Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

“Dekolonisasi Metodologi”


NAMA           : HANIF RISA MUSTAFA
NIM               : 12/338345/PSA/07221
MAKUL         : HISTIRIOGRAFI

“Dekolonisasi Metodologi”

Oleh. Tuhiwai Smith
 

Pandangan penjajah terhadap bangsa terjajah merupakan hal yang sangat bertolak belakang sekali terhadap bangsa terjajah. Kerap kali pandangan penjajah tersebut menyusup ke dalam pikiran-pikiran orang luas yang tidak mengetahui secara pasti orang-orang yang terjajah, sehingga menumbuhkan pemikiran-pemikiran yang negatif dan tidak beradab. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah suku maori yang dianggap oleh bangsa Eropa adalah suku yang tidak beradab karena kanibalisme-nya. Secara signifikan anggapan tersebut muncul akibat dari kesalahpahaman bangsa eropa sebagai penjajah datang ke New Zealand. Bangsa Eropa hanya melihat dari sisi luar saja tanpa harus menyelami lebih dalam suku maori, akibat hal tersebut terjadilah pergesekan yang memunculkan suatu pandangan negatif. Dalam karangan Linda Tuhiwai Smith - Dekolonisasi Metodologi, mengajak untuk menyelami sebuah penelitian dengan sudut pandang orang-orang terjajah dengan sisi dinamika kolonialisme dan imperalisme.
Dewasa ini, cara pandang imperialisme diabadikan melalui infiltrasi pengetahuan. Namun cara pandang tersebut seakan-akan memojokkan bangsa terjajah, seperti contoh kasus yang telah dijelaskan diawal. Para peneliti Eropa mengklaim budaya dan kehidupan sosial  hanya dengan melukiskan sebuah gambaran tentang bangsa terjajah dengan pandangan mereka, dengan memperumpamakan serta membandingan  peradaban mereka tanpa harus menyelami lebih jauh esensi dari peradaban bangsa terjajah. Cara pandang inilah yang menjadikan bangsa terjajah terpojokkan dan dianggap sebagai bangsa barbarism. Bagi bangsa terjajah ini merupakan hal yang sangat menyakitkan, begitu juga dimata dunia yang sudah terkonstruk dengan pemikiran-pemikiran cara pandang Eropa melihat bangsa terjajah sebagai bangsa yang tersisihkan dan terbelakang. Ini menjadikan bangsa terjajah berkeinginan untuk membuat sejarah bagi bangsanya sendiri, agar apa yang terkonstruk dalam pemikiran dunia tidak hanya memandang bangsa terjajah sebagai bangsa barbarism.
Namun untuk mencapai keinginan tersebut mendatangkan sebuah kesulitan yang dihadapi oleh peneliti dari bangsa terjajah. Para peneliti dari bangsa terjajah terjebak dalam dua komunitas yang berbeda. Pertama bekerja sebagai orang dalam (insider) dan kedua bekerja sebagai orang luar (outsider). Karena peneliti mengenyam pendidikan barat serta belajar melewati batas-batas klan, suku, lingustik, usia dan gender. Peneliti bisa menjadi insider yang dianggap sebagai peneliti yang bekerja kepada orang eropa dengan tujuan kepentingan orang-orang eropa. Disisi lain peneliti bisa sebagai outsider yang terpinggirkan dan dipandang sebagai wakil dari kelompok minoritas atau kelompok orang-orang terjajah.
Imperalisme telah berhasil membingkai serta menuliskan cerita mengenai bangsa terjajah. Esensinya imperalisme –seperti yang dikatakan oleh J.A. Hobson- merupakan sebuah ekspansi ekonomi bangsa Eropa untuk penanaman modal yang lebih besar. Sebagai pemegang kendalinya adalah kolonialisme. Berbicara mengenai kolonisalisme menunjuk pada pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Namun karena bingkai yang sudah terkonstruk dalam cara pandang bangsa Eropa menjadikan kolonisalisme adalah sebuah pembaharuan dan membawa pencerahan untuk bangsa yang terjajah. Sebagai contoh kasusnya Christoper Colombus, dalam literature imperial Colombus dianggap sebagai pahlawan, penemu dan petualang. Tetapi dalam literature bangsa terjajah Colombus adalah sosok yang tidak terpuji. Dan juga James Cook yang dianggap memberi pencerahan pada bangsa terjajah dengan membawa ide-ide politik barat dan agama. Tetapi anggapan bangsa terjajah Cook adalah perusak peradaban bangsanya dan juga paling menyakitkan, Cook dan awaknya membawa penyakit menular. Dampak cara pandang bangsa barat ini, menjadi kritikan bagi bangsa terjajah yang dianggap sebagai bangsa yang terbelaka. Perlu adanya definisi khusus apa itu imperalisme agar tidak ada cara pandang yang negatif terhadap bangsa terjajah. Pada awal abad kesembilanbelas di Eropa, imperialisme dideskripsikan sebagai ekspansi ekonomi, sebagai penundukan others, sebagai sebuah gagasan, dan sebagai satu bidang pengetahuan diskursif.
Sebagai pendudukan others, dimata bangsa terjajah imperealisme merupakan hal yang tidak manusiawi, bangsa terjajah harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk ditempati oleh orang-orang penjajah. Apabila tidak menyerahkan tanahnya dianggap sebagai pemberontak. Begitu pula dengan imperalisme sebagai gagasan serta ilmu pengetahuan, seakan-akan tidak memanusiakan bangsa terjajah. Bangsa barat meneliti dan menulis bangsa terjajah dengan kacamatanya sendiri, menganggap bangsa terjajah adalah bangsa yang baru dan unik. Kemudian menyimpulkan bangsa terjajah dengan sebuah tulisan, tetapi tidak secara implisit. Hal tersebut mengangap bangsa terjajah tidak dapat menulis sejarahnya sendiri. Bangsa terjajah juga dapat menulis sejarahnya sendiri, namun karena adanya hambatan, sejarah bangsa terjajah hanya sebatas sejarah oral yang turun temurun.
Bagi bangsa terjajah, sejarah itu sangat penting sekali, sejarah digunakan sebagai legilatas dan untuk menunjukkan bahwa bangsa terjajah bukanlah bangsa tetinggal, bangsa terjajah memiliki peradaban yang tinggi bukan seperti yang telah terkonstruksi sesuai dengan cara pandang bangsa eropa. Begitu pula bangsa eropa menulis sejarah adalah sebagai legitimasi kekuasaannya. Jika saling dikaitkan antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah, sama-sama memperebutkan masalah legitimasi, namun apa sebenarnya esensi dan tujuan khusus legitimasi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar