Halaman

Senin, 14 Januari 2013

Article Review “Asian Values” and Southeast Asian Histories (T.N. Harper); The Survival of “Asian Values” as “Zivilisationskritik” (Mark R. Thompson)


Nama              : Arif Subekti                                                   
NIM                : 12/340114/PSA/07396

         Tulisan ini, berupaya untuk membandingkan dua gagasan mengenai pengertian Asian Values atau nila-nilai Asia, dari dua tulisan yang berbeda, yakni “Asian Values” and Southeast Asian Histories oleh T.N. Harper dan The Survival of “Asian Values” as “Zivilisationskritik” oleh Mark R. Thompson. Sementara, konteks dari pembacaan nilai-nilai Asia, dari masing-masing tulisan adalah Asia Tenggara, sebagai suatu kawasan, baik dalam pengkajian perspektif internasional, maupun dinamika kompleks regional. Simpul-simpul yang muncul dalam tulisan ini, adalah disamping pembedaan-pembedaan, tentu saja terdapat kesamaan atau keserupaan pandangan.

Nilai-nilai Asia
Pengertian dari nilai-nilai Asia, baik oleh Harper, maupun oleh Thompson, secara substantif bisa dikatakan serupa, yakni  menyangkut karakter bangsa Asia yang berujud prinsip pengedepanan kebersamaan komunitas dan menolak individualisme Barat, suatu tantangan terhadap neo-imperialisme yang ada di Barat, rejeksi dari sejarah kelam kolonialisme, pengalaman industrialisasi yang menuntun pada kebejatan moral, merajalelanya individualisme dan penyimpangan sosial. Sisi ketidakseragaman mengenai nilai-nilai Asia dari kedua penulis, terletak pada titik darimana nilai-nilai Asia ini berasal, dan bagaimana penggambaran atas pengamalan atau praksis yang nyata dari penghayatan nilai-nilai Asia itu sendiri. Bagi Harper, nilai-nilai Asia, tidak lain adalah gagasan yang disematkan oleh dunia Barat terhadap peradaban di luar mereka, sehingga pembagian antara kami (insiders) dan diluar kami (outsider), appolonisian dan dionisian, Barat dan Timur, Utara dan Selatan, serta distingsi-distingsi lain dalam cakrawala berfikir yang mengambil garis geografis imajiner; menjadi dasarnya. Namun kemudian, Harper menggarisbawahi ketidaksetujuannya terhadap generalisasi atas Asia sebagai satu rumpun yang homogen. Sementara bagi Thompson, nilai-nilai Asia, kendati sebagai suatu proses memang tetap melibatkan Barat sebagai oposisi, namun merujukkan akar pembentukan atau kemunculan nilai-nilai Asia, secara spesifik pada galur ideologis anti-Barat ala Kekaisaran Jepang, kemudian lebih jauh lagi, pada Kekaisaran Jerman.
Harper, dalam tulisannya, lebih menekankan nilai-nilai Asia sebagai semacam semangat enlightenment, karena studinya pada perkembangan tradisi historiografi Asia Tenggara, baik oleh para ahli Asia Tenggara berkebangsaan asing, maupun intelektual lokal.  Ia menilai, nilai-nilai Asia dari semangat ini, berupa pemikiran baru mengenai sikap terhadap sejarah kolonial, yang tidak harus selalu dipertentangkan dengan sikap anti-kolonial; masih berjalan. Kontinuitas nilai-nilai Asia, dalam bidang ini, sampai sekarang masih berkembang dalam skala Asia Tenggara pada umumnya (meskipun tetap ada pengecualian berdasarkan pengalaman kolonial dari masing-masing negara). Sementara bagi Thompson, nilai-nilai Asia, lebih dimaknai secara politis, dalam penyikapan Asia Tenggara vis-a-vis Individualisme Barat; bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai Asia sebenarnya adalah pertarungan antara otoritarianisme versus demokrasi modern.

Kontinuitas Nilai-nilai Asia atau The End of Asian Values
Harper mengelompokkan tema-tema dalam perkembangan historiografi Asia Tenggara, yang menandai atau berbanding lurus dengan asumsinya mengenai kemajuan (progresivitas) dan keberlanjutan (kontinuitas) atas nilai-nilai Asia dalam tiga kategori. Tema pertama adalah usaha para sarjana untuk memperluas studi dengan  menganalisa sumber diluar teks, yakni pada puisi dan catatan antropologis mengenai bagaimana orang Asia Tenggara membaca gerak sejarah mereka, bahwa informasi atau sumber sejarah bisa didapat dari “teks” tertentu, beik mengenai latar sejarah penciptaannya (historisitas teks) atau semangat jaman yang tertuang dalam gagasan yang dimuat sang pengarang. Usaha ini berbeda dengan para rasionalis yang menganggap bahwa sejarah modern diawali dengan kolonialisme, sehingga mengambil distingsi dan diferensi antara sejarah dan warisan budaya. Pada perkembangannya, sejarah pada negara berkembang menjadi sejarah untuk kepentingan negara, sejarah resmi, dan sebagainya, sebagaimana sejarah pada masa orde baru di Indonesia.
Tema berikutnya, adalah pada sejarah masa kolonial dengan perspektif kekinian (present mindedness) dalam memandang sejarah masa kolonial, yang bersumber dari catatan para administrator, para sarjana etnografi atau leksikografi. Hal ini sebagaimana disinggung diatas, sebagai upaya pendamaian masa lalu; antara pengalaman kolonialisme kepada hubungan internasional kekinian yang lebih bersahabat. Tema yang ketiga adalah bahwa pencerapan dan penulisan ulang sejarah kolonial, berarti pula penelusuran kembali perihal konsep kebangsaan. Modernitas kolonial berhadapan dengan nasionalisme yang anti kolonial, tidak lagi dianggap sebagai hal yang baku, kaku, dan hegemonik, begitu pula pengertian negara-bangsa (nation-state). Bahwa nasionalisme yang mendasari berdirinya negara bangsa adalah proses, dan bukan tujuan; sehingga bisa saja nasionalisme dianggap berakhir, dan diganti dengan konsep yang lebih berwawasan mondial (internasionalisme).
Sementara, Thompson berupaya memparalelkan nilai-nilai Asia, berhadap-hadapan dengan westernisasi Barat ini, dengan pengalaman masyarakat Jerman menyikapi demokrasi dalam pengalaman perkembangan industrialisasinya yang disebut Zivilisationskritik (kritik terhadap peradaban Barat) dengan pengalaman kawasan Asia Tenggara, khususnya Singapura dan Malaysia sebagai negara post-developmental. Thompson, memang memperbedakan antara realitas pengalaman serta kesesuaian kritik terhadap nilai-nilai Asia di negera-negera berkembang, dengan pemaparan mengenai nilai-nilai Asia selama masa perkembangan ekonomi dengan masa setelah modernisasi. Hal ini, bagi Thompson, sesuai dengan kritik dunia internasional perihal kegagalan nilai-nilai Asia dalam menghadapi depresi ekonomin tahun 1997; yang relevan bagi negara-negara berkembang. Namun bagi negara-negara ekonomi maju, nilai-nilai Asia kemungkinan besar masih berlanjut, dan disinilah letak paralelisme yang Thompson tawarkan.
Konsep Zivilisationskritik, yang terdiri atas tiga fungsi; membedakan modernisasi dan westernisasi, meng-alienasi-kan demokrasi Barat, dan menjustifikasi kooptasi dari kelas menengah untuk mewadahi gairah demokrasi; diparalelkan dengan konsep Asian Values, dimana secara evolutif, pengalaman nilai-nilai Asia di negara Singapura dan Malaysia akan mencapai tahap yang sama dengan pengalaman Zivilisationskritik di Kekaisaran Jerman. Argumen Thompson, diantaranya didasarkan pada galur sejarah, mengenai genealogis industrialisasi, dari Kekaisaran Jerman, ke Kekaisaran Jepang, kemudian menyebar ke negara-negara maju di Asia, termasuk Singapura dan Malaysia, yang kemudian meniru kedisiplinan (otoritarianisme) Jepang. Ini juga menjadi salah satu dasar nilai-nilai Asia yang meletakkan jargon loyalitas pada komunitas bersama dan menentang individualisme serta liberalisme Barat.

Nilai-nilai Asia di Indonesia
            Keruntuhan Orde Baru, yang mengenalkan kembali kepada dunia, bahwa dasar negara Pancasila adalah representasi nyata dari nilai-nilai Asia sebagai ideologi bangsa, tentu saja tidak luput dari kritik internasional atas “kegagalan” dankeruntuhan Orde Baru menghadapi depresi ekonomi dan desakan aspirasi massa untuk mewujudkan iklim yang “lebih demokratis”. Jika The End of History dilatari oleh berakhirnya Perang Dingin, dimana komunisme sebagai “nilai” dianggap telah tamat riwayatnya; apakah kemudian Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, juga menemui The End of Pancasila. Pancasila, sebagai kebenaran ideologis, seakan tidak pernah salah, dus tidak pernah berakhir; sehingga kritik internasional atas relevansi nilai-nilai Asia, tidak dapat menyentuhnya. Benarkah demikian

1 komentar:

  1. salam kenal..
    saya tertarik dengan pembahasan asian values dan mencoba mencari referensi tentang hal tersebut sampai saya menemukan catatan kecil dari professor saya tentang asian values, yaitu

    Order over Freedom
    Family and Community Interests over Individual Choice
    Economic Progress over Political Expression
    Thrift, Ambition, Hard Work, Loyalty, Education, Piety to Elders

    Objection against the Asian Values

    Industrial Policy – Cronyism
    Government – Big Business

    bisakah tolong dijelaskan tentang beberpa poin diatas????
    thanks

    BalasHapus