Arif Subekti,
12/340114/PSA/7396
Artikel oleh Anthony H.
Johns, yang terjemahan bebasnya berjudul “Peran Organisasi Struktural dan Mitos
dalam Historiografi Jawa” (Historiografi Tradisional), secara garis besar
berisi kajian perihal faktor-faktor kultural yang terkandung dalam teks dengan
penjelasan secara lebih detail pada naskah Pararaton dan Babad Tanah
Jawi. Upaya akademis ini, berangkat dari penilaian sebagian sejarawan Barat
yang menilai babad atau serat ialah cerita bohong yang tidak
berguna (worthless fairy stories), baik dimaknai sebagai karya
historiografi, maupun sebagai sumber sejarah. Hal tersebut, menurut Johns,
tidak mengherankan, sebab memang sangat sulit menguji keakuratan peristiwa
sejarah yang bersumber dari historiografi Jawa, terutama sekali pada bagian
pembukaan.
Hasil dari kajian ini;
dengan model membandingkan serta memperbedakan dua naskah di atas,
diantaranya ialah: Pararaton, diawali dengan kisah kelahiran kembali (reinkarnasi)
pendiri kerajaan Singhasari (1222-1292), sedangkan Babad Tanah Jawi, dimulai
dengan pemaparan galur genealogis pendiri kerajaan Mataram (1582-1749) yang
memadukan Dewa-Dewa Hindu, tokoh ceritera Pandawa, Nabi-Nabi Islam (sinkretis)
serta raja-raja dari kerajaan sebelumnya. Tafsiran sangat menarik dari Johns
ialah mengenai analogi antara perpindahan ”jiwa” dalam suksesi reinkarnasi
Angrok dan perpindahan “regalia” atau pusaka kerajaan pada suksesi kekuasaan
Senapati.
Johns berpendapat,
bahwa makna tersirat dari pembandingan di atas ialah; baik Pararaton maupun
Babad mengetengahkan dua tokoh yang memiliki syarat-syarat sebagai raja,
yakni fungsi makro-mikrokosmik, dimana Ken Angrok memenuhi fungsi mikro-makrokosmiknya
lewat pelbagai perjumpaannya dengan aneka kelas sosial –pencuri, penjudi,
petani, pande besi, serta pertautannya dengan Brahmin Lohgawe, Ken Dedes, dan
Mahayanist. Sedangkan bagi Senapati, pemenuhan fungsi kosmik tersebut ia dapat
lewat pertaliannya dengan raja terakhir Majapahit, bidadari serta makhluk dunia
bawah (dedemit), juga galur keturunan Demak dan unsur Islamnya. Johns kemudian
menegaskan, perbedaan sumber “kekuatan” kedua tokoh ini ialah, bahwa fungsi
kosmik dari Ken Angrok tidak disandarkan pada kerajaan/ kraton
sebelumnya (achieved), sedangkan pada babad menjelaskan fungsi
kosmik Senapati diturunkan dari kerjaaan sebelumnya atau bersifat askriptif (ascribed).
Makna tersirat berikut
dari bagian pembukaan historiografi abu-abu (semi-historical exordia)
adalah konsep dewa raja, sebagai salah satu syarat sebagai raja. Pararaton
menetapkan sifat adi kodrati ini dengan penggambaran afiliasi antara Ken Angrok
dengan Brahma, Vishnu, Siva; bersama-sama dengan pengidentifikasiannya sebagai
Budha dan cakravartin. Sementara dalam babad, Senapati
mendapatkan sifat adi kodrati ini dalam dua peristiwa, pertama saat Senapati terjaga
dan bersamaan dengan adanya bintang jatuh; dan kedua kisah pertemuan dan
pernikahannya dengan Njai Loro Kidul.
Thus,
lewat kajiannya, Johns mampu menjadikan historiografi tradisional yang dianggap
tidak mampu membedakan fakta dan fiksi, menjadi sumber sejarah yang kaya akan
informasi; yakni menerangkan sejarah yang tidak tersurat (the unwritten
history). Karya babad yang dipenuhi simbol-simbol, nampaknya ingin
menerangkan “sesuatu dengan sesuatu”, sehingga memerlukan kejelian dan
ketelitian serta cara pandang dari pendukung budaya babad. Sejarawan de
Graaf pernah berujar, bahwa kesalahan terbesar sejarawan Barat dalam memahami babad,
adalah dengan mulai mengkajinya dari bagian pendahuluan; alih-alih mengawali
upaya akademisnya dari kejadian-kejadian yang dekat dengan masa hidup
pengarangnya, sehingga mereka terjebak pada penilaian pejoratif pada
hisotoriografi tersebut. Johns yang menggambarkan gagasan pengarang Pararaton
dan babad kiranya telah mencoba menemukan semangat zaman (zeit
geist) dari keduanya, serta memposisikan keduanya sejajar dengan
sumber-sumber sejarah dari Eropa serta historiografi modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar