Nama : Arif Subekti
NIM : 12/340114/PSA/07396
Tulisan ini, berupaya untuk
membandingkan dua gagasan mengenai pengertian Asian Values atau nila-nilai
Asia, dari dua tulisan yang berbeda, yakni “Asian Values” and Southeast
Asian Histories oleh T.N. Harper dan The Survival of “Asian Values” as
“Zivilisationskritik” oleh Mark R. Thompson. Sementara, konteks dari
pembacaan nilai-nilai Asia, dari masing-masing tulisan adalah Asia Tenggara,
sebagai suatu kawasan, baik dalam pengkajian perspektif internasional, maupun
dinamika kompleks regional. Simpul-simpul yang muncul dalam tulisan ini, adalah
disamping pembedaan-pembedaan, tentu saja terdapat kesamaan atau keserupaan
pandangan.
Nilai-nilai Asia
Pengertian dari nilai-nilai Asia, baik oleh Harper,
maupun oleh Thompson, secara substantif bisa dikatakan serupa, yakni menyangkut karakter bangsa Asia yang berujud
prinsip pengedepanan kebersamaan komunitas dan menolak individualisme Barat,
suatu tantangan terhadap neo-imperialisme yang ada di Barat, rejeksi dari
sejarah kelam kolonialisme, pengalaman industrialisasi yang menuntun pada
kebejatan moral, merajalelanya individualisme dan penyimpangan sosial. Sisi
ketidakseragaman mengenai nilai-nilai Asia dari kedua penulis, terletak pada
titik darimana nilai-nilai Asia ini berasal, dan bagaimana penggambaran atas pengamalan
atau praksis yang nyata dari penghayatan nilai-nilai Asia itu sendiri. Bagi
Harper, nilai-nilai Asia, tidak lain adalah gagasan yang disematkan oleh dunia
Barat terhadap peradaban di luar mereka, sehingga pembagian antara kami (insiders)
dan diluar kami (outsider), appolonisian dan dionisian,
Barat dan Timur, Utara dan Selatan, serta distingsi-distingsi lain dalam
cakrawala berfikir yang mengambil garis geografis imajiner; menjadi dasarnya. Namun
kemudian, Harper menggarisbawahi ketidaksetujuannya terhadap generalisasi atas
Asia sebagai satu rumpun yang homogen. Sementara bagi Thompson, nilai-nilai
Asia, kendati sebagai suatu proses memang tetap melibatkan Barat sebagai
oposisi, namun merujukkan akar pembentukan atau kemunculan nilai-nilai Asia,
secara spesifik pada galur ideologis anti-Barat ala Kekaisaran Jepang, kemudian
lebih jauh lagi, pada Kekaisaran Jerman.
Harper, dalam tulisannya, lebih menekankan nilai-nilai
Asia sebagai semacam semangat enlightenment, karena studinya pada
perkembangan tradisi historiografi Asia Tenggara, baik oleh para ahli Asia
Tenggara berkebangsaan asing, maupun intelektual lokal. Ia menilai, nilai-nilai Asia dari semangat
ini, berupa pemikiran baru mengenai sikap terhadap sejarah kolonial, yang tidak
harus selalu dipertentangkan dengan sikap anti-kolonial; masih berjalan. Kontinuitas
nilai-nilai Asia, dalam bidang ini, sampai sekarang masih berkembang dalam
skala Asia Tenggara pada umumnya (meskipun tetap ada pengecualian berdasarkan
pengalaman kolonial dari masing-masing negara). Sementara bagi Thompson,
nilai-nilai Asia, lebih dimaknai secara politis, dalam penyikapan Asia Tenggara
vis-a-vis Individualisme Barat; bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa
nilai-nilai Asia sebenarnya adalah pertarungan antara otoritarianisme versus
demokrasi modern.
Kontinuitas
Nilai-nilai Asia atau The End of Asian Values
Harper mengelompokkan tema-tema dalam perkembangan
historiografi Asia Tenggara, yang menandai atau berbanding lurus dengan
asumsinya mengenai kemajuan (progresivitas) dan keberlanjutan (kontinuitas)
atas nilai-nilai Asia dalam tiga kategori. Tema pertama adalah usaha para
sarjana untuk memperluas studi dengan
menganalisa sumber diluar teks, yakni pada puisi dan catatan
antropologis mengenai bagaimana orang Asia Tenggara membaca gerak sejarah
mereka, bahwa informasi atau sumber sejarah bisa didapat dari “teks” tertentu,
beik mengenai latar sejarah penciptaannya (historisitas teks) atau semangat
jaman yang tertuang dalam gagasan yang dimuat sang pengarang. Usaha ini berbeda
dengan para rasionalis yang menganggap bahwa sejarah modern diawali dengan
kolonialisme, sehingga mengambil distingsi dan diferensi antara sejarah dan
warisan budaya. Pada perkembangannya, sejarah pada negara berkembang menjadi
sejarah untuk kepentingan negara, sejarah resmi, dan sebagainya, sebagaimana
sejarah pada masa orde baru di Indonesia.
Tema berikutnya, adalah pada sejarah masa kolonial
dengan perspektif kekinian (present mindedness) dalam memandang sejarah
masa kolonial, yang bersumber dari catatan para administrator, para sarjana
etnografi atau leksikografi. Hal ini sebagaimana disinggung diatas, sebagai
upaya pendamaian masa lalu; antara pengalaman kolonialisme kepada hubungan internasional
kekinian yang lebih bersahabat. Tema yang ketiga adalah bahwa pencerapan dan
penulisan ulang sejarah kolonial, berarti pula penelusuran kembali perihal
konsep kebangsaan. Modernitas kolonial berhadapan dengan nasionalisme yang anti
kolonial, tidak lagi dianggap sebagai hal yang baku, kaku, dan hegemonik,
begitu pula pengertian negara-bangsa (nation-state). Bahwa nasionalisme
yang mendasari berdirinya negara bangsa adalah proses, dan bukan tujuan;
sehingga bisa saja nasionalisme dianggap berakhir, dan diganti dengan konsep
yang lebih berwawasan mondial (internasionalisme).
Sementara, Thompson berupaya memparalelkan nilai-nilai
Asia, berhadap-hadapan dengan westernisasi Barat ini, dengan pengalaman
masyarakat Jerman menyikapi demokrasi dalam pengalaman perkembangan
industrialisasinya yang disebut Zivilisationskritik (kritik terhadap
peradaban Barat) dengan pengalaman kawasan Asia Tenggara, khususnya Singapura
dan Malaysia sebagai negara post-developmental. Thompson, memang memperbedakan
antara realitas pengalaman serta kesesuaian kritik terhadap nilai-nilai Asia di
negera-negera berkembang, dengan pemaparan mengenai nilai-nilai Asia selama
masa perkembangan ekonomi dengan masa setelah modernisasi. Hal ini, bagi
Thompson, sesuai dengan kritik dunia internasional perihal kegagalan
nilai-nilai Asia dalam menghadapi depresi ekonomin tahun 1997; yang relevan
bagi negara-negara berkembang. Namun bagi negara-negara ekonomi maju,
nilai-nilai Asia kemungkinan besar masih berlanjut, dan disinilah letak
paralelisme yang Thompson tawarkan.
Konsep Zivilisationskritik, yang terdiri atas
tiga fungsi; membedakan modernisasi dan westernisasi, meng-alienasi-kan
demokrasi Barat, dan menjustifikasi kooptasi dari kelas menengah untuk mewadahi
gairah demokrasi; diparalelkan dengan konsep Asian Values, dimana secara
evolutif, pengalaman nilai-nilai Asia di negara Singapura dan Malaysia akan
mencapai tahap yang sama dengan pengalaman Zivilisationskritik di
Kekaisaran Jerman. Argumen Thompson, diantaranya didasarkan pada galur sejarah, mengenai genealogis industrialisasi,
dari Kekaisaran Jerman, ke Kekaisaran Jepang, kemudian menyebar ke
negara-negara maju di Asia, termasuk Singapura dan Malaysia, yang kemudian meniru
kedisiplinan (otoritarianisme) Jepang. Ini juga menjadi salah satu dasar
nilai-nilai Asia yang meletakkan jargon loyalitas pada komunitas bersama dan
menentang individualisme serta liberalisme Barat.
Nilai-nilai Asia di Indonesia
Keruntuhan
Orde Baru, yang mengenalkan kembali kepada dunia, bahwa dasar negara Pancasila
adalah representasi nyata dari nilai-nilai Asia sebagai ideologi bangsa, tentu
saja tidak luput dari kritik internasional atas “kegagalan” dankeruntuhan Orde
Baru menghadapi depresi ekonomi dan desakan aspirasi massa untuk mewujudkan
iklim yang “lebih demokratis”. Jika The End of History dilatari oleh
berakhirnya Perang Dingin, dimana komunisme sebagai “nilai” dianggap telah
tamat riwayatnya; apakah kemudian Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,
juga menemui The End of Pancasila. Pancasila, sebagai kebenaran
ideologis, seakan tidak pernah salah, dus tidak pernah berakhir;
sehingga kritik internasional atas relevansi nilai-nilai Asia, tidak dapat
menyentuhnya. Benarkah demikian
salam kenal..
BalasHapussaya tertarik dengan pembahasan asian values dan mencoba mencari referensi tentang hal tersebut sampai saya menemukan catatan kecil dari professor saya tentang asian values, yaitu
Order over Freedom
Family and Community Interests over Individual Choice
Economic Progress over Political Expression
Thrift, Ambition, Hard Work, Loyalty, Education, Piety to Elders
Objection against the Asian Values
Industrial Policy – Cronyism
Government – Big Business
bisakah tolong dijelaskan tentang beberpa poin diatas????
thanks