akan terlihat cukup beragam. Namun jika ditelaah lebih lanjut, “Asian Values” ini sebenarnya tidak hanya akan mempertahankan diri ketika berhadapan dengan individualisme Barat, tetapi juga akan memberi respon terhadap masyarakat Asia Tenggara sendiri. Yaitu ketika terjadi konflik dalam keluarga, menghadapi kebingungan sikap remaja, serta beragamnya cara berpikir yang populer.
ini tidak bisa dihindarkan. Jika ide ini dilihat secara menyeluruh, maka warisan ideologis mengenai “Asian Values” akan terlihat cukup beragam. Namun jika ditelaah lebih lanjut, “Asian Values” ini sebenarnya tidak hanya akan mempertahankan diri ketika berhadapan dengan individualisme Barat, tetapi juga akan memberi respon terhadap masyarakat Asia Tenggara sendiri. Yaitu ketika terjadi konflik dalam keluarga, menghadapi kebingungan sikap remaja, serta beragamnya cara berpikir yang populer.
Artikel
dari D.G.E Hall serta TN Harper ini keduanya sama-sama memiliki bahasan
mengenai Sejarah Asia Tenggara. Namun keduanya memiliki pembahasan yang sedikit
berbeda. Hall lebih mengulas mengenai Sejarah awal terbentuknya
masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara, dia memulai kajiannya pada abad ke-13.
Pada kajiannya Hall mengulas bagaimana “uniknya” masyarakat di Asia Tenggara
dengan peradaban dan kebudayaannya yang beragam. Hall menggambarkan bahwa Asia
Tenggara memiliki kekuatan yang besar, terutama kekuatan politiknya, hal ini
terlihat dari banyaknya kerajaan-kerajaan tradisional besar yang pernah berdiri
di sana. Sementara, Harper sendiri dalam artikelnya mencoba melihat bagaiman
kemunculan “Asian Values” dalam masyarakat di Asia, terutama Asia Tenggara,
serta melihat bagaimana orang-orang Asia berusaha menunjukkan “Ke-Asia-an”
mereka, terutama saat berhadapan dengan dunia Eropa yang masih memandang Asia
dengan “sebelah mata”. Namun inti dari kedua artikel ini sama-sama ingin
memperlihatkan bagaimana “Asia Tenggara”
sebagai sebuah wilayah yang selama ini dipandang sebelah mata karena dianggap
kuno namun juga memiliki sisi “modernitas” yang lahir dari masyarakat Asia
Tenggara itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar