Nama : Suriani
NIM :
12/338550/PSA/7236
Asian Values and Southeast Asian History
Orientalisme
adalah gaya berpikir yang berdasar pada pembedaan ontologis dan epistemologis
yang dibuat antara Timur (the Orient)
dan Barat (the Occident)[1].
Orientalisme adalah cara Barat memandang Timur dan juga digunakan orang Barat untuk
mendominasi dan menghegemoni dunia Timur. Hegemoni tersebut terdapat dalam
berbagai bidang, baik itu ekonomi, budaya dan juga ide-ide atau gagasan-gagasan
berpikir. Sehingga memunculkan pembedaan nilai-nilai barat (Eropa) dan
nilai-nilai timur (Asia) . Penulisan sejarah (Historiografi) juga mendapat
pengaruh atas orientalisme tersebut, terutama dalam masalah interpretasi penerapan
nilai-nilai di dalamnya.
Jika
orientalisme adalah sebuah cara Barat menilai Timur, maka Asian Values adalah kebalikannya. Orientalis menganggap bahwa timur
adalah keterbelakangan dan Eropa lebih maju. Dan Pendapat Asia tentang Barat
adalah bahwa Barat itu sesuatu yang menakutkan seperti obat-obatan terlarang,
orangtua tunggal, AIDS dan juga inses. Saling bertentangan sekali pandangan
“mereka”.
Selanjutnya, nilai-nilai Asia muncul sebagai reaksi terhadap
dominasi nilai-nilai Barat. Thompson mengatakan bahwa nilai asia adalah kritik
atas westernization. Yang kemudian disebutnya
sebagai Zivilizationskritik, dan berfungsi
untuk membentuk sebuah cultural
particularism. Thompson juga menyebutkan bahwa ada dua bentuk nilai-nilai
asia, yaitu developmental and
post-developmental.[2]
Westernization
yang dimaksud oleh Thompson kemudian juga disebut oleh Harper sebagai sebuah
identitas tentang ke“modern”an. Modernisasi- modernisasi di Asia justru menyebabkan kehancuran lembaga dan cara hidup
tradisional yang sering menimbulkan disorganisasi, kekacauan, dan anomi.
Perilaku menyimpang dan kenakalan meningkat. Ketidakselarasan di sektor ekonomi
dan tidak sinkronnya perubahan di berbagai subsistem menyebabkan pemborosan dan
ketidakefisienan[3]. Maka dari itu nilai-nilai Asia menolak hal tersebut.
Walau
begitu, bagi sejarawan tidak selamanya hal tersebut harus ditolak. Sejarawan
melihat bahwa bagaimanapun ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan, seperti bentuk
baru cara memproduksi dan juga cara/metode perdagangan yang baru serta
modernitas itu sendiri sebagai sebuah ide. Ide-ide tersebut juga masuk ke dalam
penulisan sejarah. Interpretasi sejarah melalui Clifford Geerz, James Siegel,
Ben Anderson dan lainnya mulai berbeda dari consensus sejarah Barat.
Sebuah
konstruksi sejarah Asia Tenggara baru terbentuk dengan hadirnya
interpretasi-interpretasi dalam
teks-teks sejarah Asia Tenggara. Teks tersebut bergerak dari penulisan yang
bersangkutan dengan mitos ke penulisan sejarah yang baru tentang pengalaman
hidup manusia secara nyata. Penulisan sejarah yang tumbuh dari hasil penolakan
nilai barat, tidak sepenuhnya bisa lepas dari pengaruh nilai barat tersebut.
Hal ini terjadi karena dalam penulisan sejarah di Asia Tenggara masih
menggunakan sumber-sumber milik Barat.
Dari
perdebatan tetang nilai-nilai Asia dan Barat memunculkan penulisan sejarah
(Historigraphy) di Asia dan Asia tenggara yang berasal dari konstruksi colonial dan
penolakan terhadap sejarah colonial.
Perkembangan penulisan sejarah Asia Tenggara tidak lepas
dari pengaruh Barat, ketika tahun 1980
orang Barat menulis dengan pendekatan sejarah sastra maka di Indonesia juga memulai
penulisan sejarah yang sama melalui seorang novelis, yaitu Pramoedya Ananta
Toer. Selanjutnya , penulisan sejarah bukan semata-mata hanya proyek “elit”
tertentu, karena nilai-nilai Asia tersebut di Indonesia muncul sebuah biografi
dan penulisan sejarah baru yang kontekstual, kaya akan symbol, dengan inovasi
bahasa, dan berbagai macam representasi yang independen dan menyatu.
Nilai-nilai
asia yang bisa dilihat dalam tulisan ini adalah bagaimana jejak-jejak sejarah,
baik lisan maupun tulisan, audio maupun
visual dan narasi –narasi sejarah colonial maupun nasionali, yang ditulis oleh
orang asing mupun local dijadikan suatu tulisan yang berarah kepada jiwa
identitas budaya Asia itu sendiri dengan konteks kekinian dan interdesipliner.
Tidak salah kita bersumber pada arsip
colonial, yang penting kita bisa melihat pentingnya nilai kebudayaan dan
sejarah di Asia dan Asia tenggara sehingga muncullah identitas kawasan berupa
peradaban yang dibentuk oleh sejarah Asia itu sendiri. Dan nilai-nilai Asia
tetap muncul dan bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar