Halaman

Jumat, 11 Januari 2013

DISKURSUS ALTERNATIF DALAM ILMU SOSIA ASIA; SYED FARID ALATAS - BAB 3 STRUKTUR KEBERGANTUNGAN AKADEMIS DAN PEMBAGIAN KERJA GLOBAL ILMU PENGETAHUAN


NAMA                       : HERVINA NURULLITA
NIU                             : 12/339971/PSA/07380


Secara umum, hadirnya buku ini ingin memberikan gambaran bahwa bangsa-bangsa di Asia atau yang biasa disebut sebagai negara berkembang, masih berada pada penjajahan akademis yang disetarakan oleh penjajahan ekonomis dan politis. Pada bab 3 buku ini Alatas mencoba menjelaskan seberapa bergantungnya negara-negara Asia terhadap ilmu-ilmu sosial Barat. Sebagian besar Negara Asia mengadopsi ilmu-ilmu Barat (amerika) sebagai rujukan ilmu social di Negara-negara tersebut. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Alatas menjelaskan mengenai definisi kebergantungan akademis yang mengacu pada imperialisme akademis yaitu sebuah fenomena yang sepadan dengan imperialisme  ekonomi dan politik. Secara umum, imperialisme atau empireisme (empireism) dipahami sebagai kebijakan dan praktek dominasi politik dan ekonomi di wilayah jajahan oleh bangsa yang lebih maju sejak abad ke-16 melalui penaklukan dan penundukan militer. Selain itu Alatas juga memberikan pengertian lain dari imperialism akademis yaitu “dominasi satu bangsa oleh bangsa lain melalui pola pikir”. Terdapat relasi-relasi imperialistik di dunia ilmu sosial yang paralel dengan relasi imperialistik di dunia ekonomi politik internasional. Imperialisme dalam pengertian tersebut dimulai dengan pendirian dan mengontrol sekolah, universitas dan penerbit-penerbit di daerah koloni oleh penguasa kolonial. Hal inilah yang melandasi terbentuknya “struktur ekonomi politik imperialisme yang menimbulkan struktur paralel dalam cara berpikir penduduk di daerah jajahan. Paralel tersebut memiliki enam cirri utama yaitu; eksploitasi, pengawasan, konformitas, peran sekunder intelektual dan ilmuwan di kawasan yang didominasi, rasionalisasi misi memperadabkan, dan watak inferior ilmuwan dalam negeri yang justru mengkhususkan diri pada telaah-telaah di wilayah koloni. Pada masa kolonial imperialisme akademis dipelihara melalui kekuatan kolonial, saat ini neokoloniaisme dipertahankan melalui kondisi kebergantungan akademis. Kontrol dan pengaruh Barat tersebut dipengaruhi oleh kebergantungan para ilmuwan dan intelektual Negara berkembang pada ilmu sosial Barat.
Kebergantungan akademis adalah sebuah teori tentang kondisi kebergantungan global ilmu-ilmu social. Teori ini berasal dari Brazil pada tahun 1950-an. Para pendukung teori ini menyatakan bahwa ilmuwan-ilmuwan social Amerika harus memutuskan ikatan dengan kuasa ilmu social Barat, dan mereka mengembangkan ilmu social yang otonom. Dalam prespektif ini memandang Dunia ketiga (Negara berkembang) sangat bergantung pada ilmu social Barat hingga mencapai taraf bahwa definisi wilayah persoalan metode, dan standart keutamaan berasal dari komunitas ilmu social lain.
Dijelaskan oleh Theotonio Dos Santos bahwa kebergantungan akademis menurutnya adalah kondisi pada saat ilmu social beberapa Negara bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ilmu social di Negara-negara yang berkuasa. Dalam hal ini terdapat semacam pusat dari ilmu social tersebut yang dapat berekspansi menurut criteria perkembangan dan kemajuan tertentu, sedangkan bagian di luar pusat tersebut yaitu dunia ketiga merupakan daerah ekspansi. Von Gizycki mengutip keterangan Lengyel menggambarkan pusat tersebut sebagai “karya-karya yang dihasilkan disana mendapat perhatian dan pengakuan yang lebih dibandingkan dengan daerah lain. Pusat adalah tempat yang memancarkan pengaruh.”  Menurut Wallerstein, et. Al pelembagaan ilmu social berlangsung terutama di lima tempat, yaitu Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Amerika Serikat terutama karena prestise internasional dan bobot universitasnya.
Alatas membagi dimensi-dimensi kebergantungan akademis menjadi: (1) kebergantungan pada gagasan, (2) kebergantungan pada media gagasan, (3) kebergantungan pada teknologi pendidikan, (4) kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran, (5) kebergantungan pada investasi pendidikan, (6) kebergantungan ilmuwan social Dunia Ketiga pada permintaan Barat akan ketrampilan mereka.
Semua analisis mengenai teoritis dan metateoritis tidak ada yang berasal dari Dunia Ketiga, namun banyak juga karya empiris yang dihasilkan oleh Dunia Ketiga, karya-karya tersebut mengambil petunjuk dan panduan dari agenda riset, prespektif, dan metode teoritis dari Barat. Dimensi kedua merujuk pada dimensi media gagasan, yaitu buku, jurnal ilmiah, proseding konferensi, kertas kerja, dan berbagai jenis publikasi elektronik. Dalam hal ini kepemilikan dan kontrol terhadap penerbitan buku, jurnal dan sebagainya mengambi peranan penting. Sebagai contoh, penerbitan jurnal ilmiah, yang diterbitkan oleh Amerika Serikat, lebih dari 80% artikel dalam jurnal tersebut adalah karya dari ilmuwan di Negara-negara tersebut. Dimensi yang ketiga merujuk pada teknologi pendidikan, materi pendidikan dan laboratorium yang diimpor dari Barat karena kurangnya inovasi dan penciptaan kurikulum dan materi pendidikan di Dunia Ketiga. Dimensi keempat inilah yang menurut saya sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintahan bangsa Asia. Berbagai organisasi pemerintah, maupun yayasan social Barat berlomba-lomba memberikan beasiswa pada ilmuwan Dunia Ketiga untuk menimba ilmu di Barat. Dalam hal ini Amerika adalah salah satu Negara teraktif dalam pemberian beasiswa untuk pendidikan. Dimensi selanjutnya merujuk pada investasi langsung institusi peendidikan Barat di Dunia Ketiga. Misalnya program gelar yang ditawarkan oleh universitas-universitas Amerika Utara, Inggris, ustralia yang ada di Asia. Dimensi yang keenam mengenai kebergantungan ilmuwan pada permintaan Barat akan ketrampilan mereka, Barat menggunakan pikiran dan sumber daya para ilmuwan Dunia Ketiga sebagai mitra dalam proyek yang disusun Barat.
Klaim bahwa neokolonialisme akademis merupakan sebuah fenomena yang mendefinisikan relasi diantara komunitas akademis Dunia Pertama dan Dunia Ketiga memperlihatkan adanya relasi ketidaksetaraan antara ilmu social Barat pada satu sisi dan ilmu social Dunia Ketiga di sisi lain. Pembagian kerja tersebut memiliki tiga cirri yaitu: (1) pembagian antara kerja intelektual empiris dan kerja intelektual teoritis, (2) pembagian antara telaah Negara lain dan telaah Negara sendiri, (3) Pembagian antara studi kasus tunggal dan studi kasus perbandingan.
Dari keterangan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Dunia Ketiga kurang dalam hal penelitian terhadap teori, mereka hanya berkutata pada penelitian disekitarnya, sehingga mengalami ketertinggalan. Namun, sesungguhnya perabadan Barat tak aka nada tanpa sumbangan dari peradaban timur, seperti sumbangan islam terhadap ilmu pengetahuan Barat. Selain itu perlunya Negara-negara Dunia Ketiga untuk bangkit, bahwa mereka juga mempunyai potensi untuk berdiri sendri seperti yang disebutkan diatas (Amerika) yang mendirikan ilmu otonom sehingga dapat diikuti oleh Negara-negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar