Halaman

Sabtu, 29 September 2012

Analisa


HISTORIOGRAFI INDONESIA:
ANTARA INFERIORITY-COMPLEX DAN INDONESIASENTRIS


 Sumber: Google.com

Sejarah tidak sekedar rentetan angka tahun, tokoh dan peristiwa. Lebih dari itu, sejarah seharusnya dimaknai sebagai refleksi apa yang terjadi pada masa lalu yang akan bermakna bagi yang hidup hari ini dan di masa mendatang. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa berbicara sejarah bukan sekedar berbicara masa lalu saja karena di dalam sejarah ada nilai dan makna yang akan sangat berguna untuk manusia sebagai objek sejarah yang akan hidup pada temporal selanjutnya. (Kuntowijoyo, 2003).
Begitu pula dalam memandang sejarah Indonesia, cara pandang yang sesuai tentu harus dipilih. Sejarah Indonesia memang cukup delematis karena berada di antara “apa yang terjadi” atau “apa yang dikatakan telah terjadi”. Posisi yang pertama adalah posisi default atau asli dari sejarah, yakni sejarah sebagai peristiwa yang terjadi. Sedangkan yang kedua adalah sebagai posisi ketika peristiwa masa lalu itu ditulis. Posisi yang kedua itulah yang menjadikan penulisan sejarah (historiografi) Indonesia runyam. Mengapa?

Historiografi Indonesiasentris dan Kebudayaan Kolonial
Berbicara historiografi Indonesia juga berarti berbicara tentang sejarah nasional dan sejarah bangsa Indonesia. Perjalanan masa lalu bangsa yang ditulis dan disajikan untuk anak bangsa yang hidup di kemudian hari bagaimanapun menjadi penting karena merupakan identitas nasional sekaligus identitas kolektif bangsa (Nordholt, dkk, 2008). Kolonialisasi bangsa asing yang terjadi selama 142 tahun menimbulkan traumatis tersendiri. Hal inilah yang akhirnya membuat para sejarawan Indonesia memilih untuk menuliskan sejarah Indonesia yang “Indonesiasentris”.
Sah-sah saja jika pilihan menulis sejarah yang “Indonesiasentris” disepakati pada Kongres Sejarah Nasional I pada 1957. Namun, mari merenungi, sebenarnya sejarah Indonesiasentris yang seperti apa yang dikehendaki Kongres Sejarah Nasional I waktu itu? Sebelum pertanyaan itu terjawab, mari kita satukan terlebih dahulu pemahaman akan “nasionalisme” atau “ultranasionalisme” yang muncul pada masa transisi model penulisan sejarah pasca-proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.
Sebagaimana dijelaskan oleh R. Moh. Ali (2005), pasca proklamasi kemerdekaan, pola pikir rakyat Indonesia termasuk di dalamnya sudut pandang penulisan sejarah Indonesia ketika itu terkaesan melanjutkan tradisi Indonesia sebelum 1945. Idealnya, menurutnya, “sejarah Indonesia tidak perlu mengandung maksud membela diri terhadap Belanda, tidak perlu dipergunakan untuk menutupi rasa kurang (minderwaardigheidcomplex) sebagai bangsa.” Sedah seharusnya perspektif penulisan sejarah Indonesia mampu “melukiskan perkembangan bangsa merdeka”.
Rasa inferiority-complex itu kemudian menjerumuskan arah penulisan sejarah Indonesia yang bermaksud “balas dendam” dan justru mengumbar “mitos” kebesaran Indonesia di masa lalu. Sebagai contoh adalah pernyataan bahwa Indonesia dulu adalah bangsa besar yang telah bersatu dalam wujud Negara Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian, setelah dahulu Indonesia bersatu, Belanda datang dan memecah persatuan bangsa Indonesia dengan politik “devide at impera”. Padahal, bagaimana yang sesungguhnya terjadi? Apakah memang Sriwijaya dan Majapahit merupakan sebuah nation-state sebagaimana Republik Indonesia yang merdeka ketika itu? Tentu tidak seperti itu dan hal itu memang bukanlah sejarah Indonesia.
Bagaimanapun harus diakui bahwa wilayah Indonesia hari ini merupakan wilayah Nederlands-Indie (Hindia-Belanda) terdaulu. Namun, tentu saja tidak berarti sejarah Indonesia yang mulai membuka lembaran barunya pada 17 Agustus 1945 sama dengan sejarah Majapahit dan Sriwijaya. Begitu juga ketika menyoal tentang kolonialisme Belanda. Benar kiranya Belanda pernah menjadikan Hindia-Belanda, yang sekarang menjadi wilayah Indonesia ini, sebagai koloni sejak VOC runtuh dan diambil alihnya kekuasaan tata pemerintahan Hindia-Belanda oleh Rafless-Deandles, sebelum akhirnya kembali ke Kerajaan Belanda. Namun, kolonialisasi pemerintah Belanda (1799-1942) tentu harus dibedakan dengan memonopoli perdagangan VOC (1602-1799).
Hal ini menjadi penting karena jika hingga hari ini, “mitos-mitos” yang mengganggu historiografi Indonesiasentris itu belum hilang, maka seterusnya hisotriografi Indonesiasentris yang dicita-citakan oleh para perumus naskah Seminar Nasional Sejarah Indonesia I pada 1957 sulit akan terwujud. Menulis sejarah Indonesia seharusnya memaparkan fakta dan bukan sekedar mitos yang sastrawi. Menulis sejarah Indonesia juga seharusnya dari kacamata orang Indonesia yang merdeka dan bukan lagi dari perspektif inlanders, inheemsen ataupun bumiputra yang “anti-kolonial”! Menulis sejarah Indonesia yang “ideal” tentu bukan berarti melepaskan “nasionalisme”, tetapi yang lebih penting dari itu yakni memposisikan sejarah sebagai ilmu!

Oleh: Ghifari Yuristiadhi, Mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah UGM 2012
Referensi:
Bambang Purwanto, 2006, Gagalnya Historiografi Indonesiasnetris?!, Yogyakarta: Ombak.
Henk S. Nordholt, Bambang Purwanto & Ratna Saptari, 2008, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: KITLV-Yayasan Obor.
Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nicholas B. Dirks (ed.), 1992, “Introduction: Colonialism and Culture”, dalam Colonialism and Culture, Ann Arbor: The University Michigan Press.
R. Moh. Ali, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: LKIS.

1 komentar:

  1. jadi intinya harus melihat segala sesuatu dari positif dan negatif y mas??

    BalasHapus