Halaman

Jumat, 26 Oktober 2012

ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA


Nama  : Derta A
339987
ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: J.C van Leur

Artikel ini mencoba menghadirkan beberapa alasan dari val Leur untuk mengkatagorikan abad ke 18 sebagai kategori penulisan sejarah Indonesia. Pendapat tersebut banyak bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh Prof. Godee Molsbergen; “sejarah Kumpeni di abad ke – 18 adalah bayangan cermin dari sejarah tanah air, juga dari sejarah Eropa di zaman itu”. Menurut van Leur, abad ke 18 bisa dijadikan sebagai kategori dalam penulisan sejarah Indonesia. Alasan yang paling penting yang mendasari pendapatnya tersebut adalah bahwa sejarah abad ke 17 dari Hindia Belanda, tidak dapat disamakan dengan sejarah kompeni (VOC) karena negeri Belanda sendiri waktu itu berada di bawah penindasan Jerman; orang tidak boleh berbicara tentang kemerdekaan dan kebesaran Negeri Belanda.
Coba kita simak pernyataan dari van Leur berikut ini: di kawasan Asia, pada abad ke 18, Iran, Birma, Cina dan Jepang masih sangat kuat jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Bahkan menurut van Leur, kantor dagang kompeni di berbagai tempat mengalami kemunduran; di Iran dan Arabia ditinggalkan, di India berkurang artinya. Meskipun demikian, di Jawa kompeni mencapai suatu keberhasilan dengan membagi menjadi tiga kerajaan Mataram lama; Sunan, Sultan dan Mangkunegara (1755-1757). Van Luer juga mengatakan bahwa pada abad ke 18 tidak ada satu kawasanpun di Asia yang dikuasai bangsa Eropa.
Ada hal yang sangat menarik yang bisa didiskusikan dari artikel karya van Leur ini, yaitu adanya dua pertentangan pendapat antara van Leur dengan Prof. Godee. Menurut hemat saya, pendapat dari keduanya sangat sarat dengan suatu maksud/ kepentingan tertentu. Kita lihat pendapat dari Godee, semua pendapatnya dalam artikel ini cendrung membesar-besarkan negeri Eropa, terutama Belanda. Begitu juga dengan pendapat-pendapat dari van Leur, ia berargumen dengan mengkrik pernyataan-pernyataan dari Godee, tanpa mereka disadari bahwa keduanya sebenarnya sudah menulis sejarah berdasarkan Nederlando-centris.
Pernyataan saya tersebut nampaknya aneh, namun jika lihat di satu sisi Godee membesar-besarkan bangsa Eropa termasuk Belanada dan menganggap rendah bangsa Asia, di sisi lain van Leur sangat memuji-muji Asia; termasuk Jawa (biasanya kritik merupakan suatu usaha untuk membangun suatu pendapat dari orang dikritik). Saya justru melihat hal tersebut sebagai suatu penyatuan tujuan yang sebenarnya mungkin tidak mereka sadari dan saya melihat bahwa pernyataannya tersebut seperti mencoba menghilangkan sebuah “kesalahan” masa lalu. Van Leur ingin mengungkapkan bahwa sebenarnya Belanda/ VOC/ Kumpeni tidak pernah membuat bangsa di Nusantra menderita. Bahkan ia menyatakan tahun 1799 rakyat Jawa mengalami sebuah kemakmuran. Ia mencoba mengkambinghitamkan Inggris dan negera Asia lainnya seperti Cina. Saya justru berargumen bahwa van Leur menulis artikel ini dengan membayangkan masa depan; suatu saat penduduk nusantara akan menuntut ganti rugi atas explorasi selama ini.
Kalau kita bandingkan pernyataan-pernyataan van Leur dalam artikel ini dengan buku Pengantar Sejarah Nasional Indonesia Baru karangan Sartono Kartodirdjo atau tulisan sejarah lainnya yang menceritakan abad ke 18 yang tentunya Indonesia sentries, akan kita lihat dua wajah yang berbeda sama sekali. Sebut saja Batavia pada tahun 1619 sudah menjadi pusat VOC, begitu juga dengan daerah lainnya di luar Jawa seperti Ternate dan lain-lain. Tak dapat dielakkan lagi bahwa pada abad ke 17- 18, hampir seluruh wilayah nusantara jatuh ke tangan VOC (Kartodirdjo, 1993: 259)[1]. Jadi kalau kita memandang buku SNI adalah benar, maka apa yang dikatakan van Leur adalah omong kosong, begitupun sebaliknya kalau kita menganggap apa yang dikatakan van Leur benar, maka apa yang dikatakan dalam buku-buku sejarah Indonesia juga omong kosong.
Oleh karena itu, kita memerlukan sebuah dekonstruksi sejarah, dimana kita harus melihat dinamika dalam masyarakat, yang justru menjadi pendukung utama dalam sebuah peristiwa sejarah. Sebagai contoh kita tidak dapat menganggap bahwa perlawanan Thomas Matulesia 1817 di Saparua, Maluku, sebagai sebuah tindakan nasionalisme begitu saja. Dalam berbagai buku terlanjur ditulis bahwa Thomas Matulesai adalah seorang pahlawan nasional. Terlebih kalau kita perhatikan pentingnya kepulauan Maluku pada era-era itu. Maluku sendiri menjadi tempat yang sangat cocok untuk tanaman lada, dimana lada sebagai komuditi yang sangat laku di pasaran di Eropa dapat tumbuh dengan subur di pulau tersebut. Terlebih lagi kalau lihat dari sebuah protes yang dipimpin oleh Thomas Matulesia dengan pembubuhan tanda tangan keluhan-keluhan “rakyat”. Dalam buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 dari Emporium sampai Imperium Jilid 1 pun jelas bahwa yang menanda tangani surat keluhan tersebut adalah 21 orang kaya, patih dari Saparua dan Nusa Laut (Kartodirdjo, 1993: 375-376)[2]. Jadi di sini jelas bahwa perlawanan terhadap Belanda merupakan kelanjutan dari persaingan yang sudah ada dalam masyarakat sebelumnya, hanya saja hanya saja kemunculan Belanda sebagai pemain baru yang lebih kuat di Maluku, menimbulkan kesepakatan di antara mereka untuk mengadakan perlawanan. Jelas hal tersebut tidak bisa kita golongkan sebagai nasionalisme.  
Artikel ini mengandung beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, ditulis oleh orang Belanda sendiri, dengan mengandalkan sumber arsip-arsip Belanda dan tentunya van Leur tidak akan salah tafsir terhadap apa yang ada di arsip yang ia jadikan sebagai sumber. Selain itu, artikel ini juga mengupas hal-hal yang jarang sekali saya temui; dimana ia menceritakan sisi lain dari berbagai kisah yang diceritakan dalam Sejarah Nasional Indonesia, khususnya tentang kompeni (dalam sejarah buku SNI tentu diungkapkan bahwa VOC adalah penyebab dari berbagai perpecahan dari berbagai kerajaan di Nusantara). Namun demikian artikel ini juga memiliki kelemahan. Kelemahan yang sangat nampak adalah kebangsaan van Leur sendiri; orang Belanda dan sumber arsip yang ia gunakan juga ditulis oleh orang Belanda. Hal tersebut akan sangat memungkinkan bahwa apa yang ditulis oleh van Leur sangat subyektif sekali, begitu juga dengan penulisan arsip-arsip itu sendiri juga pasti akan menulis hal-hal yang baik tentang VOC.


[1] Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar