Halaman

Selasa, 08 Januari 2013

“AKU” YANG BERJUANG: SEBUAH SEJARAH PENULISAN DIRI SENDIRI PADA MASA ORDE BARU


Nama   : Wahyu Setyaningsih          NIM                  : 12/339547/PSA/07317
Prodi    : Ilmu Sejarah                     Mata Kuliah       : Historiografi


 
---

Dalam buku yang berjudul Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia pada bagian keenam Gerry van Klinken menjelakan mengenai penulisan sejarah Indonesia pada masa Orde Baru (Orba). Gerry mengatakan bahwa penulisan sejarah Orba adalah penulisan biografi dari tokoh-tokoh yang mempunyai taring pada waktu itu. Gerry yang notabene seorang Barat melihat penulisan biografi Indonesia yang sangat bertolak belakang dengan gaya Barat. Jika kita tenggok kembali sejarah Orba, dalam mainstream kita pasti akan mengatakan kedidaktoran dan otoriter, yang tidak kalah kuat dalam ingatan adalah sosok Soeharto, sang presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Yang manarik dalam pandangan Gerry adalah kultur Indonesia yang tidak suka menonjolkan dirinya sendiri, tetapi berbagai penulisan pada masa Orba justru penonjolan-penonjolan diri semakin mendominasi dalam tataran buku-buku yang beredar. Inilah salat satu alasan mengapa Gerry melakukan penelitian tentang penulisan sejarah pada masa Orba.
            Gerry memberikan penjelasan yang sistematis dalam artikelnya yang ia susun, mulai dari pembahasan mengenai perkembangan penerbitan buku biografi selama setengah abad terakhir, kemudian diberikan beberapa pendekatan-pendekatan buku biografi, dan kemudian saran-saran dan penerapan pendekatan lain diberikan. Gerry memberikan sebuah sajian analisis historiografi pada masa Orba yang menempatkan “aku”. Dalam interpretasi saya kata “aku” berarti tokoh-tokoh yang berperan dalam masa Orba. Bukan hanya seorang tokoh sentral saja, tetapi tokoh-tokoh yang berada di belakangnya. Yang menarik bagi saya adalah ketika Gerry memberikan data-data satatistik mengenai jumlah penerbitan buku pada masa Orba. Menggelitik sekali ketika ia sajikan dalam bentuk perbandingan dengan novel, seakan biografi yang ada masa Orba adalah sebuah karya sastra fiksi saja. Inilah yang menjadikan pikiran saya tiba-tiba kembali pada historiografi tradisional yang penuh dengan mitos. Lalu, benarkah pemitosan itu masih tetap saja, meskipun dalam kemasan yang lebih modern? Jika memang benar demikian, apakah kekuasaan itulah yang telah menutup kebenaran sejarah yang sebenarnya terjadi?
            Jika kita mengamati pada tahun 1970-an, di mana penulisan biografi itu sangat kecil sekali, hal ini berbanding terbalik pasca-tahun 1970, terutama tahun 1995 ke atas, justru biografi jauh lebih banyak dari pada novel. Gerry memberikan tiga kesimpulan berkaitan hal ini, yaitu: 1) judul yang tersimpan di KVLT pada tahun 1980-an mencapai sekitar lima persen dari produksi total buku yang bukan buku pelajaran dan buku terjemahan; 2) buku biografi tidak pernah tertinggal jauh di belakang novel; 3) jumlah kedua jenis buku ini mengalami kenaikan yang besar dari awal 1990-an karena era keterbukaan. Buku biografi adalah dokumen masa kini pada saat ia juga merupakan dokumen sejarah. Namun, biografi pada zaman Orba perlu kita kritisi lebih dalam karena zaman Orba kental sekali dengan intrik-intrik politik yang dominan sehingga sampai ada istilah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Maka, dikenalkah biografi pesanan (authorised biography). Kita kenal tokoh penulis biografi pada masa Orba yang terkenal, yaitu Soebagijo I.N dengan menghasilkan 21 buku dari 1976-1987; Rosihan Anwar yang menghasilkan 21 buku; dan Ramadhan K.H. yang telah menuliskan biografi orang nomor satu pada waktu itu. Buku-buku ini bercerita seputar penambahan gelar kemiliteran atau keagamaan pada masing-masing tokoh, tokoh bintang hiburan yang menjadi idola (ketika itu Nike Ardila yang meninggal akibat kecelakaan), dan melalui penokohan yang mempunyai taring di dunia industri (misalnya Nitisemito), maupun dunia militer (contohnya Amirmachmud).
            Biografi di Indonesia dengan Barat terdapat beberapa perbedaan, antara lain biografi Indonesia selalu mengedepankan tokoh selalu menjadi peran utama, selalu aktif dan berusaha mengikuti teladan para tokoh pahlawan; di Barat subyek paling populer dalam penulisan biografi adalah penulis sastra, sedangkan di Indonesia adalah pahlawan nasional. Maka, tidak heran ketika tahun 1983 Departemen Pendidikan menerbitkan 164 judul buku tentang biografi sehingga lahirlah 75 orang yang dianggap rezmi menjadi pahlawan nasional. Penelitian Degel menemukan bahwa biografi dalam historiografi Indonesia sebagian besar berperan sebagai bagian dari sejarah ideologi dan pembangunan bangsa yang disusun oleh Orba. Kemunculan penulisan biografi pahlawan nasional semakin banyak ketika Orba telah berakhir sehingga orang-orang besar menjadi naik daun, genre perjuangan yang menempatkan nasionalisme menjadi daya tarik yang lebih kuat daripada di Barat.
            Pencitraan tokoh menjadi hal utama dalam historiografi pada masa Orba. Tokoh-tokoh sentral dianggap sebagai aktor dalam penulisan sejarah Indonesia. Salah satu keistimewaan dari buku biografi Indonesia adalah berorientasi tindakan, karena menolak menyingkap kehidupan batin sang tokoh. Bagaimana cara kita mengungkap kebenaran dari historiografi pada masa Orba sehingga mampu mendapatkan evident (bukti) dari sebuah biografi? Di sinilah Gerry memberikan beberapa contoh pendekatan baru. Psikoanalisis ditawarkan oleh Angus McIntyre. Contohnya ketika Angus menggambarkan Soekarno melalui pendekatan ini, yang terlihat adalah sosok politisi-seniman, berlatar belakang asitektur dan seorang pencinta lukisan. Berbeda lagi dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Wilhem Dilthey dengan verstehennya. Etienne Naveau mengatakan bahwa kunci untuk memahami autobiografi Indonesia adalah tulisan itu bukan upaya untuk menyelami diri sendiri, tetapi untuk menghadirkan citra yang diinginkan  mengenai diri itu ke dunia luar. Oleh karena itu, Bourdieu menawarkan sebuah pendekatan untuk mengkaji biografi Indonesia dengan konsep habitus dan field. Habitus adalah paham permainan yang ada, artinya bahwa kehidupan sosial adalah permainan persaingan. Habitus ini dibentuk oleh asal-usul kelas. Oleh karena itu dalam memahami tulisan biografi, diperlukan kontekstualisasi radikal. Namun, habitus itu terbentur oleh adanya field (wilayah pengaruhnya).
Beberapa buku biografi yang ada pada masa Orba dari masing-masing tokoh, contohnya buku biografi Soeharto yang tidak menunjukan kepribadian yang nyata, hanya seputar pemikirannya, anjuran moral dan dirinya sendiri. Titik puncak Orde Baru ditandai dengan produksi buku-buku ‘pahlawan nasional’ yang pesat dan sebagian adalah resmi. Genre yang populer digunakan adalah biografi keagamaan. Lalu adakah motif dibalik penggunaan kata pahlawan? Pahlawan merupakan simbol dalam aliran politik dalam kacamata Greetz. Sudut pandang Keeler bahwa pahlawan adalah politik kekuatan dalam, sedangkan Bourieu, sebagai mobilisasi modal simbolis dalam ‘field’ yang kompetitif.
Dengan demikian yang saya dapat simpulkan dari tulisan Gerry bahwa ‘Aku’ yang berjuang adalah sebuah ungkapan yang secara terus terang ingin mengatakan bahwa sosok sentral yang tegas, terutama dari kalangan elit yang berkuasa secara penuh, tidak ada kekuasaan lain yang mampu menandinginya menjadi tokoh utama dalam historiografi masa Orba yang bisa menuliskan sejarahnya sendiri sehingga timbul pencitraan positif terhadapnya. Maka, historiografi pada masa Orba cenderung menampilkan kelas-kelas elit yang digunakan sebagai simbolisasi guna memperoleh popularitas melalui sisi-sisi kepahlawanan sebagai pencintraan diri yang tertuang dalam buku biografi-biografi yang terbit pada masa Orba. Maka, dalam mengkritisinya kita perlu menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dalam menemukan sebuah evident dari informasi biografi, terutama biografi pesanan, sehingga kita tidak terjebak dalam penjara politisasi, terutama peran militer pada masa itu, hasilnya subyektifitas dapat ditekan guna memperoleh kebenaran sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar