Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

CONJECTURAL HISTORIES


CONJECTURAL HISTORIES


Roger Kembuan

Dalam tulisan ini, secara umum Mary C. Quilty mengkaji tentang model-model historiografi oleh penulis-penulis Inggris tentang sejarah Asia Tenggara kedalam 3 bagian besar. Sumber-sumber historiografis yang dipakai adalah tulisan sejarah dari lima orang penulis Inggris yaitu Raffles, Marsden, Crawfurd, Anderson  dan Symes.
Dalam bab ke 2 buku ini dibahas tentang Conjuctural History, Konjungtural menurutnya adalah sesuatu yang dilakukan penulis-penulis yang menggunakan penilaian-penilaian dan dugaan-dugaan terhadap sejarah yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan sumber sejarah dan menggunakan interpretasi (penilaian) tersebut dalam menyusun narasi sejarah masyarakat yangdiwujudkan dalam kategorisasi. Sebuah paham yang populer mulai pada  abad ke 18.
Hal berikutnya yang menarik adalah melihat “origin of language” dalam menentukan akar/asal usul dari masyarakat dan kemudian dapat menentukan kategori tingkat kehidupan suatu masyarakat. Dalam tulisan ini menyinggung tentang bahasa sanserkerta dan Polynesian. Paradigma Bahasa yang berkembang pada abad ke 18 yang menyatakan ihkwal kebudayaan dapat dilihat dari bahasa sebagai sesuatu yang dapat menggambarkan sebuah masyarakat.
Berdasarkan Teori Adam Smith sejarah perkembangan masyarakat dibagi ke dalam empat tahapan yaitu : pertama era para pemburu (hunter), yang kedua para penggembala (shepherd), ketiga bertani (husbandmen) dan yang keempat yaitu perdagangan (commercial). Kategorisasi 4 langkah perkembangan masyarakat ini menyediakan jalan untuk menunjuk dan mengklasifikasikan tahapan perkembangan masyarakat berdasarkan waktu yang oleh Marsden, Raffles dan Crawford didefinisikan sendiri untuk bisa menggambarkan sejarah masyarakat dalam tulisan mereka.
Marsden secara tidak langsung melakukan penggolongan masyarakat sumatra asli (Rejang  dan Batak) dan campuran Melayu yang lebih rendah berdasarkan bahasa. Dalam menjelaskan narasi dalam History of Sumatra, Raffles cenderung melihatnya pada sisi perkembangan alami Jawa telah digagalkan oleh intervensi Belanda, ia merujuk pada “Glory of the Java past” (Mereka mengelompokkan kebudayaan Jawa sama dengan dengan kebudayaan Yunani Kuno dan Skotlandia kuno, dan disamakan dengan jaman feudal di Eropa) yang secara sengaja dirusak oleh Belanda. Raffles mengatakan seharusnya masyarakat Jawa dibiarkan tetap pada kondisi sebelum intervensi belanda (feudal state) sehingga mengikuti alur alami untuk masuk ke dlaam perdagangan bebas yang pimpin oleh Inggris. Sedangkan Crawfurd menekankan pada determinisme lingkungan dan rasial yang sangat berbeda dengan Marsden dan Raffles. Kategorisasi yang ia buat yaitu membagi masyarakat di Hindia menjadi 2 bagian besar  yaitu ras coklat dan ras berkulit hitam untuk merujuk pada tingkatan mana mereka berada dalam sebuah masyarakat.
Penggolongan atau kategori (Marsden, Raffles dan Crawfurd) ini lekat dengan cara  berpikir  orientalis,  masa  lalu koloni-koloni barat seperti contohnya Asia Tenggara, digambarkan seperti  koleksi museum  yang  statis.  Konstruksi atas masa lalu yang dihasilkan hanya berfungsi untuk menyenangkan pembacanya yaitu para pendukung imperialisme dan kolonialisme, yang melihat koloni disatu sisi memiliki sesuatu eksotis dan memancing berbagai keingintahuan namun di sisi yang lain rasionalisme orang barat menempatkannya sebagai tanah yang tak beradab (Edward Said). Pemahaman terhadap konstruksi ini dimanifestasikan dalam berbagai sumber sejarah yang ditulis oleh orang barat seperti: arsip-arsip, dokumen, laporan perjalanan, laporan-laporan dari para pegawai pemerintah kolonial
Kesimpulan yang bisa diambil adalah, ketiganya menggunakan conjectural history untuk melegitimasi dominasi Eropa terhadap Asia Tenggara yang dimanifestasikan secara berbeda yaitu Marsden untuk melakukan pelestarian terhadap budaya primitif di Sumatra dengan kebijakan isolasi oleh Inggris (di Bengkulu), sementara Raffles ingin membangkitkan kembali kejayaan Jawa di masa lalu tapi dalam lingkup ekonomi Inggris dan Crawfurd memprediksi dan melegitimasi kolonisasi Eropa di asia tenggara sebagai sesuatu yang alami dikarenakan tingkatan kebudayaan mereka yang lebih tinggi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar