Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

BAB II Meneliti Lewat Mata Imperialisme


Nama : Arum Vitasari
NIM   : 12/339811/PSA/7357

Dalam bab kedua buku ini, disebutkan bahwa kebanyakan kritik terhadap penelitian terpusat pada teori pengetahuan empirisme dan paradigma ilmiah positivisme yang merupakan turunan dari empirisme itu sendiri. Positivisme mengambil posisi menerapkan pandangan-pandangan tentang bagaimana cara dunia alamiah itu bisa dikaji dan dipahami bagi dunia sosial. Cara-cara yang ditempuh untuk memahami dunia direduksi menjadi masalah penafsiran, maka fokus pemahaman jadi lebih terpusat pada problem-problem prosedural. Disebutkan di sini bahwa sebagian besar kritik pribumi terhadap penelitian diberi sebutan penelitian putih, penelitian akademis atau penelitian orang luar (outsider research). Ilmuwan Barat sendiri menyebut diri sendiri tidaklah relevan bagi bangsa pribumi karena sudah mengalami penelitian tiada habisnya dengan watak luar biasa eksploratif. Dalam hal ini, dari perspektif pribumi penelitian Barat tidak lebih dari sekedar penelitian yang ditempatkan pada suatu tradisi positivisme.
Stuart Hall menunjukkan bahwa Barat adalah sebuah ide atau konsep, sebuah bahasa untuk membayangkan kompleksnya rangkaian cerita, ide, peristiwa sejarah dan hubungan sosial. Hall menegaskan bahwa konsep tentang Barat berfungsi dalam cara yang (1) memungkinkan ‘kita’ mengkarakterisasi dan mengklarifikasi masyarakat ke dalam berbagai kategori; (2) memadatkan citra kompleks berbagai masyarakat lain melalui suatu sistem representasi; (3) menyediakan sebuah model perbandingan standar; (4) menyediakan kriteria evaluasi yang bisa memperingatkan masyarakat-masyarakat lain. Dengan prosedur itulah bangsa pribumi berikut masyarakat mereka dikodekan ke dalam sistem pengetahuan Barat.
Pengetahuan, filsafat dan definisi tentang sifat manusia Barat membentuk apa yang oleh Foucault disebut sebagai sebuah arsip kultural, sementara orang lain mungkin menyebutnya ‘gudang’ sejarah, artefak, ide, teks dan atau gambar, yang diklarifikasi, diawetkan,  ditata dan direpresentasikan kembali ke Barat. Disebutkan bahwa, arsip kultural Barat merepresentasikan tradisi pengetahuan berlapis. Foucault juga menyatakan bahwa arsip tersebut menguak dan ‘pranata praktek’ Barat sendiri tidak sanggup mendeskripsikannya karena ia beroperasi dalam pranata tersebut dan ternyata diterima begitu saja. Dalam hal ini, Hall mengatakan bahwa arsip kultural Barat berfungsi dengan cara yang memungkinkan terjadinya pergeseran dan transformasi—yang kadang secara luar biasa dan radikal—tanpa arsip itu sendiri, berikut model klarifikasi dan sistem representasi yang terkandung di dalamnya dihancurkan.
David Theo Goldberg berpendapat bahwa salah satu konsekuensi pengalaman Barat di bawah imperialisme adalah cara Barat memandang, membicarakan dan berinteraksi dengan dunia yang mutlak mengakar dalam wacana rasialisasi (racialized discourse). Konsep Barat sendiri mengenai ras beririsan secara rumit dengan konsep tentang gender. Gender bukan hanya menunjuk pada peran perempuan dan bagaimana peran itu dilupakan, tetapi juga mengacu pada hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Bentuk-bentuk penelitian Barat juga bertumpu pada ide-ide kultural tentang ‘diri’ manusia dan hubungan antara individu dengan kelompok tempat ia (laki-laki atau perempuan) bergabung. Ide-ide tersebut menunjukkan bahwa hubungan antar individu atau antar kelompok pada dasarnya bersifat kausal serta bisa diamati dan diprediksi. Masyarakat Eropa sendiri, pada awalnya tidak banyak membuat perbedaan antara manusia dan lingkungan alamiah. Filsafat Yunani Klasik dipandang sebagai titik perubahan ide-ide tentang hubungan tersebut dari penjelasan ‘naturalistik’ menjadi penjelasan humanistik. Penjelasan naturalistik mengkaitkan alam dengan kehidupan sebagai hal yang satu, sedangkan penjelasan humanistik memisahkan manusia dari dunia yang lebih tinggi (dibanding binatang dan tanaman) berkat karakteristik seperti bahasa dan rasio.
Ide-ide Barat tentang ruang dan waktu terkodekan dalam bahasa, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Konsepsi filosofi ruang dan waktu tersangkut dengan: (1) hubungan antara kedua ide, yakni apakah ruang dan waktu merupakan kategori absolut atau benarkah mereka eksis secara rasional; dan (2) pengukuran ruang dan waktu itu sendiri. Henri Lefebvre berpendapat bahwa pengertian ruang ‘dipungut oleh matematika’ yang mengklaim suatu posisi ideologis dominan mengenai apa yang dimaksud dengan ruang.
Ide-ide Barat tentang individu dan komunitas, ruang dan waktu, pengetahuan dan penelitian, imperialisme dan kolonialisme bisa ditarik bersama-sama antara lain dengan konsep jarak. Yang disebut dengan pranata imperial maupun kolonial adalah sistem pranata yang membentang dari pusat hingga tempat-tempat yang jauh dan terpencil. Dalam penelitian konsep jarak menjadi teramat penting karena ia mengimplikasikan netralitas dan objektivitas peneliti. Jarak bisa diukur, tetapa objektivitas tidak bisa diukur dengan kadar yang persis sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar