Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

DUA CONTOH PENULISAN SEJARAH INDONESIA


Adrian Perkasa
338934
Penulisan sejarah suatu bangsa khususnya di daerah yang pernah menjadi koloni bangsa relatif sulit. Kesulitan tersebut pada umumnya berawal dari pertanyaan tentang identitas nasional, seperti apakah identitas bangsa tersebut akan dibentuk? Sejarah nasional dengan segala kelebihan dan kekurangannya memang mewakili suatu rejim tertentu ketika ditulis. Seperti yang dapat kita lihat dari buku Sejarah Nasional Indonesia yang diedit oleh Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened. Sejarah yang dituliskan dalam buku tersebut jelas merupakan representasi terbaik bagaimana pemerintah Indonesia saat itu membutuhkan suatu sejarah tentang bangsanya. Apabila pembaca tidak kritis terhadapnya, maka penilaian yang didapat dari buku tersebut akan menjadi positif karena memaparkan historiografi dengan data termutakhir tentang masing–masing periode. Di sini pengulas akan membahasnya lebih lanjut sembari melakukan ulasan atas kata pengantar dua buku tentang sejarah Indonesia yakni Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500–1900: Dari Emporium ke Emporium karya Sartono Kartodirjo dan Sejarah Indonesia Modern karya M.C.Ricklefs.
Satu poin penting yang segera pengulas dapatkan begitu membaca pengantar buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru adalah posisi dari Sartono yang mencoba menuliskan sejarah total dari Indonesia. Rupanya Sartono secara konsisten berada dalam kategori sejarawan yang disebut Alun Munslow sebagai kalangan konstruksionis. Sejarawan dari kalangan ini melakukan penulisan sejarah dengan menggunakan teori dan konsep dari ilmu–ilmu sosial lain untuk mendapatkan dan menyajikan gambaran yang komprehensif tentang masa lalu. Teori dan konsep dalam ilmu sosial lain seperti ekonomi jelas terlihat dalam pengantar buku ini misalnya tentang konsep sistem, struktur, model bahkan istilah emporium dan imperium mengacu pada konsep ilmu ekonomi politik. Hal tersebut bisa dibaca sejak halaman pertama sampai akhir dari bagian pengantar. Di sini pengulas melihat konsistensi dari seorang Sartono Kartodirjo yang sejak ditulis magnum opus–nya “Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya – Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia”. Di dalam karya beliau itu telah dilakukan suatu terobosan besar di kalangan sejarawan Indonesia yakni dalam pemakaian ilmu–ilmu sosial dalam historiografi. Bahkan selanjutnya disadari ataupun tidak pemikiran Sartono tersebut disebut sebagai mazhab penulisan sejarah tersendiri yakni mazhab Bulaksumur.
Dari sebutan tersebut, memang pengulas meyakini ada benarnya jika menyebut pemikiran yang diajarkan oleh Sartono tersebut membawa banyak perubahan baru dalam penulisan sejarah di Indonesia sehingga tak salah apabila disebut sebagai mazhab tersendiri. Namun harus pula diingat bahwa penggunaan ilmu–ilmu sosial dalam penulisan sejarah telah dirintis sejak awal abad XX di Eropa barat khususnya dari kelompok sejarawan Perancis yang kemudian menerbitkan jurnal yang disebut Annales. Diawali dari generasi pertama seperti Lucien LeFebvre dan Marc Bloch dan dilanjutkan generasi penerusnya seperti Fernand Braudel, mereka telah memasukkan konsep–konsep dari ilmu sosial lainnya ke dalam penulisan sejarah. Bahkan Braudel dengan historiografinya tentang Perairan Mediterania dianggap telah menunjukkan standar tentang bagaimana suatu sejarah total ditulis. Di sini lah Sartono memiliki keinginan yang sama untuk membuat sejarah total di Indonesia, tetapi bukan sekedar mengumpulkan sejarah lokal masing–masing daerah di nusantara seperti yang bisa kita lihat pada halaman xvii.
Penulisan sejarah total yang dilakukan Sartono ini membawa implikasi tidak adanya atau diabaikannya unsur periodesasi yang ketat beserta pembatasannya. Hal ini merupakan perbedaan mendasar lainnya antara historigrafi ini dengan Sejarah Nasional Indonesia maupun Sejarah Indonesia Modern. Apabila ditemukan suatu periodesasi dari buku Sartono ini bukanlah merupakan suatu yang ketat melainkan hanya sebagai pegangan untuk menggambarkan proses sejarah di Indonesia, bukan hanya bangsa Indonesia seperti yang diinginkan oleh Sejarah Nasional Indonesia. Proses yang melihat adanya kontinuitas maupun diskontinuitas merupakan unsur utama dari historiografi Sartono sehingga menurutnya periodesasi secara mutlak tidak atau kurang menemukan relevansinya. Jelas karya ini berbeda jika dibandingkan dengan Sejarah Nasional Indonesia yang berpatokan pada periodesasi yang ketat dimana masing–masing jilidnya dibagi antar babakan sejarah yang berbeda. Dengan kekakuan yang terdapat dalam periodesasi tersebut, maka kita akan kesulitan untuk memasukkan misalnya dimanakah sejarah Majapahit itu ditulis karena dalam jilid II hanya menuliskan tentang masa Hindu–Budha dan jilid III telah berbicara tentang masa Islam. Padahal fakta yang ada menunjukkan wajah kerajaan tersebut yang kosmpolitan bahkan banyak anasir di dalamnya menunjukkan keislaman. Penggunaan periodesasi sebagai acuan penulisan sejarah juga dilakukan oleh Ricklefs dalam historiografinya, namun tidak sekaku pembabakan dalam Sejarah Nasional Indonesia.
Memang sudah sewajarnya Ricklefs insyaf bahwa Sejarah Nasional Indonesia masih mewarisi produk penulisan sejarah kolonial khususnya F.W.Stapel, maka periodesasi yang ada dalam Sejarah Indonesia Modern bukan yang demikian. Seperti yang disebutkan sendiri oleh Ricklefs di halaman 15 bagian pengantar bukunya bahwa yang ditulisnya adalah narasi yang rinci dari peristiwa–peristiwa masa lalu di Indonesia. Tentu saja pengulas akan memasukkan Ricklefs ke dalam sejarawan dalam kategori yang disebut oleh Munslow sebagai rekonstruksionis. Dalam kategori ini sejarawan berusaha mengikuti apa yang menjadi statemen dari Leopold von Ranke yakni sejarawan harus mengungkapkan masa lalu secara apa adanya (wie es eigentlich gewesen). Melalui penilaian yang kritis dan elaborasi terhadap sumber maka memungkinkan untuk dituliskan sejarah dengan obyektif. Narasi menjadi kendaraan bagi sejarawan untuk menggambarkan masa lalu dengan dokumen dan sumber yang dimilikinya. Di sinilah pentingnya periodesasi karena mengikat narasi itu untuk kemudian membuatnya menjadi kronologis. Menurut pengulas yang menarik dari kata pengantar buku ini bukan pada narasi maupun periodesasi dari karya ini yang berbeda dari Sejarah Nasional Indonesia, melainkan pemilihan istilah modern dan meletakkannya pada abad XIII masehi.
Pertanyaan tentang mengapa abad tersebut dipilih sebagai titik awal apa yang disebut Indonesia modern oleh Ricklefs telah tersedia jawabannya di kata pengantar buku ini. Menurut Ricklefs, periode tersebut telah ada unsur–unsur fundamental yang membuat kesatuan historis Indonesia yaitu unsur kebudayaan dan agama terutama Islam yang berlanjut hingga dewasa ini, unsur topik relasi antara orang Indonesia dan Barat, dan terakhir unsur historiografi dimana sumber–sumber primer seperti dokumen dan karya sastra ditulis dalam bahasa Indonesia modern termasuk Jawa dan Melayu maupun bahasa–bahasa Eropa. Sebenarnya pemilihan Ricklefs yang arbiter ini bisa dijelaskan lagi lebih rinci untuk menjadikan pembacanya lebih paham apakah maksud dan tujuan penulisan ini. Apabila tidak dituliskan seperti ini wajar saja jika kemudian ada beberapa kalangan yang berpikir bahwa historiografi ini ditulis oleh Ricklefs, terlepas dari kecermatannya dalam menuliskan sejarah Indonesia, karena ada kepentingan tertentu khususnya politik maupun akademik. Pengulas pun merupakan salah satu diantaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar