Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

Bab 4. Definisi dan Ragam Diskursus Alternatif di Asia


Nama : Arum Vitasari
NIM   : 12/339811/PSA/7357
Disebutkan bahwa dalam bab 4 buku ini memiliki dua sasaran. Pertama, mendokumentasikan definisi formal diskursus-diskursus alternatif, dan kedua, mendokumentasikan dan membicarakan berbagai diskursus alternatif di Asia dari segi ide dan gerakan intelektual yang berbeda-beda. Dalam bab ini menunjukan banyak sekali pikiran kreatif dan kritis, dan sebagian besar berbentuk kontra-Eurosentris di antara para ilmuwan sosial Asia. Secara umum, para ilmuwan di Asia maupun Barat, memberi perhatian pada masalah Eurosentrisme—peniruan tak kritis terhadap ide, konsep, dan teori Barat—maupun konteks kebergantungan akademis dan imperialisme intelektual yang menjadi tempat berlangsungnya masalah Eurosentrisme.

Pada bab satu telah disebutkan mengenai diskursus alternatif, dan pada bab ini disebutkan bahwa diskursus alternatif merupakan pemberontakan terhadap imperialisme intelektual. Dalam hal ini, Pertierra mengakui peran diskursus alternatif sebagai senjata dalam perjuangan anti-kolonial, selama ilmu sosial “bertindak sebagai tempat perlawanan antara negara dan masyarakat”, bukannya instrumen kolonialisme negara dalam kehidupan sipil. Diskursus alternatif memiliki tujuh ciri-ciri yang disebutkan di dalam bab ini, yakni:

1.      Titik berangkat diskursus alternatif adalah kritik terhadap Eurosentrisme dan Orientalisme dalam ilmu sosial.
2.      Mengangkat masalah metodologis dan epistemologis dalam telaah masyarakat, historiografi, atau filsafat sejarah.
3.      Secara implisit atau eksplisit menaruh perhatian pada analisis masalah yang ditimbulkan oleh pembagian kerja dalam ilmu sosial, di mana ilmu sosial Asia mendapati dirinya dalam keadaan konformitas, tiruan, dan tidak orisinal.
4.      Berkomitmen untuk merekonstruksi diskursus sosial dan sejarah mencakup pengenbangan konsep, kategori, dan agenda riset yang relevan dengan kondisi lokal regional.
5.      Berkomitmen untuk memunculkan masalah orisinal dalam telaah sosial dan sejarah.
6.      Mengakui semua peradaban dan praktik budaya sebagai sumber ide ilmu sosial.
7.      Tidak mendukung penolakan atas ilmu sosial Barat secara keseluruhan.

Maka, sebuah definisi tentang diskursus alternatif kemudian dirumuskan oleh penulis buku ini menurut pengalaman sejarah regional/lokal dan praktik budaya di Asia melalui cara yang sama dengan ilmu sosial Barat. Menjadi alternatif di sini berarti beralih ke filsafat, epistemologi, sejarah, dan ilmu sastra, yang berasal dari tradisi non Barat. Ulayatisasi (diskursus alternatif) disebutkan harus ditinjau dari segi antropologi dan psikologi. Bagi Sinha, ulayatisasi antropologi dan ilmu sosial lain merupakan sebuah gerakan menentang Eurosentrisme, dan menandai pemutusan penting dari hegemoni intelektual masa lalu kolonial. Ulayatisasai antropolo tidak bisa dipahami dalam pengertian negatifnya saja, yaitu memutuskan hubungan dengan kekuasaan metropolitan neokolonialis. Menurut Evan, ulayatisasi juga harus dipahami secara lebih positif, dari segi kontribusi sistem pemikiran non-Barat terhadap teori antropologi.

Kemudian penulis merumuskan bahwa ilmu sosial ulayat adalah ilmu sosial yang didasarkan pada pengalaman sejarah dan praktik budaya ulayat dalam arti yang sama sebagaimana ilmu sosial Barat. Ulayatisasi menuntut peralihan pada filsafat, epistemologi, sejarah, seni, dan bentuk pengetahuan ulayat lain, yang semuanya dapat menajdi sumber potensial teori dan konsep ilmu sosial.

Di banyak bekas koloni Eropa, disebutkan bahwa administrasi kolonial membutuhkan informasi terperinci dan berjangkauan luas mengenai peradaban dan masyarakat yang mereka kuasai. Dalam hal ini, ilmu-ilmu sosial merupakan elemen kapitalisme kolonial yang sangat dibutuhkan. Dijabarkan oleh ben Jelloun, akibat dari tabiat kolonialis ilmu sosial tidak menghilang dari kemerdekaan, maka tugas pertama yang dituntut dari para intelektual postkolonial adalah dekolonisasi wilayah budaya, termasuk di bidang akademik. Selama ilmu sosial tidak didekolonisasi, masyarakat-masyarakat post-kolonialial hanya akan berpartisipasi dalam pengembangan ilmu sosial sebagai objek riset yang secara umum dilakukan oleh orang-orang Amerika dan Eropa. Maka, dekolonisasi ilmu sosial memiliki arti keterputusan dari kebudayaan Barat.

Salah satu penyebab munculnya postkolonialisme sebagai diskursus alternatif adalah diadopsinya postmodernisme oleh Telaah Subaltern. “Postkolonial” dalam postkolonialisme dapat dipahami melalui dua aspek, yakni (1) berkenaan dengan klaim postkolonial terhadap periodisasi sejarah kontemporer, dan (2) berhubungan dengan wawasan dan teori yang dipakai untuk melakukan setalaah sejarah, kebudayaan, dan masyarakat. Aspek pertama berkenaan dengan deklarasi bahwa kita telah mengalami transisi dari modernitas ke zaman postmodern. Kemudian aspek kedua berkenaan bahwa kita memahami postkolonial dalam postkolonialisme, berkenaan dengan posisi teoretispostmodernis sekelompok intelektual yang memisahkan diri dari klaim sejarah tentang jeda-jeda periode terpenting. Dalam pengertian inilah postkolonialisme meninggalkan kolonialisme dan modernisme. Seruan lainnya yang disebutkan di dalam bab ini, untuk melahirkan ilmu sosial alternatif adalah apa yang disebut oleh penulis sebagai nasionalisasi ilmu sosial.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar