Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Chapter Two Conjectural Hostories (Terkaan Sejarah)



Nama           : Siti Nur Hadisah B        Hari/Tgl        : Kamis, 11 Okt 2012
NIM             : 12/340216/PSA/07401  Dosen Pengampu : Dr. Sri Margana
Mata Kuliah : Historiografi

Artikel ini memaparkan tentang terkaan sejarah dalam tulisan Marsden, Raffles, dan Crawfurd. Tulisan yang dimaksud dalam hal ini yakni tulisan Masrden dalam “History of Sumatra in 1783” dan tulisan Crawfurd dalam “History of Indian Archipelago in 1820”.  Apabila Marsden lebih pada klasifikasi dalam bentuk tabel dan membuat sebuah pernyataan bahwa untuk melihat informasi secara lebih baik dengan melakukan terkaan atau dugaan terhadap masa lampau, berbeda dengan Crawfurd yang cenderung berusaha menjelaskan pimikirannya dalam suatu terminologi. Meskipun secara sekilas tidak ada perbedaan, namun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat ketika teks Raffles dan Crawfurd dibandingkan dengan Marsden, yang memperlihatkan kedalaman sejarah dengan memberi dorongan kedalam satu tempat sejarah. Dengan demikian, terlihat perubahan dalam penulisan sejarah menjadi “dugaan sejarah”.
Tulisan Crawfurd tentang “History of Indian Archipelago” secara penuh melakukan terkaan (dugaan) tentang masa lampau. Menurut Crawfurd ketika sejarah penduduk asli terdapat berbagai permasalahan, hal ini menurut Crawfurd karena “terlalu banyak kebodohan, ketidaktahuan dan tidak konsisten” seperti Crawfurd percaya pada sejarah penduduk asli Asia Tenggara. Kemungkinan dugaan sejarah “orang tanpa sejarah” merupakan bagian penting dalam lingkungan pergaulan abad ke-18 dan awal abad ke-19, yang sejenak menjelaskan dalam suatu gagasan bahwa masyarakat berkembang secara berturut-turut dalam tahapan logika (pemikiran).
Secara terminologi “dugaan sejarah” digunakan pada akhir abad ke-18, guna menyampaikan sesuatu agar lebih mudah atau lebih fleksibel dengan mereka menggunakan “dugaan” tentang gambaran masyarakat pada masa lampau. Mereka merasa dan menekankan bahwa dugaan sejarah sejarah diterima masyarakat. Hal ini sangat menarik untuk dilihat, bagaimana suatu penyampaian sejarah berdasarkan dugaan, terkaan, atau perkiraan sejarah yang ada dalam pemikiran penulis sejarah tersebut dan cara mengaplikasikan penulisan sejarah tersebut.
Tulisan ini juga memaparkan ketika Masrden mengidentifikasi orang-orang Sumatra mengucapkan sumpah seperti orang-orang Kristen Jerman abad ke-17. Dilain pihak, Raffles menyatakan bahwa orang-orang Jawa memperbanyak kepemilikan tanah yang menunjukkan bahwa mereka dalam suatu masyarakat “tahapan partial” dan mereka kekurangan tanah dalam artian “feodal” masa Eropa. Crawfurd mempertimbangkan sumber-sumber Jawa dalam “kemajuan beberapa negara… seperti Yunani pada waktu dipimpin Homer dan Calidonia dibawah Ossian”.
Selanjutnya, keadaan Jawa dalam contoh-contoh yang digunakan menunjukkan bagaimana orang-orang dapat menempatkan perbedaan dalam tahapan sejarah. Meskipun kekurangan bahan rujukan, literature mereka menempatkan orang-orang Jawa dalam tahapan yang sama dengan Yunan kuno dan Skotlandia, sehingga orang-orang Jawa dalam ketegori yang sama seperti orang-orang feodal Eropa. Namun, pernyataan ini tidak sesederhana dalam rangkaian, tetapi menggunakan suatu tabel-tabel yang komplek dimana tabel tidak hanya dilihat secara temporal saja tetapi juga dilihat secara spasial.
Masrden, Raffles dan Crawfurd menggunakan dugaan sejarah untuk melegitimasi peningkatan dominasi orang-orang Eropa di Asia Tenggara. Sehingga, dugaan sejarah yang digunakan dalam teks Marsden menggagas untuk menyimpan Sumatra yang primitif dalam pengertian kebijaksanaan isolasi Inggris. Begitu juga dalam tulisan Raffles dan Crawfurd, apabila Raffles berusaha membangkitkan kemuliaan Jawa kuno dengan memanggil atau mengajak masyarakat untuk memperbaiki. Crawfurd lebih pada meramalkan dan melegitimasi kolonialisasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Asia Tenggara seperti pemenuhan secara alami dalam suatu keaslian.
Dengan demikian, kelebihan pada chapter dua ini secara umum lebih berupaya untuk memperlihatkan gambaran bahwa suatu “dugaan sejarah” terkadang membuat seseorang salah memahami sesuatu yang didalamnya dan memperhatikan bahwa dalam penulisan sejarah tidak hanya dengan menggunakan sumber-sumber yang valid saja, tetapi dalam penulisan sejarah harus berdasarkan penafsiran disertai bukti yang kuat dengan melihat sumber-sumber dari masyarakat yang diteliti itu sendiri. Namun, kekurangan dalam tulisan Mary ini tidak lain lebih cenderung pada tulisan Marsden.
Disadur dari tulisan Mary Catherine Quilty. 1998. Textual Empires. Australia: Monash Asia Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar