Nama :
Suriani
NIM :
12/338550/PSA/07236
Imperialisme,
Sejarah, Teori dan Penulisan
Istilah imperialisme adalah istilah
yang cenderung mengerikan bagi bangsa yang terjajah dan akan mengarah kepada
istilah lain yang juga sama mengerikannya, yaitu kolonialisme. Imperialisme
digunakan untuk mengartikan beberapa dimensi seperti, sebagai ekspansi ekonomi
yang mengarah pada penaklukan, eksploitasi, distribusi dan perampasan,
selanjutnya imperialisme sebagai penundukan Others,
selain itu MacKanzie mengatakan juga bahwa imperialisme sebagai ideology
kompleks yang memiliki ekspresi cultural dan intelektual. Imperialisme
memunculkan manusia modern, negara modern dan juga ilmu pengetahuan. Setidaknya
itulah imperialisme dalam pandangan Eropa, namun harus ada imperialisme lain
dalam pandangan bangsa timur sebagai bangsa yang terjajah sebagai pembandingnya.
Istilah imperialisme itu dijadikan sebagai satu bidang pengetahuan diskursif,
yang menunjuk pada wacana postcolonial dan melihat segala sesuatunya dari sisi
yang berlainan dari sisi yang digunakan oleh bangsa barat. Dan selanjutnya kajian
mengenai ketimuran (oriental) bermunculan, sebagai suara yang tersembunyi,
suara itu kini angkat bicara mengenai eksistensinya. “Timur” yang selama ini
hadir bukanlah seperti “timur” dalam konstruksi Barat. Muncul citra baru
tentang timur yang diciptakan oleh timur itu sendiri.
Ketimuran atau lokalitas, tidaklah sebagai natives/objek,
melainkan sebagai subjek. Mitos, dongeng, dan lain sebagainya yang menyimbolkan
ketimuran, tidak lagi berdiri menurut cara pandang barat dan kita yang
mengikutinya, yakni sebagai ketidaksadaran kolektif masyarakat, akan tetapi
memandangnya sebagai rasionalitas tersendiri yang gagal ditangkap oleh bangunan
grand narative barat. Dekonstruksi adalah sebuah langkah yang tepat dalam memberikan
alternatif perpektif dalam melihat “kesejarahan” sehingga melihat sejarah bukan
lagi sebagai masa lalu akan tetapi sebagai masa kini dan melahirkan sebuah
proyeksi kedepan.
Imperialisme dan kolonialisme adalah bagian yang
terintegral. Kolonialisme menjadi citra
imperialisme. Edward W. Said, dalam buku yang berjudul, Power and Culture : Interview with Edward W. Said, mengatakan bahwa
kolonialisme memproduksi pengetahuan dan kebudayaan. Namun itu tidak berarti
bahwa citra imperialisme itu menjadi baik karena mengahasilkan pengetahuan dan
kebudayaan seperti yang dikatakan Edward W. Said tersebut. Inilah yang menjadi pokok kajian dari diskursus
post kolonialis, dan selalu berhubungan dengan identitasnya.
Selanjutnya, mengambil dari konsep kuasa Foucoult, yang
menyatakan bahwa kuasa terdapat dimana-mana dan berada dalam segala bentuk
apapun. Maka kita sedikit melakukan renungan atas
penelitian dan penulisan sejarah bangsa terjajah. Penelitian dan penulisan
sejarah bangsa terjajah juga bisa mendapat pengaruh akan kuasa tersebut. Nicholas
B. Dirk dalam tulisannya Kolonialisme dan
Kebudayaan, mengatakan bahwa kita sekarang dapat berpikir bahkan percaya
bahwa kolonialisme adalah tempat berkisar sebuah kebudayaan. Artinya adalah
bahwa penelitian antar disiplin tentang sejarah dan masyarakat-masyarakat
colonial merupakan dasar landasan untuk kemajuan-kemajuan teoritis yang penting
dalam membangun suatu “antropologi historis yang kritis”.
Namun, dekolonisasi yang muncul untuk menuntut adanya
kebebasan dengan cara apapun, baik itu fisik, sosial, ekonomi, cultural maupun
psikologis menurut Fanon tidak tertata, sehingga tujuannya yang lain, untuk
mengubah tatanan dunia akan sulit untk dicapai.
Tulisan, sejarah, dan teori menjadi bagian penting untuk
melihat sejauh mana pencapaian dekolonisasi itu bisa dicapai oleh bangsa-bangsa
yang terjajah. Karena teori, sejarah dan tulisan adalah pencerminan superior
atas barat terhadap timur. Untuk menghilangkan superior tersebut, bangsa terjajah
harus mampu untuk mengeluarkan tulisan, sejarah dan teori dari framework bangsa
barat. Namun hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya
usaha tersebut sudah dilakukan oleh bangsa terjajah, dimulai dengan melontrakan
kritik terhadap cara sejarah bangsa terjajah diceritakan oleh bangsa penjajah.
Muncul keinginan bangsa terjajah untuk memperbaiki citra primitive atau tidak
baik mereka yang selama ini diciptakan oleh bangsa penjajah. Mereka ingin menulis
dan menceritakan nasib dan sejarah mereka sendiri.
Menulis dalam bahasa penjajah sama artinya dengan
mengagungkan mereka, sedangkan menulis bagi bangsa terjajah adalah perjuangan
anti imperialis. Menulis sejarah
hari ini adalah bagian dari luas perjuangan untuk otoritas kultural di
mana di dalamnya bersaing ideologi dan institusi yang berusaha untuk
membentuk representasi dari masa lalu.
Selain sejarah, teori yang digunakan untuk memahami realitas dan membuat asumsi
dan prediksi tempat tinggal kami “bangsa terjajah” juga menjadi bagian dalam
upaya pencapaian dekolonisasi metodologi dalam penulisan bangsa terjajah. Teori
memberikan ruang bagi bangsa terjajah untuk menrencanakan, menata strategi, dan
menguasai control lebih besar atas perlawanan yang bangsa terjajah.
Jika penelitian merupakan medan perjuangan bagi bangsa
terjajah untuk mewujudkan dekolonisasi, maka untuk pencapaian tujuan tersebut
bangsa terjajah harus bisa untuk menciptakan teori, penulisan dan sejarahnya
sendiri. Namun perjuangan itu tidak harus dimulai dari nol. Bangsa terjajah
masih bisa menggunakan yang baiknya dari bangsa penjajah. Karena tidak semua
yang dilakukan bangsa penjajah adalah tidak baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar