Nama : Hendra Afiyanto
NIM : 339981
Mata
Kuliah : Historiografi
Masyarakat Indonesia sebagai aktor yang
bermain di atas panggung yang dinamakan Indonesia memiliki tanggung jawab lebih
untuk menuliskan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tentunya penulisan
sejarah bangsa Indonesia sampai terbentuknya negara Indonesia harus dalam
konteks kesatuan. Konteks kesatuan yang dimaksudkan ialah bukan menulis sejarah
Indonesia secara lokalitas kemudian dibukukan menjadi satu kesatuan, tetapi
menulis sejarah Indonesia dalam kacamata Indonesia secara menyeluruh. Sejarah itu
tidak lebih dari sebuah potongan interpretasi dari seorang sejarawan, akan
lebih menarik jika narasi sejarah bisa berbentuk impresionis maupun
ekspresinonis (Alun Munslow). Jika pernyataan tersebut diterapkan dalam
penulisan sejarah Indonesia dalam konteks kesatuan, maka bisa didapatkan
narasi-narasi sejarah Indonesia yang berbeda dengan narasi sejarah pada
umumnya. Sehingga sejarah Indonesia bisa dimengerti secara cerdas
(intelligibility) oleh masyarakatanya sendiri.
Untuk membandingkan dua kata pengantar
dari artikel karya Sartono Kartodirdjo dan M.C. Ricklefs maka kita cari tahu
persamaan dan perbedaan dari masing-masing artikel. Sartono Kartodirdjo
menekankan sejarah Indonesia yang akan ditulis haruslah sejarah total atau
menyeluruh yang memandang perkembangan masyarakat sebagai satu kesatuan. Perlunya
memandang perkembangan masyarakat, karena dalam perkembangan masyarakat
tersebut muncul beragam interaksi yang saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan dari unsur-unsurnya. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas
bahwa konsep kesatuan menurut Sartono Kartodirdjo ialah jangan memandang
keseluruhan Indonesia sebagai kumpulan dari lokalitas. Dalam membangun sebuah
sejarah total atau kesatuan sangat diperlukan sebuah kerangka tempat melekatnya
darah dan daging sejarah Indonesia. Sartono Kartodirdjo menyebutkan
komunikasilah sebagai jaringan kerangka dari pembentuk Sejarah Indonesia. Dengan
jaringan komunikasi maka muncul interaksi dan saling mempengaruhi dari
unsur-unsur masyarakat. Interaksi yang terjadi lewat komunikasi dimulai dari
hubungan perkawinan, perang, perampokan, perbudakan, perdagangan diplomasi,
dll. Munculnya interaksi akibat dari jaringan komunikasi mendorong timbulnya
integrasi yang semakin meluas. Maka dari itu integrasi adalah kunci untuk
menulis sejarah total dari Indonesia. Menurut Sartono Kartodirdjo sejarah
Indonesia sebagai sesuatu yang berlandaskan geopolitik dan bukan berlandaskan
budaya, karena unsur kebudayaan Indonesia masih bersifat pluralitas. Faktor
endogen dan eksogenlah yang mendorong proses perkembangan sejarah lokal menjadi
nasional, budaya lokal menjadi nasional. Proses perkembangan kebudayaan
nasionallah yang nantinya mendorong ke arah homogenitas.
Sedangkan menurut M.C.Ricklefs bahwasanya
sejak tahun ± 1300 Indonesia ini sudah terbentuk integrasi yang ditunjukkan
sebagai unit sejarah yang padu. Hal ini dapat dilihat dari munculnya tradisi
tulis meskipun berskala lokalitas yang dimulai dari Yupa. Kesatuan sejarah yang
terpadu (total menurut Sartono Kartodirdjo) dari Indonesia ditunjukkan dengan,
pertama adalah unsur kebudayaan dan agama, Islamisasi Indonesia yang dimulai
tahun ± 1300 dan berlanjut sampai sekarang. Kedua adalah unsur topik, saling
pengaruh antara orang Indonesia dan orang Barat yang dimulai tahun ± 1500 dan
berlanjut sampai sekarang. Ketiga adalah historiografi yaitu sumber-sumber
primer dari periode ini ditulis secara eksklusif dalam bahasa-bahasa Indonesia
modern dan dalam bahasa-bahasa Eropa. Antara tahun ± 1300 sampai dengan tahun ±
1500 unsur-unsur inilah yang terus muncul dan mendorong terjadinya integrasi.
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik
kesimpulan bahwasanya antara Sartono Kartodirdjo dan M.C. Ricklefs memiliki
kesamaan akan pentingnya menulis historiografi Indonesia dengan kacamata
kesatuan yang mereka sebut sejarah total. Kunci sukses menulis sejarah total
ini adalah integrasi. Keduanya juga menekankan tidak seberapa pentingnya
periodisasi dalam batasan tajam, tetapi dalam arti periodisasi tidak diberikan
secara arbiter. Mereka juga tetap menggunakan periodisasi namun periodisasi
tersebut tidak secara kaku membingkai historiografi mereka. Misalnya dalam
menulis sejarah klasik Indonesia maka kita tidak perlu menulis secara eksplisit
periodisasi-periodisasi dari kerajan-kerajaan di Indonesia, tetapi lebih kepada
aspek keterkaitan dan kronologisnya. Perbedaan dalam artikel mereka lebih terletak
pada periodisasi. Memang Ricklefs memulai periodisasi dengan masa islam dan
tentunya dia punya maksud serta tidak arbiter dalam membuat periodisasi. Begitu
pula dengan batasan spasialnya Ricklefs lebih menonjolkan Pulau Jawa seperti
alasan-alasan yang telah disebutkannya. Tetapi secara implisit dia tetap
menekankan bahwa sejarah Indonesia tetap harus dilihat secara total.
Kelemahan yang dihadapi ialah
pluralitasnya masayarakat Indonesia, ialah seolah-olah mereka dihadapkan antar
muka, misalnya Jawa vs luar Jawa, mayoritas vs minoritas, elit vs rakyat
jelata, pusat vs periferi, dll. Jika dalam rekonstruksi pikiran masyarakat
sudah seperti ini dan menuntut proporsi yang sama dalam historiografi
Indonesia, maka ketercapaian historiografi sejarah Indonesia secara total
seperti keinginan Sartono Kartodirdjo akan sulit diwujudkan. Hal terpenting
sebelum mewujudkan sejarah total Indonesia ialah memperbaiki mentalitas dalam
diri masyarakat Indonesia sehingga homogenitas pikiran dapat bersatu untuk
mewujudkan tercapainya historiografi total Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar