Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

“Sejarah Indonesia”: Dalam Perspektif Ruang dan Waktu


“Sejarah Indonesia”:
Dalam Perspektif Ruang dan Waktu[1]

Fadly Rahman (11/326651/PSA/07182)
Tugas Mata Kuliah: Historiografi (Review 9)

Hampir sebagian besar historiografi bekas negara-negara jajahan mula-mula digarap oleh para penjajahnya. Baru setelah kemerdekaan, para sejarawan nasional mengambil alihnya. Seperti halnya itu juga didapati dalam konteks historiografi Indonesia.
Namun ada dua hal yang menarik. Pertama, karya-karya historiografi kolonial tidak bisa tidak dipisahkan dari kebutuhan sejarawan nasional merekonstruksi sejarah bangsanya. Kedua, muncul generasi sejarawan Barat yang menaruh perhatian pada rekonstruksi sejarah bangsa-bangsa eks-jajahan. Di Indonesia, mereka acap disebut sebagai Indonesianis.
Sekian banyak Indonesianis yang menaruh perhatian terhadap sejarah Indonesia ini punya spesialisasinya masing-masing. Namun yang fokus pada sejarah besar Indonesia, bisa disebut beberapa nama. Salah satunya adalah M.C. Ricklefs. Sejarawan asal Australia ini menghasilkan karya A History of Modern Indonesia yang diterjemahkan ke Indonesia dan telah direvisi beberapa kali.
Hal menarik seputar wacana historiografi Indonesia adalah terkait masalah periodeisasi dan konteks ke-Indonesia-an. Keduanya bisa diseret ke dalam konteks historis dan politis, bahkan kedua konteks itu bisa diterapkan sekaligus. Ricklefs sendiri memilih istilah ”modern Indonesia” dalam tajuk bukunya. Batas awal periode yang ditentukannya adalan circa 1300. Periode transisi ketika Islamisasi mulai mengambil alih kedudukan dan pengaruh Hindu – Budha dari ruang geografis Nusantara. Sebagaimana diterangkan Ricklefs (hal. 14) dalam pengantar edisi pertama bukunya yang terbit 1981, bahwa masa abad ke 14 yang menjadi awal studinya ditekankan sebagai sebuah unit sejarah yang padu. Kepaduan itu dilandasi tiga unsur fundamental. Pertama yaitu unsur kebudayaan dan agama. Bahwa Islamisasi Indonesia yang dimulai masa sekitar 1300 dan berlanjut hingga hari ini menjadi alasannya. Dengan kata lain Ricklefs ingin mengatakan bahwa Islamisasi di Indonesia hingga hari ini adalah sebuah proses yang belum selesai. Kedua, unsur saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat yang dimulai sekitar 1500 dan hingga kini pun masih berlanjut. Dan yang ketiga adalah sumber-sumber primer sepanjang periode ini ditulis hampir secara ekslusif dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (semisal Jawa, Melayu, dan Barat. Bukan dalam Jawa Kuno atau Melayu Kuno).
Itu masalah periode. Dalam hal spasial, Ricklefs (hal. 15) pun menjelaskan, bahwa meski menggunakan label Indonesia, ia katakan bukunya ”mengutamakan sejarah Jawa lebih besar daripada yang mungkin dianggap sepantasnya.” Pernyataannya ini menarik. Pasalnya ini kian mengesankan bahwa Jawa adalah representasi Indonesia. Sebagaimana tiga unsur alasan yang juga ia uraikan, baik itu secara historiografis sejarah Jawa paling banyak dikaji dari yang luar Jawa; demografi penduduk Jawa lebih besar dari luar Jawa; dan Jawa sebagai pusat sejarah politik sepanjang masa.
Memang Ricklefs dengan jujur mengatakan bahwa karya historiografinya ini semata-mata adalah repetisi dan menambah kesalahan buku lain. Pun ia membuka peluang untuk mengkaji wilayah luar Jawa. Pada pokoknya ia bermaksud menjadikan bukunya ini memudahkan pembaca untuk menarik generalisasi atau membantah generalisasi pihak lain (hal. 15). Menarik pernyataannya ini, sebab ia tidak eksplisit mengatakan ”membantah generalisasi yang dibuatnya sendiri” terhadap sejarah Indonesia.
Sungguh, ini adalah soal perspektif. Berbeda halnya dengan model l’histoire totale yang dibuat oleh Denys Lombard (1990) dalam Le carrefour javanais: Essaie d’histoire globale yang terang-terangan tidak membuat generalisasi seperti Ricklefs bahwa Indonesia adalah Jawa dan Jawa adalah Indonesia. Lombard tidak seambisius Ricklefs. Dengan membuat tiga jilid bukunya yang menggunakan pola present to past (baca: Barat à Islam à Hindu), ia sekedar ingin menunjukkan bahwa Jawa tidak didudukkan sebagai sentrum, tapi sekedar le carrefour, “persilangan” budaya bagi nusa-nusa di kepulauan Indonesia. Meski begitu pola unik Lombard tidak terlalu diikuti oleh Indonesianis lainnya. Misalnya saja Jean Gelman Taylor (sejarawan Australia juga) yang menyusun Indonesia People and Histories (2003) lebih mengulang pola Ricklefs meski dengan perspektif lain.
Meskipun demikian adanya, perspektif Indonesianis seperti Ricklefs dapat dimaklumi. Pasalnya ia dibingungkan juga dengan konsep sejarah Indonesia secara geopolitik atau kebudayaan. Hal ini sebenarnya sudah dijawab secara bagus oleh Sartono Kartodirdjo dalam pengantar bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900; Dari Emporium sampai Imperium (1999). Bahwa dikatakan Sartono (hal. xvi): “sejarah Indonesia sebagai suatu konstruk berlandaskan konsep geopolitik dan  bukan konsep kebudayaan dalam artian Toynbee.” Kedua konsepsi inilah yang membingungkan secara waktu dan ruang. Lebih-lebih tuntutan “historiografi Indonesiasentis” mengacaukan caesuur atau pembatasan periode yang seharusnya dihadirkan bukan justru dibenar-benarkan atau dicocok-cocokan. Maka, berbeda dengan Ricklefs, perspektif Sartono (hal. xvii) lebih sederhana dan tidak muluk-muluk, bahwa dalam bukunya: “periodeisasi tidak digunakan seperti biasanya dalam penulisan sejarah, akan tetapi digunakan sebagai kerangka atau batasan waktu secara kasar.” Alasannya jelas, bahwa perkembangan dan perubahan struktural pada umumnya tidak dapat dicakup dengan periodeisasi yang ketat.
Perspektif dan prinsip Sartono ini sebenarnya bisa menjadi catatan kritis bagi karya Ricklefs. Tapi lebih dari itu, ini menjadi catatan besar bagi historiografi Indonesiasentris sendiri yang terjebak dalam ahistorisitas “Sejarah Nasional Indonesia“ sebagai sebuah proyek politik yang digelorakan rezim penguasa.             


[1] Pembacaan atas Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900; Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia (bagian kata pengantar); dan M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Jakarta: Serambi (bagian prakata edisi pertama)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar