Nama : Arum Vitasari
NIM : 12/339811/PSA/7357
Dalam bab ini, John
Roosa dan Ayu Ratih mencoba mengungkapkan sejarah lisan yang ada di Indonesia.
Diawali mengenai bahasan, bahwa sejarah lisan di Indonesia inioleh para
peneliti tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman oarng biasa,
mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering
tidak terawat. Sejarah lisan juga dapat menyoroti beberapa episode sejarah yang
gelap dan misterius, John dan Ayu mencontohkan di sini adalah kasus pembantaian
massal tahun 1965-1966. Disebutkan pula, bahwa walaupun wawancara lisan dengan
kaum elite politik jelas diperlukan untuk memahami lebih baik kejadian-kejadian
tertentu yang terjadi setelah kemerdekaan, janji lebih besar yang ditawarkan
oleh sejarah lisan di Indonesia dewasa ini adalah rangsangan untuk menulis
sejarah sosial. Dalam hal ini Henk Schulte Nordholt berpendapat, “sejarah lisan
sangat penting bagi historiografi Indonesia,” bukan saja karena birokrasi
pemerintah era Soeharto (dalam hal ini) “tidak banyak meninggalkan arsip yang
terbuka untuk umum,” tetapi juga karena sejarah lisan membuka peluang bagi
sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari negara dan “menyoroti
pengalaman-pengalaman pribadi yang berada di luar kerangka kaku yang ditetapkan
lembaga-lembaga negara”.
Walaupun terkesan mudah,
namun sejarah lisan disebutkan memiliki kesulitan tersendiri dengan berbagai
kegagalan. Peneliti cenderung mulai dengan kesimpulan, bukan dengan pertanyaan.
Kemudian, tanpa menghiraukan prinsip atau konsekuensi metodologis ia kumpulkan
butir-butir informasi sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah
ditetapkannya terlebih dahulu. Masalah-masalah lain yang dihadapi peneliti
sejarah lisan lebih banyak terkait dengan ciri-ciri khas sejarah lisan itu
sendiri. John dan Ayu menjelaskan, bahwa sejarah lisan menuntut perimbangan
antara berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini
berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi antar manusia. Untuk
melakukan penelitian sejarah lisan, peneliti harus melakukan apa yang disebut “working through” sehubungan dengan
respons emosional mereka terhadap orang yang diwawancarai. “Working through” sendiri merupakan
proses yang berlangsung terus-menerus untuk menguji kembali asumsi-asumsi yang
telah berurat-akar dalam diri kita, memeriksa apa yang kita anggap wajar, atau
pandangan apa yang kita kendalikan agar tidak muncul ke permukaan. Istilah “working through” ini sendiri dicetuskan
oleh Freud, tahun 1914.
Penghalang utama
proyek-proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asumsi bahwa
wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekan “kesaksian”
yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial dan lain
sebagainya. Peneliti berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan
yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang dibangun berdasarkan gagasan ideal
penjagaan jarak. Penolakan atau ketakukan melibatkan emosi, telah membuat
peneliti tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan intersubjektif yang kompleks
dalam wawancara. Bahkan di sini dapat dilihat munculnya paradigma yang dapat
dilihat pada aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk
memperjuangkan kepentingan orang yang diwawancarai. Sedikit empati memang
dibutuhkan dalam hal ini. Namun, jika tujuan utama adalah “counter-transference” sepenuhnya (artinya, dalam psikoanalisa,
pengidentifikasian diri si penganalisis dengan orang yang sedang dianalisa),
kita menghambat kemampuan berpikir rasional yang diperlukan untuk
merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu dan untuk memahami apa yang dialami
oleh korban.
John dan Ayu menyatakan
bahwa mereka menyetujui pemikiran LaCapra yang mengatakan bahwa
“dimensi-dimensi konvensional dalam penelitian sejarah”, teknik untuk menguji
kesahihan fakta, meski “mutlak perlu,” tetap tidak cukup. Salah satu aspek
penting penulisan sejarah adalah sikap sejarawan, posisi sejarawan dalam
kaitannya dengan subjek penelitian. LaCapra dalam hal ini menganjurkan agar
sejarawan mencoba “mengolah hubungan-hubungan yang sangat peka, dan
kadang-kadang tegang, antara empati dan jarak kritis. Walaupun terkadang empati
dibawa terlalu jauh, namun bagi sejarawan lisan, disebutkan bahwa orang yang
dihadapi adalah orang yang diwawancarai, dan tanggung jawab utamanya ialah
kepada sejarah, bukan pada orang diwawancarai. Sejarawan harus menulis sejarah
sesuai dengan apa yang benar dan penting menurut perasaannya, bahkan ketika
pertimbangan ini bertentangan dengan keinginan orang yang diwawancarai.
Dalam kesimpulannya,
John dan Ayu menyebutkan bahwa sejarawan yang meneliti sejarah lisan di
Indonesia akan berhasil dalam penelitiannya apabila mereka tidak melakukan
identifikasi empatis sepenuhnya dengan orang yang diwawancarai atau mengambil
tindakan objektifikasi yang terlalu ekstrim. Dalam hal ini, setelah membaca apa
yang telah disampaikan oleh John Roosa dan Ayu Ratih mengenai sejarah lisan ini,
sebagai sejarawan kita akan dapat menemukan hal-hal menarik untuk digali
melalui para responden yang kita wawancarai. Namun, perlu kita ingat bahwa
dalam sejarah lisan ini, kita juga memerlukan sumber pembanding melalui
sumber-sumber tertulis. Hal ini untuk menghindari adanya informasi yang terlalu
subjektif maupun informasi rekaan berlebihan dari sumber yang kita wawancarai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar