Halaman

Sabtu, 29 September 2012

Refleksi


MEMAHAMI KEMBALI MAKNA SEJARAH DAN FUNGSI SEJARAWAN

sumber: pustakasekolah.com


“Masa kini kita memang masih menjadi milik banyak orang, tetapi sejarawanlah sebenarnya
 yang mempunyai posisi paling menunguntungkan. Sebab, sejarawan dapat melakukan
refleksi kritis melintas waktu: masa lalu, masa kini dan masa depan”.
(Kuntowijoyo, 2003)

Seringkali saya merenung, untuk apa sebenarnya sejarah dan sejarawan itu diciptakan? Sebagai pendongeng tentang romantisme masa lalu yang “menina bobokkan” setiap orang yang mendengarkan, atau yang seperti apa? Kegusaran saya semakin meledak tatkala ketika membaca “kegusaran” lain yang tertuang dalam pidato pengukuhan Singgih Tri Sulistiyono sebagai Guru Besar Universitas Diponegoro, 2008 silam. Dalam pembukaan pidatonya, dikatakan bahwa banyak kalangan yang merasa bahwa sejarawan hari ini terlalu asyik dengan dunianya, atau dalam istilah kritikus, berdiri di atas menara gading. Akibatnya, karya yang dihasilkanya kurang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat yang hidup pada masa kini.
Namun, kegelisahan terobati tatkala mendapatkan sebuah pencerahan. Kuntowijoyo (2003) mengingatkan kepada para sejarawan agar jangan sampai karya sejarah yang dibuat oleh mereka hanya menjadi antikurian yang hanya berkutat pada masa lampau dan tidak punya relevansi dengan masa kini. Artinya, sejarawan mempunyai tanggung jawab sosial, sebagaimana sejarah itu sendiri yang memang mempunyai makna sosial. Tanggung jawab sejarawan itu tak lain yaitu bagaimana bisa menghadirkan refleksi historis kepada masyarakat yang membaca karya sejarah mereka untuk mengarungi kehidupan hari ini dan yang akan datang dengan lebih baik. Seperti halnya kutipan di awal tulisan ini.

Sejarah dan Dialog Masa Lalu
Dalam kaitannya dengan fungsi sosial dari  sejarah itu sendiri, historiografi atau penulisan sejarah bisa dianalogikan sebuah dialog masa lalu dengan masa kini dan masa depan. Jika sejarah hanya berbicara pada masa lalu saja, dapat dikatakan bahwa sejarah itu seperti barang antik nan usang (Singgih, 2008). Artinya, sejarah hanya menjadi alat pembenar masa lalu (termasuk para penguasanya) dan takut kepada masalah kekinian. Percuma rasanya jika sejarah hanya “gagah” memperbincangkan bahkan menghakimi masa lalu namun “tumpul” untuk menjawab persoalan di masa kini.
“Keegoisan” sejarah yang gagal menghadirkan refleksi masa lalu untuk masa depan inilah sepertinya yang barangkali menyebabkan sejarah banyak “dilupakan” banyak orang. Semua orang mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki sejarah bahkan semua bidang ilmu juga memiliki sejarah. Artinya, begitu dibutuhkan sebenarnya sosok sejarawan, seseorang yang hadir membawa masa lalu untuk direfleksikan pada masa kini. Namun patut disayangkan, peran sejarawan yang hingga kini masih dianggap cukup relax di atas menara gading, membuat mereka kurang “melirik” apalagi “memanggil”-nya.
Meminjam Singgih Tri Sulistiyono, sejarawan hari ini harus mampu membuat “Historiografi Pembebasan”!. “ Historiografi pembebasan ini diharapkan dapat berperan sebagai sebuah historiografi yang mampu membebaskan cara berpikir masyarakat terhadap masa lampau dari belenggu ketidaktahuan, kepalsuan, mitos-mitos, manipulasi, dan kesalahtafsiran aktual mengenai masa lampau sehingga memberikan spirit untuk bertindak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan akar historis.” Pertanyaannya kemudian, mampukah?
Perspektif kekinian seperti halnya yang dikatakan Benedetto Croce (1866-1952), perlu digaungkan oleh sejarawan. Meskipun menuliskan sejarah as it actually happened sebagaimana dikatakan Leopold von Ranke (1795-1886) tentu juga menjadi hal yang utama. Maksud dari argument saya ini adalah, meskipun sejarah harus “idealis” dengan kemasa laluannya, jangan sampai hal itu memisahkannya dengan masa kini. Jika masa lalu terpisah dengan masa kini, sejarah menurut Croce hanyalah “mayat atau bangkai sejarah”.
Idealnya, masih menurut Croce, sejarah yang sesungguhnya merupakan an act of spirit. Oleh karenanya, tulisannya yang berjudul: “every true history is contemporary history cukup relevan. Konsekuensinya dari hal itu yakni “setiap generasi akan menulis sejarahnya sendiri sesuai dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dalam dimensi kekinian”. Historiografi  yang menjadi bagian dari penulisan itupun sudah semestinya menjadi produk dari kekinian yang member jawaban atas hakikat kekinian sebagaimana diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey. (Singgih, 2008)

“New” History
Semangat untuk menghadirkan “Historiografi Pembebasan” seperti yang diistilahkan oleh Singgih tadi tentu harus dibarengi dengan sebuah kesadaran sejarah (historical consciousness) yang lebih luas dan juga ditambah dengan verstehen (understanding) yang cukup (Kuntowijoyo, 2008). Verstehen tentu bukan sekedar mengerti di permukaan, lebih dari itu, yakni mengeri makna yang lebih dalam dari peristiwa yang terjadi pada sebuah kurun waktu di masa lalu. Dengan begitu diharapkan para sejarawan itu dapat memaknai kembali beristiwa masa lalu dengan jiwa zaman kekinian. Pemahaman yang utuh itu dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari epistimologi sejarah. Harapannya, masyarakat “yang memiliki kesadaran sejarah akan mencari jawabannya bukan hanya dengan belajar sejarah (learning history), tetapi juga belajar dari sejarah (learning from history)”.
Pengetahuan akan masa lalu dari yang cukup komprehensif ternyata belum cukup untuk menuliskan sejarah. Pasalnya acap kali sejarah yang ada, terlebih sejarah nasional telah menjadi alat legitimasi pemerintah yang berkuasa. Dalam sejarah Indonesiapun sepertinya kita tidak sulit untuk menuliskan bagian-bagian yang dijadikan legitimasi rezim yang berkuasa. Mengembalikan sejarah kepada “khitoh”-nya yakni sebagai ilmu dengan mengkritisi “mitos-mitos sastrawi” yang menyatu pada fakta-fakta sejarah seharusnya dilakukan oleh sejarawan. Dekonstruksi sejarah yang digaungkan Alun Munslow begitu juga Siep Stuurman dan Maria Grever (2007) menjadi relevan.

Oleh: Ghifari Yuristiadhi, Mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah UGM 2012

Referensi
Munslow, Alun, 2010. The Future of History, New York: Palgrave Macmillan.
Kuntowijoyo, 2008, Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
-----------, 2003, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Stuurman, Siep dan Grever, Maria (ed.), 2007, Beyond the Canon: History for the 21st Century, New York: Palgrave Macmillan.
Singgih Tri Sulistiyono, 2008, “Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar