Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia, oleh Syed Farid Alatas - Definisi dan Ragam Diskursus Alternatif di Asia


Nama     : Septi Utami
Nim         : 12/339799/PSA/7354



Secara umum ketergantunganakan akan sikap Eurosentrisme selalu menjadi wacana yang banyak dibicarakan, namun sampai saat ini kejelasan akan wacana dalam penerapannya belum terlihat jelas. Akan tetapi, dalam buku ini mencoba menyebarkan wacana tersebut sehingga didapati suatu pemahaman yang jelas. Buku ini menyiratkan secara gamblang tentang penggunaan teori, ideologi, konsep, serta gagasan berdasarkan pandangan terhadap Asia sebagai negara yang sampai saat ini masih terjajah di dalam pemikirannya. Seberapa jauh sumber lokal dapat membantu penggunaan konsep-konsep ilmiah. Pokok persoalan pada bab ini adalah masalah diskursus yang mana merupakan suatu titik tolak dalam membersihkan eurosentrisme karena hal itu merujuk pada pemusatan dari hegemoni masa kolonial. Ciri dari dikursus alternatif ini adalah; kritik terhadap Eurosentrisme dan juga Orientalisme dalam ilmu sosial; mengangkat masalah metodologi dan epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, ataupun filsafat sejarah; penganalisisan masalahyang timbul pada pembagian kerja dalam ilmu sosial, dimana ilmu sosial saat ini dipandang bukan berasal asli dari dirinya dalam memandang Asia; merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah mencakup pengembangan konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan dengan kondisi lokal; memunculkan masalah orisinil dalam telaah sosial dan sejarah; mengakui semua peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ide ilmu sosial; penolakan atas ilmu sosial Barat.
Syed Farid Alatas dalam menjelaskan indigenous sebagai ulayat karena dalam konteks ini ulayat menggambarkan diri Asia sebagai penolakan terhadap pandangan Barat. Ulayat disini tidak berartikan penolakan mutlak atas semua masukan Barat dalam teorisasi dan tidak berusaha untuk menggantikan Eurosentrisme dengan nativisme atau posisi dogmatik yang lain. Akan tetapi, setidaknya sebuah teori dan konsep yang selama ini digaungkan para pneliti dalam memproses hasil penelitiannya dapat diambil dari pengalaman sejarah dan praktik kebudayaan berbagai budaya non-Barat. Pernyataan bahwa sikap penolakan terhadap peniruan oleh Barat dapat dibangun melalui sekumpulan pengetahuan yang bersifat komparatif dan lintas budaya sehingga ide, konsep, dan perdebatan yang berasal dari hermeneutika berkelanjutan antara kebudayaannya sendiri dan kebudayaan orang lain. Jika hermeneutika semacam itu tidak ada, maka ide-ide yang muncul akan sekedar daur ulang, sementara ide-ide baru hanya akan bersumber dari Barat. Pendeknya, ilmu sosial ulayat adalah ilmu sosial yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama sebagaimana ilmu sosial Barat. Akan tetapi, ulayat mengalami peralihan pada filsafat, epistemologi, sejarah, seni, dan bentuk pengetahuan ulayat lain, yang semuanya dapat menjadi sumber potensial teori dan konsep ilmu sosial. Pengetauan semacam itu akan mengurangi kebergantungan intelektual pada kekuatan ilmu Barat.
Proses penggunaan sudut pandang ulayat dapat didekati melalui; ulayatisasi dari dalam dimana merujuk pada elaborasi, kopdifikasi, sistematisasi, kemudian penerapan metode, konsep, dan teori ulayat secara sistematis. Sedangkan ulayatisasi dari luar merujuk pada modifikasi dan penerjemahan materi impor yang akhirnya diasimilasi secara teoritis dan kultural. Para pelaku ulayatisasi pengetahuan tidak ingin mengabaikan ilmu sosial Barat, tetapi berharap bisa membuka kemungkinan filsafat, epistemologi, dan sejarah ulayat agar menjadi basis pengetahuan. Seperti yang dilakukan Purnawan Basundoro dalam bukunya yang berjudul “Dua Kota Tiga Zaman, Surabaya dan Malang sejak Masa Kolonial sampai Kemerdekaan”. Dalam buku ini Basundoro menjelaskan pemakaian data-data dari kolonial sehingga dijadikannya sebagai dasar guna melihat kehidupan rakyat miskin pada masa kolonial di Surabaya. Akan tetapi, data tersebut tidak digunakannya dalam melihat penjajah dan dijajah, namun data itu merupakan ungkapan orang miskin dalam melihat dirinya yang miskin sehingga ada suatu keinginan untuk bangkit dan membangun identitas yang sama. Kecendrungan pada tulisan Basundoro adalah penggunaan tanah yang dijadikan pemukiman liar dan memunculkan banyak konflik dimana penguasa berpengaruh dalam menentukan kebijakan. Selain politik dan ekonomi yang dihadirkan dimana Surabaya sebagai kota industri sehingga memiliki daya tarik tersendiri adapun tulisan mengenai proses modernitas menjadi alasan Basundoro dalam melihat data-data dari kolonial tersebut. Hal ini merupakan suatu langkah maju untuk membalikkan orientasi dalam melihat penjajah hanya berlingkup pada ruang hitan, namun kita juga dapat melihat penjajah dari sisi lainnya. Data itu yang merupakan bacaan alternatif terhadap teks-teks kolonial dianggap tidak dapat memperlihatkan sejarah sesungguhnya serta hanya memperlihatkan kekuatan kolonial, namun teks-teks itu dibuat oleh Basundoro hanya sebagai bahan pendukung dan suara-suara dari sisi rakyat sangat diperhatikan walaupun tidak menampik bahwa ada suatu  subjektifitas di dalamnya.
Kelanjutan dalam diskursus alternatif yaitu menghadirkan seruan akan pendekatan otonom dalam sejarah dan ilmu sosial, yang mana harusnya dapat memunculkan masalah-masalah orisinil serta pokok permasalahan riset baru, termasuk pemunculan konsep baru. Konsep ini menawarkan ide tentang suatu pemahaman yang tidak bisa dilihat hanya menggunakan sisi positifis. Konteks pemunculan masalah orisinil, penumbuhan konsep dan teoribaru, sintesis antara pengetahuan Barat dan non-Barat dapat merujuk pada kreativitas intelektual endogen. Endogen dipahami merujuk pada usaha kreativitas intelektual, bukan pada elemen-elemen pembentuk hasil yang dicapai atau materi-materi yang digunakan. Hal ini berarti bahwa suatu hal dapat dirumuskan melalui penglihatan terhadap suatu yang termarginalkan, seperti penelitian Oommen dimana Anglo-Amerika dilihat sebagai suatu pencapaian tinggi dari pada masyarakat Asia-Afrika yang masih hidup bertani, berinteraksi, dan tinggal di pedesaan. Pengertian ini dapat dilihat juga pada beberapa tulisan yang banyak berorientasi tentang masyarakat Barat adalah suatu pencapaian, seperti yang tergambar di dalam teori evolusi.
Ilmu sosial merupakan elemen kapitalisme kolonial lantaran tabiat kolonialis tidak dapat hilang walaupun kemerdekaan sudah diraing jauh hari. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan adalah melakukan dekolonisasi pada budaya-budaya kolonial yang masih tinggal, serta bidang-bidang akademik. Hal ini sangat penting guna merubah pandangan orang Asia dalam melihat dirinya, dimana akademik merupakan hal krusial untuk menanamkan suatu ideologi yang sudah tertanam terhadap cara menulis dan melihat kolonial. Sekolah maupun universitas seharusnya sudah selayaknya mulai menawarkan pcara penulisan berbeda dimana hal ini sebagai adanya perkembangan postmodernisme. Akan tetapi, tidak hanya budaya dan akademik saja, namun tata cara pemerintahan dan peraturan-peraturan masih terlihat dominasi dari lungsuran penjajah. Cara lain yang ditawarkan oleh Syed Farid Alatas adalah mulai memunculkan isu-isu global yang tidak hanya terkait dengan permasalahan politik dan ekonomi semata. Akan tetapi, sorotan terhadap makanan, korporasi lintas bangsa, dan pembagian kerja internasional dimasukkan sebagai suatu awal mula untuk melihat sejarah bangsa. Alternatif-alternatif itu menghindari dualisme wilayah Utara/Selatan, pusat/pinggiran, dan maju/berkembang yang cenderung memaksakan keseragaman negatif pada masyarakat non-Barat.
Penerapan yang ditawarkan ini tidak semata-mata hanya merupakan wacana, namun dapat terealisasi jika seorang penelitimulai memberlakukan pandangan terhadap bangsanya sendiri. Sedangkan untuk meraih ini pemanfaatan sumber lokal sangatlah menjamin penelitian berpandangan dikursus ini karena melalui suatu pengalaman dapat membentuk suatu sejarah yang sesungguhnya dan tidak hanya memaksakan penggunaan metode serta teori-teori yang ditawarkan bangsa Barat sejak dulu. Oleh sebab itu, kembali pada permasalahan epistemologi yang mulai dipusatkan pada cerita atas cerminan diri guna membentuk identitas bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar