Halaman

Rabu, 16 Januari 2013

Bab 8. Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektifitas. (Oleh John Roosa dan Ayu Ratih).


Nama : Arum Vitasari
NIM    : 12/339811/PSA/7357

Dalam bab ini, John Roosa dan Ayu Ratih mencoba mengungkapkan sejarah lisan yang ada di Indonesia. Diawali mengenai bahasan, bahwa sejarah lisan di Indonesia inioleh para peneliti tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman oarng biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan juga dapat menyoroti beberapa episode sejarah yang gelap dan misterius, John dan Ayu mencontohkan di sini adalah kasus pembantaian massal tahun 1965-1966. Disebutkan pula, bahwa walaupun wawancara lisan dengan kaum elite politik jelas diperlukan untuk memahami lebih baik kejadian-kejadian tertentu yang terjadi setelah kemerdekaan, janji lebih besar yang ditawarkan oleh sejarah lisan di Indonesia dewasa ini adalah rangsangan untuk menulis sejarah sosial. Dalam hal ini Henk Schulte Nordholt berpendapat, “sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia,” bukan saja karena birokrasi pemerintah era Soeharto (dalam hal ini) “tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum,” tetapi juga karena sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari negara dan “menyoroti pengalaman-pengalaman pribadi yang berada di luar kerangka kaku yang ditetapkan lembaga-lembaga negara”.
Walaupun terkesan mudah, namun sejarah lisan disebutkan memiliki kesulitan tersendiri dengan berbagai kegagalan. Peneliti cenderung mulai dengan kesimpulan, bukan dengan pertanyaan. Kemudian, tanpa menghiraukan prinsip atau konsekuensi metodologis ia kumpulkan butir-butir informasi sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkannya terlebih dahulu. Masalah-masalah lain yang dihadapi peneliti sejarah lisan lebih banyak terkait dengan ciri-ciri khas sejarah lisan itu sendiri. John dan Ayu menjelaskan, bahwa sejarah lisan menuntut perimbangan antara berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi antar manusia. Untuk melakukan penelitian sejarah lisan, peneliti harus melakukan apa yang disebut “working through” sehubungan dengan respons emosional mereka terhadap orang yang diwawancarai. “Working through” sendiri merupakan proses yang berlangsung terus-menerus untuk menguji kembali asumsi-asumsi yang telah berurat-akar dalam diri kita, memeriksa apa yang kita anggap wajar, atau pandangan apa yang kita kendalikan agar tidak muncul ke permukaan. Istilah “working through” ini sendiri dicetuskan oleh Freud, tahun 1914.
Penghalang utama proyek-proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asumsi bahwa wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekan “kesaksian” yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial dan lain sebagainya. Peneliti berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang dibangun berdasarkan gagasan ideal penjagaan jarak. Penolakan atau ketakukan melibatkan emosi, telah membuat peneliti tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan intersubjektif yang kompleks dalam wawancara. Bahkan di sini dapat dilihat munculnya paradigma yang dapat dilihat pada aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk memperjuangkan kepentingan orang yang diwawancarai. Sedikit empati memang dibutuhkan dalam hal ini. Namun, jika tujuan utama adalah “counter-transference” sepenuhnya (artinya, dalam psikoanalisa, pengidentifikasian diri si penganalisis dengan orang yang sedang dianalisa), kita menghambat kemampuan berpikir rasional yang diperlukan untuk merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu dan untuk memahami apa yang dialami oleh korban.
John dan Ayu menyatakan bahwa mereka menyetujui pemikiran LaCapra yang mengatakan bahwa “dimensi-dimensi konvensional dalam penelitian sejarah”, teknik untuk menguji kesahihan fakta, meski “mutlak perlu,” tetap tidak cukup. Salah satu aspek penting penulisan sejarah adalah sikap sejarawan, posisi sejarawan dalam kaitannya dengan subjek penelitian. LaCapra dalam hal ini menganjurkan agar sejarawan mencoba “mengolah hubungan-hubungan yang sangat peka, dan kadang-kadang tegang, antara empati dan jarak kritis. Walaupun terkadang empati dibawa terlalu jauh, namun bagi sejarawan lisan, disebutkan bahwa orang yang dihadapi adalah orang yang diwawancarai, dan tanggung jawab utamanya ialah kepada sejarah, bukan pada orang diwawancarai. Sejarawan harus menulis sejarah sesuai dengan apa yang benar dan penting menurut perasaannya, bahkan ketika pertimbangan ini bertentangan dengan keinginan orang yang diwawancarai.
Dalam kesimpulannya, John dan Ayu menyebutkan bahwa sejarawan yang meneliti sejarah lisan di Indonesia akan berhasil dalam penelitiannya apabila mereka tidak melakukan identifikasi empatis sepenuhnya dengan orang yang diwawancarai atau mengambil tindakan objektifikasi yang terlalu ekstrim. Dalam hal ini, setelah membaca apa yang telah disampaikan oleh John Roosa dan Ayu Ratih mengenai sejarah lisan ini, sebagai sejarawan kita akan dapat menemukan hal-hal menarik untuk digali melalui para responden yang kita wawancarai. Namun, perlu kita ingat bahwa dalam sejarah lisan ini, kita juga memerlukan sumber pembanding melalui sumber-sumber tertulis. Hal ini untuk menghindari adanya informasi yang terlalu subjektif maupun informasi rekaan berlebihan dari sumber yang kita wawancarai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar