Nama : Septi Utami
Nim : 12/339799/PSA/7354
Secara
umum ketergantunganakan akan sikap Eurosentrisme selalu menjadi wacana yang
banyak dibicarakan, namun sampai saat ini kejelasan akan wacana dalam
penerapannya belum terlihat jelas. Akan tetapi, dalam buku ini mencoba
menyebarkan wacana tersebut sehingga didapati suatu pemahaman yang jelas. Buku
ini menyiratkan secara gamblang tentang penggunaan teori, ideologi, konsep,
serta gagasan berdasarkan pandangan terhadap Asia sebagai negara yang sampai
saat ini masih terjajah di dalam pemikirannya. Seberapa jauh sumber lokal dapat
membantu penggunaan konsep-konsep ilmiah. Pokok persoalan pada bab ini adalah
masalah diskursus yang mana merupakan suatu titik tolak dalam membersihkan
eurosentrisme karena hal itu merujuk pada pemusatan dari hegemoni masa kolonial.
Ciri dari dikursus alternatif ini adalah; kritik terhadap Eurosentrisme dan
juga Orientalisme dalam ilmu sosial; mengangkat masalah metodologi dan
epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, ataupun filsafat sejarah;
penganalisisan masalahyang timbul pada pembagian kerja dalam ilmu sosial,
dimana ilmu sosial saat ini dipandang bukan berasal asli dari dirinya dalam
memandang Asia; merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah mencakup
pengembangan konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan dengan kondisi
lokal; memunculkan masalah orisinil dalam telaah sosial dan sejarah; mengakui
semua peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ide ilmu sosial; penolakan
atas ilmu sosial Barat.
Syed
Farid Alatas dalam menjelaskan indigenous
sebagai ulayat karena dalam konteks ini ulayat menggambarkan diri Asia sebagai
penolakan terhadap pandangan Barat. Ulayat disini tidak berartikan penolakan
mutlak atas semua masukan Barat dalam teorisasi dan tidak berusaha untuk
menggantikan Eurosentrisme dengan nativisme atau posisi dogmatik yang lain.
Akan tetapi, setidaknya sebuah teori dan konsep yang selama ini digaungkan para
pneliti dalam memproses hasil penelitiannya dapat diambil dari pengalaman
sejarah dan praktik kebudayaan berbagai budaya non-Barat. Pernyataan bahwa
sikap penolakan terhadap peniruan oleh Barat dapat dibangun melalui sekumpulan
pengetahuan yang bersifat komparatif dan lintas budaya sehingga ide, konsep,
dan perdebatan yang berasal dari hermeneutika berkelanjutan antara
kebudayaannya sendiri dan kebudayaan orang lain. Jika hermeneutika semacam itu
tidak ada, maka ide-ide yang muncul akan sekedar daur ulang, sementara ide-ide
baru hanya akan bersumber dari Barat. Pendeknya, ilmu sosial ulayat adalah ilmu
sosial yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan praktik budaya ulayat dalam
arti yang sama sebagaimana ilmu sosial Barat. Akan tetapi, ulayat mengalami
peralihan pada filsafat, epistemologi, sejarah, seni, dan bentuk pengetahuan
ulayat lain, yang semuanya dapat menjadi sumber potensial teori dan konsep ilmu
sosial. Pengetauan semacam itu akan mengurangi kebergantungan intelektual pada
kekuatan ilmu Barat.
Proses
penggunaan sudut pandang ulayat dapat didekati melalui; ulayatisasi dari dalam
dimana merujuk pada elaborasi, kopdifikasi, sistematisasi, kemudian penerapan
metode, konsep, dan teori ulayat secara sistematis. Sedangkan ulayatisasi dari
luar merujuk pada modifikasi dan penerjemahan materi impor yang akhirnya
diasimilasi secara teoritis dan kultural. Para pelaku ulayatisasi pengetahuan
tidak ingin mengabaikan ilmu sosial Barat, tetapi berharap bisa membuka
kemungkinan filsafat, epistemologi, dan sejarah ulayat agar menjadi basis
pengetahuan. Seperti yang dilakukan Purnawan Basundoro dalam bukunya yang
berjudul “Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang sejak Masa Kolonial sampai
Kemerdekaan”. Dalam buku ini Basundoro menjelaskan pemakaian data-data dari
kolonial sehingga dijadikannya sebagai dasar guna melihat kehidupan rakyat
miskin pada masa kolonial di Surabaya. Akan tetapi, data tersebut tidak
digunakannya dalam melihat penjajah dan dijajah, namun data itu merupakan
ungkapan orang miskin dalam melihat dirinya yang miskin sehingga ada suatu
keinginan untuk bangkit dan membangun identitas yang sama. Kecendrungan pada
tulisan Basundoro adalah penggunaan tanah yang dijadikan pemukiman liar dan
memunculkan banyak konflik dimana penguasa berpengaruh dalam menentukan
kebijakan. Selain politik dan ekonomi yang dihadirkan dimana Surabaya sebagai
kota industri sehingga memiliki daya tarik tersendiri adapun tulisan mengenai
proses modernitas menjadi alasan Basundoro dalam melihat data-data dari
kolonial tersebut. Hal ini merupakan suatu langkah maju untuk membalikkan
orientasi dalam melihat penjajah hanya berlingkup pada ruang hitan, namun kita
juga dapat melihat penjajah dari sisi lainnya. Data itu yang merupakan bacaan
alternatif terhadap teks-teks kolonial dianggap tidak dapat memperlihatkan
sejarah sesungguhnya serta hanya memperlihatkan kekuatan kolonial, namun teks-teks
itu dibuat oleh Basundoro hanya sebagai bahan pendukung dan suara-suara dari
sisi rakyat sangat diperhatikan walaupun tidak menampik bahwa ada suatu subjektifitas di dalamnya.
Kelanjutan
dalam diskursus alternatif yaitu menghadirkan seruan akan pendekatan otonom
dalam sejarah dan ilmu sosial, yang mana harusnya dapat memunculkan
masalah-masalah orisinil serta pokok permasalahan riset baru, termasuk
pemunculan konsep baru. Konsep ini menawarkan ide tentang suatu pemahaman yang
tidak bisa dilihat hanya menggunakan sisi positifis. Konteks pemunculan masalah
orisinil, penumbuhan konsep dan teoribaru, sintesis antara pengetahuan Barat
dan non-Barat dapat merujuk pada kreativitas intelektual endogen. Endogen
dipahami merujuk pada usaha kreativitas intelektual, bukan pada elemen-elemen
pembentuk hasil yang dicapai atau materi-materi yang digunakan. Hal ini berarti
bahwa suatu hal dapat dirumuskan melalui penglihatan terhadap suatu yang
termarginalkan, seperti penelitian Oommen dimana Anglo-Amerika dilihat sebagai
suatu pencapaian tinggi dari pada masyarakat Asia-Afrika yang masih hidup
bertani, berinteraksi, dan tinggal di pedesaan. Pengertian ini dapat dilihat
juga pada beberapa tulisan yang banyak berorientasi tentang masyarakat Barat
adalah suatu pencapaian, seperti yang tergambar di dalam teori evolusi.
Ilmu
sosial merupakan elemen kapitalisme kolonial lantaran tabiat kolonialis tidak
dapat hilang walaupun kemerdekaan sudah diraing jauh hari. Oleh karena itu hal
yang perlu dilakukan adalah melakukan dekolonisasi pada budaya-budaya kolonial
yang masih tinggal, serta bidang-bidang akademik. Hal ini sangat penting guna
merubah pandangan orang Asia dalam melihat dirinya, dimana akademik merupakan
hal krusial untuk menanamkan suatu ideologi yang sudah tertanam terhadap cara
menulis dan melihat kolonial. Sekolah maupun universitas seharusnya sudah
selayaknya mulai menawarkan pcara penulisan berbeda dimana hal ini sebagai
adanya perkembangan postmodernisme. Akan tetapi, tidak hanya budaya dan
akademik saja, namun tata cara pemerintahan dan peraturan-peraturan masih
terlihat dominasi dari lungsuran penjajah. Cara lain yang ditawarkan oleh Syed
Farid Alatas adalah mulai memunculkan isu-isu global yang tidak hanya terkait
dengan permasalahan politik dan ekonomi semata. Akan tetapi, sorotan terhadap makanan,
korporasi lintas bangsa, dan pembagian kerja internasional dimasukkan sebagai
suatu awal mula untuk melihat sejarah bangsa. Alternatif-alternatif itu
menghindari dualisme wilayah Utara/Selatan, pusat/pinggiran, dan
maju/berkembang yang cenderung memaksakan keseragaman negatif pada masyarakat
non-Barat.
Penerapan
yang ditawarkan ini tidak semata-mata hanya merupakan wacana, namun dapat
terealisasi jika seorang penelitimulai memberlakukan pandangan terhadap
bangsanya sendiri. Sedangkan untuk meraih ini pemanfaatan sumber lokal
sangatlah menjamin penelitian berpandangan dikursus ini karena melalui suatu
pengalaman dapat membentuk suatu sejarah yang sesungguhnya dan tidak hanya
memaksakan penggunaan metode serta teori-teori yang ditawarkan bangsa Barat sejak
dulu. Oleh sebab itu, kembali pada permasalahan epistemologi yang mulai
dipusatkan pada cerita atas cerminan diri guna membentuk identitas bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar