Nama : Arum Vitasari
NIM : 12/339811/PSA/7357
Disebutkan
bahwa dalam bab 4 buku ini memiliki dua sasaran. Pertama, mendokumentasikan definisi formal diskursus-diskursus alternatif,
dan kedua, mendokumentasikan dan
membicarakan berbagai diskursus alternatif di Asia dari segi ide dan gerakan
intelektual yang berbeda-beda. Dalam bab ini menunjukan banyak sekali pikiran
kreatif dan kritis, dan sebagian besar berbentuk kontra-Eurosentris di antara
para ilmuwan sosial Asia. Secara umum, para ilmuwan di Asia maupun Barat,
memberi perhatian pada masalah Eurosentrisme—peniruan tak kritis terhadap ide,
konsep, dan teori Barat—maupun konteks kebergantungan akademis dan imperialisme
intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme.
Pada
bab satu telah disebutkan mengenai diskursus alternatif, dan pada bab ini
disebutkan bahwa diskursus alternatif merupakan pemberontakan terhadap
imperialisme intelektual. Dalam hal ini, Pertierra mengakui peran diskursus
alternatif sebagai senjata dalam perjuangan anti-kolonial, selama ilmu sosial
“bertindak sebagai tempat perlawanan antara negara dan masyarakat”, bukannya
instrumen kolonialisme negara dalam kehidupan sipil. Diskursus alternatif
memiliki tujuh ciri-ciri yang disebutkan di dalam bab ini, yakni:
1.
Titik berangkat diskursus alternatif
adalah kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme dalam ilmu sosial.
2.
Mengangkat masalah metodologis dan
epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, atau filsafat sejarah.
3.
Secara implisit atau eksplisit menaruh
perhatian pada analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja dalam
ilmu sosial, di mana ilmu sosial Asia mendapati dirinya dalam keadaan
konformitas, tiruan, dan tidak orisinal.
4.
Berkomitmen untuk merekonstruksi
diskursus sosial dan sejarah mencakup pengenbangan konsep, kategori, dan agenda
riset yang relevan dengan kondisi lokal regional.
5.
Berkomitmen untuk memunculkan masalah
orisinal dalam telaah sosial dan sejarah.
6.
Mengakui semua peradaban dan praktik
budaya sebagai sumber ide ilmu sosial.
7.
Tidak mendukung penolakan atas ilmu
sosial Barat secara keseluruhan.
Maka,
sebuah definisi tentang diskursus alternatif kemudian dirumuskan oleh penulis
buku ini menurut pengalaman sejarah regional/lokal dan praktik budaya di Asia
melalui cara yang sama dengan ilmu sosial Barat. Menjadi alternatif di sini
berarti beralih ke filsafat, epistemologi, sejarah, dan ilmu sastra, yang
berasal dari tradisi non Barat. Ulayatisasi (diskursus alternatif) disebutkan
harus ditinjau dari segi antropologi dan psikologi. Bagi Sinha, ulayatisasi
antropologi dan ilmu sosial lain merupakan sebuah gerakan menentang
Eurosentrisme, dan menandai pemutusan penting dari hegemoni intelektual masa
lalu kolonial. Ulayatisasai antropolo tidak bisa dipahami dalam pengertian
negatifnya saja, yaitu memutuskan hubungan dengan kekuasaan metropolitan
neokolonialis. Menurut Evan, ulayatisasi juga harus dipahami secara lebih
positif, dari segi kontribusi sistem pemikiran non-Barat terhadap teori
antropologi.
Kemudian
penulis merumuskan bahwa ilmu sosial ulayat adalah ilmu sosial yang didasarkan
pada pengalaman sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama
sebagaimana ilmu sosial Barat. Ulayatisasi menuntut peralihan pada filsafat,
epistemologi, sejarah, seni, dan bentuk pengetahuan ulayat lain, yang semuanya
dapat menajdi sumber potensial teori dan konsep ilmu sosial.
Di
banyak bekas koloni Eropa, disebutkan bahwa administrasi kolonial membutuhkan
informasi terperinci dan berjangkauan luas mengenai peradaban dan masyarakat
yang mereka kuasai. Dalam hal ini, ilmu-ilmu sosial merupakan elemen
kapitalisme kolonial yang sangat dibutuhkan. Dijabarkan oleh ben Jelloun,
akibat dari tabiat kolonialis ilmu sosial tidak menghilang dari kemerdekaan,
maka tugas pertama yang dituntut dari para intelektual postkolonial adalah
dekolonisasi wilayah budaya, termasuk di bidang akademik. Selama ilmu sosial
tidak didekolonisasi, masyarakat-masyarakat post-kolonialial hanya akan berpartisipasi
dalam pengembangan ilmu sosial sebagai objek riset yang secara umum dilakukan
oleh orang-orang Amerika dan Eropa. Maka, dekolonisasi ilmu sosial memiliki
arti keterputusan dari kebudayaan Barat.
Salah
satu penyebab munculnya postkolonialisme sebagai diskursus alternatif adalah
diadopsinya postmodernisme oleh Telaah Subaltern. “Postkolonial” dalam
postkolonialisme dapat dipahami melalui dua aspek, yakni (1) berkenaan dengan
klaim postkolonial terhadap periodisasi sejarah kontemporer, dan (2) berhubungan
dengan wawasan dan teori yang dipakai untuk melakukan setalaah sejarah,
kebudayaan, dan masyarakat. Aspek pertama berkenaan dengan deklarasi bahwa kita
telah mengalami transisi dari modernitas ke zaman postmodern. Kemudian aspek
kedua berkenaan bahwa kita memahami postkolonial dalam postkolonialisme,
berkenaan dengan posisi teoretispostmodernis sekelompok intelektual yang
memisahkan diri dari klaim sejarah tentang jeda-jeda periode terpenting. Dalam
pengertian inilah postkolonialisme meninggalkan kolonialisme dan modernisme.
Seruan lainnya yang disebutkan di dalam bab ini, untuk melahirkan ilmu sosial
alternatif adalah apa yang disebut oleh penulis sebagai nasionalisasi ilmu
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar