Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Beberapa Aspek Peradilan Agama Islam di Kesultanan Pontianak Tahun 1880-an



Nama           : Siti Nur Hadisah B        Hari/Tgl      : Jum’at, 27 Sept 2012
NIM             : 12/340216/PSA/07401  Dosen Pengampu : Dr. Sri Margana
Mata Kuliah : Historiografi

Artikel ini mengenai teks, yaitu proses pengadilan. Adapun naskah sastra maupun naskah sejarah di Pontianak sudah sangat sulit ditemukan. Sehingga, tulisan ini menonjolkan tulisan dari aspek yang berbeda, yakni sebuah dokumen peradilan di Pontianak, Kalimantan Barat. Sejarah pengadilan agama yang digunakan untuk mengetahui jenis pengadilan apa yang dibawa ke pengadilan agama, siapa pihak-pihak yang beperkara, dan apa putusan pengadilan. Sejarah lembaga hukum adalah sejarah ketetapan dan struktur hukum, tetapi yang perlu dipahami dalam naskah tulisan artikel ini lebih pada pemahaman dalam praktiknya yang sudah nyata serta dengan latar belakang politik, sosial dan ekonominya.
Naskah tersebut menawarkan aspek-aspek kehidupan manusia yang heboh dan janggal, tetapi lebih dalam lagi, karena merupakan sumber dokumenter yang sangat beragam tentang masyarakat Pontianak seabad silam. Naskah tersebut membuktikan adanya aktivitas pengarsipan di istana Sultan pada abad ke-19. Dokumen-dokumen di dalamnya tertulis atas kertas buatan Eropa, terutama Inggris, dan dua pertiganya memiliki cap berangka tahun (1875-1880), yang membuktikan kertas yang digunakan untuk menulis hanya selang beberapa tahun setelah diproduksi di Eropa.
Penulis dalam artikel ini juga memaparkan tentang dokumen-dokumen yang berisi tentang dakwaan yang diajukan warga Pontianak kepada mahkamah agama (Raad agama), kepada Sultan atau kepada berbagai menteri antara tahun 1872 dan 1882, terutama pada 1881. Kesultanan Pontianak didirikan oleh Pangeran Syarif Abdul Rahman al-Qadri, yang berasal dari Mempawah, pada Januari 1772. Mahkamah agama Pontianak dibentuk pada 1867, yang diketuai oleh Pangeran Bendahara (Perdana Menteri), yangmana ketua Mahkamah agama ditunjuk oleh penguasa setempat. Status Mahkamah agama sendiri sebagai “pendamping birokrasi aristokrasi lokal”, bersifat lokal, juga diluar Pontianak. Kemungkinan semua dokumen disusun dan ditulis oleh beberapa juru tulis atau peniter professional.
Hal yang sangat menarik terlihat adalah sebagaian besar dakwaan yang ditulis tersebut diajukan kepada Sultan sendiri. Sebagian lagi diajukan ke Raad agama, yang rupanya diadili oleh mahkamah ini. Raad agama sendiri merupakan mahkamah yang berwenang mengadili perselisihan perdata, khususnya menganai warisan dan pernikahan  berdasarkan hukum Islam. Kebanyakan kasus berupa gugatan orang yang tidak memperoleh harta warisan.
Sedangkan mengenai perkawinan, hampir semuanya berkenaan dengan akibat-akibat perceraian, yang kasusnya lebih berkenaan pada perempuan menuntut nafkah. Sisanya tentang permohonan kepada Sultan agar di anugerahi tanah. Hal menarik lainnya adalah dalam penggunaan kata-kata, seperti wakil, pacal, ulun, hamba tuanku, dan penggunaan jenis kata lainnya. Kasus yang lain berkenaan dengan hak asuh anak. Naskah ini memperlihatkan tentang nilai dokumenternya di suatu bidang yang cakupannya lebih luas daripada prosedur peradilan semata. Naskah yang ditemukan ini juga dapat menggambarkan masyarakat Pontianak pada akhir abad ke-19, yang tidak ditemukan dalam karya sastra manapun pada tahun yang sama.
Dalam tulisan ini lebih rinci pada penjelasan tentang peradilan agama di Pontianak dalam memaparkan contoh-contoh kasus bagaimana proses pengadilan agama pada waktu itu dan disertai dengan contoh surat-surat dakwa yang mendukung.  Namun, terdapat kata-kata yang kurang bisa dimengerti oleh pembaca, hal ini bukan karena tulisannya kurang menarik, melainkan pada cara penjelasan yang banyak menggunakan kata-kata sebuah penulisan sastra.
Disadur dari tulisan Henri Chambert-Lior. 2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama. Jakarta: KPG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar