Nama : Hendra Afiyanto
NIM : 339981
Mata
Kuliah : Historiografi
Pada bab ini John Roosa
dan Ayu Ratih menawarkan sejarah lisan dalam historiografi baru Indonesia.
Sejarah lisan ini tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang
biasa, dan dapat digunakan untuk menyoroti beberapa peristiwa sejarah yang
masih gelap serta mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak
banyak dan tidak terawat. Dalam tulisan ini John Roosa tidak hanya menunjukkan
kelebihan sejarah lisan atau memudahkan praktik sejarah lisan, tetapi dia juga
menunjukkan kelemahan dari sejarah lisan.
Dalam penelitian
sejarah lisan di Indonesia banyak dilakukan melalui metode wawancara. Mereka
mengasumsikan metode wawancara hanyalah sebuah kegiatan mengumpulkan data atau
merekam kesaksian yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuan
sosial, pengacara, psikolog atau wartawan. Tetapi kenyataannya peneliti tidak
dapat memperlakukan nara sumber sebagai sebuah subyek tanpa nama, mau tak mau
mereka harus terlibat secara pribadi. Untuk mencegah wawancara hanya diartikan
sebagai kegiatan sederhana mengumpulkan data maka peneliti juga harus menggali
tentang riwayat hidup sumber. Hal ini berguna agar nantinya peneliti tidak
terjebak pada kesimpulan dangkal. John Roosa mencontohkan banyaknya calon
sejarawan lisan yang menganggap penelitian sejarah lisan hanya cukup dilakukan
dengan memilih topik dan nara sumber. Para calon sejarawan lisan tidak cukup
menguasai prosedur dasar penelitian sehingga begitu wawancara dimulai mereka
mengalami kebingungan dengan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tidak bisa
dielakkan bahwa wawancara memang sarat dengan pengaburan, pengingkaran, separuh
kebenaran, kesenjangan bahkan dusta. Kesulitan lain dari metode wawancara yang
sering terjadi ialah peneliti harus sebisa mungkin tidak sampai terjebak dalam
rasa empati yang ekstrim terhadap nara sumber. Jika peneliti sampai terjebak
pada rasa empati ekstrim maka dia tidak dapat lagi menemukan klaim kebenaran
(truth-claim) dalam sejarah, tetapi sang peneliti hanya mewakili rasa nara
sumber dalam tulisannya. Maka posisi seorang sejarawan lisan dalam mendengarkan
nara sumber diharuskan mengesampingkan sementara keyakinan-keyakinan yang sudah
ada dan siap menyimak kisah nara sumber dengan sungguh-sungguh.
Untuk membantu
sejarawan lisan dalam menjauhi metodologi empiris dan memulai memberi jarak antara
sejarawan dengan nara sumber John Roosa menawarkan pemecahannya yang dipinjam
dari konsep Freud yaitu Working Through,
Acting Out dan Counter Transference. Working
Through adalah suatu proses dengan menciptakan jarak dengan masa lalu serta
melakukan proses telisik secara menyeluruh di dalam diri. Sedangkan Acting Out diartikan sebagai sebuah
proses mengakhiri masa lalu yang tidak reflektif. Konsep Working Through dalam buku ini dicontohkan dalam peristiwa gerakan
1965 disaat banyak sejarawan yang masih terperangkap pengulangan-pengulangan
rumusan usang dalam tulisan-tulisan sejarah dari zaman Soeharto. Mereka masih
melakukan penghujatan habis-habisan terhadap PKI dan tidak memperdulikan suara
dari korban kekerasan negara. Sejarawan yang berminat terhadp sejarah lisan
perlu mengingat sebelumnya bahwa sejarah lisan bukan sebuah metode sederhana untuk
mengumpulkan cerita, tetapi sebagai sebuah cara penelitian yang menuntut
peneliti untuk melibatkan diri secara terus menerus dalam filsafat
subyektivitas. Selanjutnya dalam melakukan penelitian kita juga harus
berpedoman pada konsep Counter
Transference artinya kita dalam melakukan wawancara berusaha meminimalkan kemampuan
berpikir rasional kita dalam merekonstruksi kejadian masa lalu dan berusaha
sepenuhnya memahami apa yang dialami korban, serta tidak berpandangan bahwa
kesaksian korban sepenuhnya adalah tonggak kebenaran sejarah. Pada akhirnya
sejarawan harus menulis sejarah sesuai dengan apa yang benar menurut
perasaannya, bahkan pada nantinya tulisannya bertentangan dengan nara sumber. Profesi
sejarawan lisan bukanlah seperti wartawan atau psikolog, tetapi yang perlu
ditekankan tugas utama dari sejarawan lisan ialah memahami bagaimana para
korban, dengan kemampuannya sendiri dan bantuan teman-teman serta saudara
mereka dapat mengatasi pengalaman-pengalaman traumatis mereka dengan cukup baik
sehingga dapat berbicara mengenai pengalamannya untuk sekarang.
Dari keseluruhan review
di atas ada beberapa konsep yang saya kemukakan melalui beberapa pertanyaan. Bagaimanakan
cara peneliti untuk menjaga perasaannya agar tidak terbawa rasa empati yang
mendalam? Apakah ada nilai-nilai yang dapat membentengi perasaan peniliti agar
tidak terbawa pada rasa empati ekstrim? Jika oleh buku ini dicontohkan dalam
David Boeder (psikolog dari Amerika Serikat) yang membuat penyekat berupa tirai
saat wawancara dengan nara sumber yang dimaksudkan agar dia tidak terjebak pada
rasa empati ekstrim, Apakah jika kita terapkan kepada para korban gerakan 1965
malah akan menimbulkan nilai negatif dari nara sumber terhadap peneliti yang
berdampak kepada jawaban seadanya dari nara sumber? Mungkin
pertanyan-pertanyaan ini akan dapat lebih menyempurnakan tulisan dari John
Roosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar