Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

Dekolonialisasi Metodologi (Linda Tuhiwai Smith) Imperialisme, Sejarah, Penulisan dan Teori


Fatma
12/336677/PSA/07190

Penulisan sejarah Indonesia selalu menghadirkan kolonial sebagai penjajah. Sehingga Historigrafi Kolonial Indonesia umumnya membicarakan persoalan politik dan ekonomi.  Namun, tidak pernah menghadirkan persoalan lain dari kehadiran Kolonial di Indonesia. Bangsa Kolonial selalu dipandang sebagai kaum imperial. Pandangan seperti ini memunculkan historiografi dengan cara Imperialisme. Cara pandang imperialisme selalu melihat peristiwa yang terjadi dengan cara barat. Muncul pertanyaan, bagaimana pengaruh imperialisme dalam penulisan sejarah?
Pada bagian pertama buku ini penulis mendiskusikan dan mengkontekstualisasikan empat konsep yaitu imperialisme, sejarah, penulisan dan teori. Istilah-istilah tersebut tampak seperti pilihan ganjil, karena ada konsep-konsep lain seperti ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination)’ atau ‘kedaulatan’ yang biasa dipakai wacana bangsa terjajah. Dari perspektif bangsa terjajah, kata-kata itu menjadi problematik. Menurut Linda (2005:3) bahwa “Dekolonialisasi adalah proses yang berurusan dengan imperialisme dan kolonialisme di segala lapisan”.  Hal ini juga muncul dan mempengaruhi metodologi penelitian sejarah bangsa terjajah.
Hal menarik yang ingin disampaikan penulis dalam bab pertama buku ini adalah penulisan sejarah sejauh ini masih menghadirkan dua perspektif yaitu bangsa terjajah dan penjajah. Kedua perspektif ini selama ini selalu dihadirkan dengan benar dan salah. Dalam sumber imperial kolonial dihadirkan sebagai pahlawan, penemu dan petualang, atau ‘bapak’ kolonialisme. Namun, dalam sumber bangsa terjajah mereka adalah sosok yang tidak terpuji dan bukan pahlawan penakluk.
Munculnya pandangan Indonesiasentris menjadi bentuk perlawanan Indonesia sebagai bangsa terjajah dalam penulisan sejarah Indonesia. Sejarawan Indonesia mencoba keluar dari penulisan sejarah yang selalu mengunakan sumber kolonial, dengan menggunakan sumber-sumber lokal. Sumber kolonial dipandang sebagai sumber yang selalu mengutamakan kepentingan kolonial. Sumber lokal dipandang sebagai sumber yang mewakili bangsa Indonesia. Akibatnya, seperti tradisi historiografi kolonialsentris yang ingin digantikan.[1] Historiografi Indonesiasentris seharusnya mampu menjelaskan, memahami imperialisme dan kolonialisme sebagai bagian pengalaman historis bangsa Indonesia yang tak pernah bisa dipisahkan.
Penulis memberikan alternatif lain penulisan sejarah dari kedua perspektif tersebut, sehingga sejarawan mampu berada ditengah kedua perspektif tersebut. Linda ingin menyampaikan bahwa seorang sejarawan seharusnya mampu menghadirkan “sejarah yang berimbang”, tidak hanya persoalan baik-buruk, hitam-putih. Agar dapat menghadirkan “sejarah yang berimbang,” Linda mencoba menghadirkan pentingnya penggunaan sumber atau literatur dalam penelitian dan penulisan sejarah. Pembacaan sumber menjadi penting dalam penelitian karena akan memunculkan interpretasi yang berbeda atas suatu peristiwa. Dengan cara ini, seorang sejarawan akan mampu membaca sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan konteks waktunya.
Salah satu contohnya adalah penulisan sejarah perempuan Misalnya, dalam kasus Sulawesi Tengah ditemukan dalam salah satu arsip kolonial yang menuliskan sosok seorang perempuan bernama Rantinadja yang menolong tentara Belanda dari kejaran tentara Jepang. Rantinadja setiap hari membawakan makan kepada tentara tersebut dengan jaminan nyawanya. ketika kasus seperti ini coba dijelaskan dari perspektif Indonesiasentris, maka makna yang tersirat dalam peristiwa sejarah ini tidak akan pernah terjelaskan dengan baik. Ketika sisi kemanusian orang lokal berhasil menghapus memorinya tentang bangsa kolonial sebagai penjajah yang jahat.
Indonesiasentris yang dimaksudkan bukanlah sebuah penjustifikasian terhadap kebenaran perspektif dari Indonesia, melainkan sebuah perpaduan berbagai sumber, baik lokal maupun kolonial. Intinya adalah menyeimbangkan pandangan kolonial terhadap Indonesia dan pandangan orang Indonesia (lokal) terhadap dirinya sendiri. Inilah yang menjadi soal selama ini, karena belum banyaknya kajian yang menggunakan metodologi seperti itu. Sehingga tugas terpenting kini, yaitu menulis sejarah dengan car tersebut.


[1] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, Yogyakarta:Ombak, 2006. Hal xv. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar