Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

AKTIVISME SEJARAWAN, ANTARA IDEALISME DAN PRAXIS


Adrian Perkasa
338934
Sangat menarik! Itulah komentar pertama kali yang terlontar dalam pikiran ketika menyimak tema dari Studium Generale yang diadakan pada tanggal 20 Desember yang lalu. Selain pengalaman dari Mike G Vann  yang melakukan penelitian di tempat yang asing, pembicara lainnya Guo Quan Seng membawakan materi yang tak kalah menarik khususnya tentang masalah aktivisme bagi sejarawan. Walaupun tidak memberikan presentasi yang komplit seperti yang dilakukan oleh Vann, pembicara yang merupakan kandidat Doktor dari Universitas Chicago ini semakin meyakinkan pengulas tentang apa yang sedang dilakukannya berada di jalur yang tepat. Apa yang dibicarakannya akan saya ulas dalam tulisan singkat ini.
Mengapa anda memilih sejarah sebagai subjek yang ditekuni? Pertanyaan itu dikemukakan oleh Seng di depan forum. Menurut pengulas, pertanyaan tersebut bukanlah sekedar pertanyaan retoris belaka, melainkan sebuah pertanyaan ontologis bagi siapa saja yang telah menekuni sejarah sebagai disiplin akademisnya. Tentu saja masing–masing diri kita memiliki motivasi, cita–cita, tujuan, dan ekspektasi tersendiri ketika memutuskan hal tersebut. Tidak sedikit yang menjawab dengan alasan yang begitu rasional. Akan tetapi jawaban pengulas sendiri terhadap pertanyaan tersebut sangat sederhana karena alasan yang cenderung emosional, saya mencintai disiplin ilmu ini. Sulit bagi pengulas untuk menjelaskan secara rasional alasan mengapa demikian. Di titik ini, pengulas kemudian ingat apa yang pernah disebutkan oleh Kuntowijoyo.
Apa hubungannya dengan Kuntowijoyo? Pak Kunto telah memberikan sesuatu yang esensial ketika menjelaskan tentang metode dalam ilmu sejarah. Sebelum seorang sejarawan menggunakan metode yang lazim dari urut–urutan heuristik hingga verifikasi, ada satu tahapan di awal yang jarang diperhatikan sejarawan yakni pemilihan topik. Di sinilah menurut Pak Kunto seorang sejarawan ketika dalam fase ini disarankan untuk memilih topik yang menurutnya memiliki kedekatan baik kedekatan intelektual maupun kedekatan emosional. Sejauh yang pengulas tangkap dari maksud Pak Kunto adalah adanya faktor di luar pertimbangan rasional yang harus diperhatikan oleh seorang sejarawan khususnya tentang topik apa yang benar–benar menarik perhatiannya. Di sini pengulas melakukan apa yang dianjurkan oleh Pak Kunto misalnya pada saat mengerjakan skripsi pada saat studi di program sarjana. Pengulas mengambil topik penelitian tentang sejarah Indonesia klasik dimana pengulas tidak pernah mendapatkan secuil pun ilmu untuk mendalami topik tersebut misalnya arkeologi secara formal. Gambaran tersebut memberikan contoh bahwa tidak banyak terdapat kedekatan intelektual dengan topik yang dipilih. Namun karena sedari awal telah ada keinginan yang begitu besar untuk menelitinya, maka tetap topik tersebut yang pengulas pilih. Dari sini terlihat kedekatan emosional yang lebih mendominasi daripada kedekatan intelektual.
Kondisi tersebut dapat pengulas analogikan ketika memilih untuk menekuni disiplin ilmu sejarah. Pada awalnya memang pertimbangan rasional ketika menempuh pendidikan sarjana mengakibatkan pengulas menempuh dua disiplin ilmu sekaligus mulai awal hingga selesai yakni ilmu hubungan internasional selain ilmu sejarah. Akan tetapi seiring perkembangan pemikiran dan anjuran Pak Kunto yang pernah penulis baca, pilihan akhir tersebut semakin jelas bahwa memang ilmu sejarah yang memiliki kedekatan emosional yang lebih tinggi. Ibarat seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara, tak peduli betapa pun kesulitan yang menghadang, tak menyurutkan langkahnya untuk memadu kasih dengan gadis pujaan hatinya. Perkembangan perjalanan intelektual dan pengalaman selama menempuh pendidikan sarjana semakin menegaskan pilihan pengulas. Secara ontologis maupun epistemologis ketika pengulas mendalami disiplin ilmu hubungan internasional, memperlihatkan bahwa disiplin tersebut banyak bergantung pada disiplin ilmu lain khususnya ilmu politik dan ilmu sejarah. Tak jarang teoritisi ilmu sejarah menyumbangkan teori dan konsep penting dalam ilmu hubungan internasional misalnya E.H.Carr, H.J.Morgenthau dan masih banyak lainnya.
Berbeda dengan ilmu sejarah yang ada dalam pemikiran pengulas. Apabila digambarkan secara hirarkis dalam filsafat ilmu, posisi dari disiplin ilmu ini benar–benar berada setingkat di bawah filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Ilmu sejarah merupakan perspektif yang dibutuhkan oleh ilmu–ilmu lainnya baik ilmu sosial maupun ilmu alam. Melihat pentingnya posisi dan kontribusi ilmu sejarah tentu saja semakin meyakinkan pengulas untuk mendalami disiplin ini. Namun kemudian muncul pertanyaan lagi bagaimana dengan praxis seorang sejarawan itu sendiri, apakah hanya sebatas membuat tulisan sejarah alias historiografi atau lebih dari itu? Pengulas berada dalam posisi yang bersepakat dengan argumen dari Antonio Gramsci bahwa intelektual harus menjadi intelektual organik dimana akan mampu menjadi berkat bagi sekelilingnya. Pengulas tidak sependapat dengan pemikiran yang menyebutkan bahwa intelektual khususnya akademisi dan perguruan tinggi diposisikan sebagai menara gading.
Rupanya kegelisahan yang sama juga dirasakan oleh Seng ketika ia menceritakan pengalamannya di Singapura, negara dimana Seng dibesarkan. Dalam presentasinya juga disebutkan beberapa sejarawan yang terlibat aktivisme khususnya yang sering disinggung tentu saja E.P.Thompson. Thompson sendiri merupakan figur nyata bahkan mungkin juga role–model bagi seorang sejarawan cum aktivis. Bagaimana tidak, melalui karya historiografi The Making of the English Working Class yang menarasikan sejarah tentang kelas pekerja Inggris didukung dengan peran aktifnya sebagai seorang fungsionaris partai komunis hingga bertransformasi ke dalam pembentukan generasi kiri baru di Inggris Raya namanya kian diperhitungkan. Bahkan sampai menjelang akhir hayatnya, Thompson masih bergiat dengan aktivisme khususnya gerakan anti senjata nuklir di Eropa. Tentu saja disiplin ilmu sejarah sendiri merupakan potensi bagi latar belakang seseorang untuk terlibat dalam aktivisme. Hal tersebut terjadi karena sifat alami atau nature dari ilmu sejarah sendiri yang menuntut kebenaran–kebenaran dari peristiwa yang menjadi objek penelitiannya. Selubung yang menutupi fakta sesungguhnya baik itu yang bersifat mitis hingga politis adalah kewajiban bagi sejarawan untuk membukanya kemudian menuliskannya dalam historiografi.
Di titik inilah kemudian muncul kesadaran yang tidak hanya sebatas kesadaran akan pentingnya penulisan yang mendekati kebenaran (karena tentu saja kebenaran atau truth yang sesungguhnya mustahil tercapai) tetapi juga kesadaran untuk bergerak melakukan sesuatu dalam tataran praxis. Kondisi ini juga berlaku seturut dengan pengalaman yang pengulas hadapi sendiri. Misalnya ketika pengulas mengerjakan topik penelitian tentang situs Trowulan ternyata banyak sekali masalah membelit objek penelitian, khususnya dalam hal pelestarian atau konservasi. Melihat kondisi tersebut tentu saja pengulas tidak bisa tinggal diam. Ada kepentingan terhadap pelestarian kawasan tersebut baik itu kepentingan akademis maupun yang lain. Untuk kepentingan akademis, jelas apabila semakin banyak kerusakan yang timbul maka sedikit demi sedikit hilang pula sumber bagi penulisan sejarah. Tentu saja hal ini tidak diinginkan bagi siapapun peneliti atau sejarawan yang menjadikan situs Trowulan sebagai salah satu sumber atau bahkan objek penelitiannya. Maka di sinilah pengulas terlibat dalam aktivisme pelestarian kawasan situs tersebut. Apa yang kemudian membuat heran pengulas adalah para pegiatnya pada umumnya berprofesi sebagai arsitek bukan arkeolog ataupun sejarawan. Namun setelah mendalami sejarah aktivisme di kawasan tersebut, memang yang menjadi pionir adalah seorang arsitek dan juga antiquarian, Henry Maclaine Pont.  Selain itu, kian menjamurnya aktivisme dalam sejarah seperti komunitas pecinta sejarah malah menunjukkan tingginya kalangan di luar sejarawan profesional yang terlibat. Entah mengapa kondisi di skala Jawa Timur menunjukkan sedikitnya keterlibatan sejarawan profesional dalam aktivisme tersebut. Sudah seharusnya sejarawan harus ikut ambil bagian terlibat di sana, walaupun tentu saja tidak sedikit perbedaan yang mencolok antara idealitas sejarawan dengan praxis yang ada di lapangan. Namun apabila sejak awal telah ada kedekatan emosional dengan aktivisme yang dijalani kendala–kendala tersebut menjadi tidak masalah lagi, ibarat si pemuda yang sedang jatuh cinta tadi bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar