Halaman

Senin, 07 Januari 2013

Historiografi di Antara Teks, Gambar Hidup, dan Bunyi

Historiografi di Antara Teks, Gambar Hidup, dan Bunyi [1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 8)


Peter Weir, seorang sutradara kenamaan Australia memproduksi sebuah film pada 1982. Judul filmnya The Years of Living Dangereously. Pemerannya Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Ketiganya bintang film kenamaan.
            Tapi, ini bukan soal sutradara dan bintang film kenamaannya. Pokok soalnya adalah film ini berlatarkan politik Indonesia tahun 1965. Sebuah masa-masa genting dalam sejarah politik Indonesia. Weir pun mengutip perkataan Soekarno yang gemar menggunakan sebuah frasa Latin vivere pericoloso untuk kemudian dipakai dan diterjemahkan menjadi judul filmnya. Masalahnya, film Weir itu digarap pada masa kepemimpinan Soeharto. Wajar jika ajuan Weir untuk mengadakan syuting di Indonesia saat itu ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Walhasil, syuting film itu digarap di Filipina. Alasannya, suasana dan orang-orang di sana tak jauh beda dengan Indonesia. Mungkin para penonton dibuatnya geli dengan aktor yang memerankan Soekarno dan Istana Kepresidenan Indonesia yang terpaksa ”meminjam” Istana Malacanang. Tapi, bukan itu yang menjadi sorotan dari film yang kualitasnya dinilai para sineas sebagai biasa-biasa saja. Kekhawatiran rezim Soeharto-lah yang membuat kadar nilai film ini melambung.
            Visualisasi sejarah melalui film sungguh telah membuka lembaran baru bagi perjalanan rezim kekuasaan seperti Orde Baru. Sudah terlalu biasa jika buku atau dokumen sejarah acap menjadi ancaman bagi kekuasaan dan nasibnya berakhir dalam beredel atau bahkan menjadi abu. Tapi film memberi kesadaran baru bagi rezim Orba, bahwa sejarah hadir dalam kekuatan barunya: kekuatan audiovisual.
            Bukan sekedar hiburan atau untuk lebih membuka mata terhadap realitas, media audiovisual melalui perkembangan teknologi dan teknik pembuatannya telah berkembang menjadi sebuah genre arsip sejarah. Menyoal ini, Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen mengatakan bahwa ada pergeseran dalam penelitian sejarah selama beberapa tahun terakhir. Hal-hal terkait subjek, perspektif, dan pendekatan cenderung mulai menjauhi narasi besar (baca: negara, lembaga, hingga seri statistik).
Pergeseran itu dimaklumi terjadi karena ketidakpuasan terhadap narasi besar dalam mengendalikan dan memproduksi teks-teks sejarah. Ketika teks tidak berbunyi sebab ada yang ter/di-sembunyikan, maka sarana visual (seperti fotografi, film, dan teater) menjadi alternatif menggali hakikat dan pemahaman masa lalu melalui pendekatan subaltern (Nordholt, Purwanto, & Saptari, 2007). Jelas ini menjadi penting sebagai sebentuk penyi(ng)kapan terhadap narasi besar dalam menarasikan masa lalu yang lazim membenamkan kehidupan sehari-hari orang biasa berikut suara-suara mereka. Maka, bergeserlah narasi ke arah tema-tema lebih kecil yang sebelumnya kurang terartikulasi di wilayah perbatasan antara sejarah dan antropologi. Narasi tunggal pun digantikan oleh suara yang beragam.
Di sini, pandangan Nordholt dan Steijlen memagut pada sejarah kehidupan sehari-hari yang dikembangkan Henri Lefebvre di Prancis dan Alf Ludtke di Jerman. Melalui proyek audiovisual Don’t Forget to Remember Me, Nordholt dan Steijlen ingin membuktikan ”keampuhan” sebuah arsip audiovisual menggali hakikat pemahaman sejarah. Mengabadikan kehidupan sehari-sehari di Indonesia pada awal abad ke-21 selepas berakhirnya rezim Orba menjadi cara baru bagaimana melihat Indonesia dari lapis kehidupan yang biasa dari narasi orang-orang biasa (common peoples). Memang ini melampaui narasi besar. Tapi, paradigma everyday life melalui audiovisual sebenarnya sebuah ikhtiar bagaimana laku-laku negara diwakili, disikapi dan dibunyikan melalui suara orang-orang yang tidak punya suara selama masa kekuasaan  sebuah rezim. Ini sama halnya dengan film dokumenter De Stand van de Zon karya sutradara Leonard Retel Helmrich. Film yang dilansir pada 2001 ini dibuat dengan menggunakan pendekatan sosial budaya masyarakat Jakarta kala gejolak reformasi dan transisi pemerintahan pada 1999. Politik dan ekonomi Indonesia mengalami perubahan besar akibat gejolak reformasi. Namun yang dibidik oleh Helmrich bukan suasana politik pada lapis atas dan menengah. Justru masyarakat marjinal semisal supir bis kota, pengamen jalanan, hingga pemulung-lah yang jadi bidikan Helmrich. Ternyata, di balik segala keluh-kesah, kesusah, interaksi dan obrolan sehari-hari orang-orang biasa di Jakarta, didapati keriuhan suara-suara politik mereka yang sering diabaikan oleh negara.
Mungkin pengabadian momen-momen secara audiovisual menghasilkan ragam kelucuan dan keluguan. Tapi, di balik itu semua, sebenarnya tengah ditampilkan suara-suara paling jujur dalam menyikapi politik negara. Mungkin ini membenarkan ungkapan: vox populi vox Dei. Pada masa rezim Orba, orang-orang biasa bergunjing politik secara klandestin. Namun, selepas rezim itu berakhir, melalui De Stand van de Zon, kita dihadapkan pada realitas politik dan ekonomi Indonesia yang sebenarnya: kampanye hitam, politik uang, hingga pengangguran. Kenyataan ini tidak didapati pada narasi besar yang cenderung membiaskan realitas sosial melalui angka-angka statistik atau juga lembaga survey pemerintah. Masyarakat Indonesia dan negara-negara lain bisa diperdaya oleh narasi besar yang jamak berkata: angka kemiskinan dan pengangguran menurun. Tapi, sebuah arsip audiovisual menjadi penayang dan penyuara kenyataan sebenarnya yang dapat membukakan mata hati penontonnya. Pernyataan ini dapat dibuktikan melalui film 40 Years of Sillence: an Indonesian Tragedy (disutradai Robert Lemelson). Sebuah film yang menyuarakan suara-suara empat keluarga korban politik pasca 1965. Tidak berhenti pada sekedar korban. Pada 2012, muncul film dokumenter The Act of Killing (Jagal) karya sutradara Joshua Oppenheimer. Jika dilihat dari suara keluarga korban, ini memang membuat kita empatik dalam kesedihan mereka. Tapi, jika suara yang dibunyikan adalah narasi para jagal, yang ada adalah emosi campur aduk penonton di antara shok, mengutuk, dan betapa harga kemanusiaan tak bernilai lagi karena para jagal merasa tak berdosa bahkan menikmati pembunuhan yang dilakukannya.   
Dari itu semua, maka, pengabadian peristiwa sehari-hari dalam media audiovisual adalah sebentuk cara menayangkan realitas yang tidak tersingkapkan teks (bukan cuma menandingi narasi besar). Meski teks adalah sebentuk representasi atas realitas, tapi sebagai sebuah produk pikiran, teks bisa diarahkan sesuai kehendak dan benak si penulis. Ini yang sering kali memunculkan debat membosankan menyangkut batas subyektif dan obyektifnya teks yang sudah jelas nyata-nyata subyektif. Lain halnya dengan audiovisual. Meski juga bisa dipakai sebagai sarana propaganda, tapi teknik yang dikembangkan melalui film-film di atas bisa memberi alternatif baru bagaimana realitas sejarah dihadirkan di antara teks, gambar hidup (moving pictures), dan bunyi.      


[1] Pembacaan atas Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari: “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dan Henk Schulte Nordholt & Fridus Steijlen: “Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia pada Abad ke-21” dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (eds.). 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Obor & KITLV.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar