Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Catatan Studium General Michael G. Vann (Finding History in the Strangest of Places, Methodological Adventures in The Archives, Sewers, and Funny Pages of Colonial Vietnam); dan Guo Quan Seng (Some Reflections as Historian)

Nama               : Arif Subekti                                                   
NIM                : 12/340114/PSA/07396

 Wujud Sejarah Sebagai Hasrat Keingintahuan dan Perilaku
Sebagai sebuah refleksi sebagai sejarawan, Guo Quan Seng, seorang calon peraih gelar doktor di University of Chicago ini, memberikan semacam gambaran atau perenungan kembali atas pilihannya untuk memperdalam kemahwacanaan pada disiplin ilmu sejarah. Ia kemudian membedakan dua dimensi sejarah, yakni sejarah sebagai kuriositas (history as curiosity) dan sejarah sebagai sebuah aktivitas (history as activism). Dimensi pertama, terutama sekali berbicara mengenai naluri dasar manusia untuk mengetahui hal-hal di dalam dirinya, maupun yang di luar dirinya, yang terkadang hal itu berkaitan dengan dirinya, atau tidak ada sangkut pautnya sama sekali, dimana kemudian pemrasaran pertama mengutip ucapan Karl Marx, “men must prove the truth”. Memang, dalam membangun argumentasinya, ia cenderung menggunakan analisis kelas dari Marx, seperti konsep kesadaran kelas, determinasi politik dan ekonomi, dan seterusnya. Dimensi berikutnya, adalah sejarah sebagai suatu aktivitas, semacam kesadaran sejarah yang kemudian mewujud dalam aspek afektif dan juga psikomotorik manusia, yang dalam hal pemisalan, ia menawarkan contoh pemikiran dan perjuangan E.P. Thompson serta Indira Gandi.

Kartun sebagai Sumber Sejarah, serta Rat, Rice, and Race
Sebagai sebuah kajian metodologis, pemrasaran kedua, Michael G. Vann, memberikan gambaran menarik perihal petualangannya menulis sejarah kolonialisme Perancis di Vietnam. Pertama, ia memberikan analisa tajam mengenai kartun sebagai sumber sejarah, dimana diluar sifat lucu yang biasa melekatinya, ternyata kartun menunjukkan topik atau tema tertentu dimana kartun tersebut ditempatkan. Menurut pemrasaran, kartun merupakan sumber yang sempurna, yang sedikit banyak mewakili mentalitas masyarakat atau paling tidak kartunisnya, dalam upaya penulisan sejarah kebudayaan. Lebih jauh lagi, ia memberikan penilaian bahwa humor kolonial yang terabadikan dalam gambar kartun, menunjukkan dua hal: pertama, kegagalan kolonialisme dalam membangun mentalitas koloni, baik pihak penjajah (colonizer) maupun pihak terjajah (colonized); kedua, bahwa kartun merupakan ruang yang relatif terbuka bagi pembicaraan atau diskusi mengenai hal-hal “tabu”, seperti rasisme dan seksualitas. Selain itu, pemrasaran yang saat ini menjadi staf pengajar tamu di Universitas Gadjah Mada ini juga menyuguhkan fakta sejarah mengenai demografi penduduk dalam masyarakat kolonial, bahwa prosentase wanita kulit putih berbanding terbalik dengan jumlah pria dari ras yang sama.
Pada tema yang lain, pemrasaran juga mengetengahkan suatu penyusunan sejarah sosial dari sebuah topik yang seringkali luput dari pantauan dan minat sejarawan, yakni sejarah penanggulangan hama tikus rumah di daerah kota Hanoi. Peristiwa pembunuhan besar-besaran tikus ini, kemudian oleh pemrasaran dinilai mewakili pandangan kolonialisme Perancis atas Vietnam saat itu, bahwa ke-belum modern-nya orang-orang Vietnam adalah faktor sentral penyebaran penyakit, atau dengan kata lain, gejala wabah penyakit merupakan wujud keterbelakangan, yang pada sisi lain, memberikan pembenaran atas misi kolonisasi Perancis atas Vietnam. Sejarah sosial perihal penanggulangan tikus ini, setidaknya memberikan beberapa arahan metodologis mengenai kegunaan disiplin antropologi kebudayaan yang menggambarkan sejarah budaya dan mentalitas masyarakat di kelampauan, serta kreativitas pencarian sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar