Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

TEKS, PIRING, DAN DUNIA KAJIAN ATAS TEKS YANG DITULIS DI TEMPAT–TEMPAT NON KONVENSIONAL


Adrian Perkasa
338934
          “hendak dulang diberi dulang
            dulang berisi sagu mentah
            hendak pulang ku beri pulang
            tinggalkan pantun barang sepatah”
Kutipan di atas jamak dikenal sebagai pantun. Pantun pada umumnya dikenal di dunia melayu sebagai salah satu karya sastra klasik. Masyarakat Melayu sendiri amat gemar menggunakan sajak ini dalam berbagai kesempatan. Misalnya ketika memberi nasihat, mengucapkan rasa terimakasih, berteka–teki bahkan mengungkapkan rasa sayang. Kegunaan pantun yang beragam ternyata menurut beberapa kalangan menyimpan misteri khususnya karena dalam pantun terdapat dua atau lebih baris(bergantung pada panjang pantun itu) yang berisi kata–kata dalam konteks terpisah dengan isi pantun. Larik kata–kata itu disebut sebagai sampiran(Djajadiningrat, 1988). Seperti pada contoh pantun di atas, jelas tidak ada hubungan logis antara dua larik sampiran dengan dua larik isinya. Terlepas dari perdebatan tentang misteri pantun, tulisan ini akan membahas sebuah artikel dari Henry Chambert–Loir yang membahas tentang teks berupa sajak melayu, termasuk banyak di dalamnya adalah pantun, yang berada di media yang tidak biasa atau non–konvensional yaitu piring. Kajian yang dilakukan oleh Chambert–Loir ini sangat menarik karena dari media penulisan non–konvensional dapat dibuat sebuah historiografi yang kompleks tentang kehidupan sosial masyarakat, kondisi ekonominya, dan perdagangan internasional yang telah demikian pesat di abad ke–19. Selain itu, dari kajian ini ditemukan juga fungsi lain dari pantun atau sajak melayu yaitu sebagai iklan perusahaan.
Chambert–Loir mengumpulkan data–data tentang piring bertuliskan sajak melayu dari berbagai tempat. Salah satu tempat dimana terdapat koleksi masif dari piring–piring semacam ini justru ditemukan di kompleks pekuburan keramat. Pekuburan keramat tersebut antara lain kompleks makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, kompleks makam Sunan Bonang di Tuban, dan makam Ki Gede Kebagusan di dekat Cirebon. Mengapa banyak piring ini ditemukan di kompleks makam keramat? Menurut Chambert–Loir karena kesakralan tulisan Arab. Pantun dan sajak Melayu di piring–piring ini memang ditulis menggunakan huruf Arab. Padahal apabila dicermati isi dari pantun dan sajak yang ada, mayoritas membahas tentang hal–hal yang bersifat profan. Alih–alih yang berisi tentang pembahasan masalah agama atau bertema religius hanya sedikit, dari kajian ini dari total keseluruhan piring hanya terdapat dua buah piring saja dengan tema religius. Dari sini kita dapat mempertanyakan ulasan yang disampaikan oleh Chambert–Loir bahwa keberadaan piring bersajak di kompleks makam keramat itu hanya karena bertuliskan huruf Arab belaka? Kemungkinan besar argumen Chambert–Loir ini didasarkan pada keterangan beberapa juru kunci makam tersebut. Akan tetapi hal ini masih bisa dijadikan kajian lanjutan apakah dengan alasan sesederhana itu piring tersebut ditempel begitu saja mengingat di kompleks makam Sunan Bonang misalnya pada abad ke–19 di samping makam utama, kompleks tersebut juga dimakamkan beberapa tokoh masyarakat keturunan Arab, Hadramaut, dan tokoh–tokoh pesantren di kawasan Tuban dan sekitarnya. Apakah dengan begitu mudah para keluarga dan para santri pesantren yang telah cukup memahami tulisan Arab menempelkan piring dengan teks yang bertema asmara?
Karena keterbatasan ruang, kita tinggalkan dulu masalah alasan keberadaan piring–piring di kompleks makam keramat. Dalam kajian Chambert–Loir selanjutnya dibahas tentang isi tulisan di atas piring dan dilacak jejak tentang produsen piring–piring ini. Selain berisikan tentang nasihat dan masalah asmara, ternyata terdapat beberapa piring yang berisi teks tentang iklan perusahaan yang menjual maupun yang membuat piring tersebut. Paling tidak terdapat beberapa nama seperti Adam, Tolson, Anderson Tolson, dan Anderson Hunt yang bisa jadi nama–nama itu merupakan agen dan produsennya. Selain itu, di piring–piring ini beberapa diantaranya juga terdapat merek. Ada 4 macam merek yang bisa diidentifikasi. Pertama, W.ADAMS AND SONS dan tulisan MALAY. Kedua tulisan MALAY saja. Ketiga, nama J.HAWLEY dan terakhir keempat merek itu dituliskan dalam sebuah pantun. Pantun itu menyebut tentang suatu daerah di Inggris yaitu kemungkinan besar Enville dan Stoke–upon–Trent di Inggris. Dari sumber yang tersedia ini, Chambert–Loir melacak jejak produsen dan para agen pengecer piring–piring ini. Pada kenyataannya, memang benar bahwa nama–nama seperti Wiiliam Adams and Sons serta Hawley merupakan perusahaan barang–barang keramik yang sangat terkenal pada abad ke–19 di daerah Staffordshire, Inggris. Produksi      pabrik itu juga banyak untuk diekspor ke India dan kawasan Asia lainnya. Data tentang produsen keramik dan nama–nama perusahaan yang terlibat dalam perdagangan keramik di Inggris telah dituliskan oleh para sejarawan Inggris menjadi sebauh historiografi yang berharga.
Melalui historiografi yang telah ditulis tentang keramik di Inggris itulah Chambert–Loir dengan relatif mudah dapat melacak dari mana keramik yang kita bahas berasal. Dari sinilah kemudian Chambert–Loir sampai pada kesimpulan bahwa semua piring dalam kajian ini berasal dari periode yang sama. Produsen piring yang bermerek W.ADAMS AND SONS atau nama MALAY berasal dari satu perusahaan yang beroperasi dari 1819–1864. Petunjuk lainnya antara lain periode pemugaran kompleks makam Sunan Bonang yaitu pada tahun 1866. Penempelan piring–piring ini di sana menurut Chambert–Loir dilakukan sesudah pemugaran selesai. Selain itu, keluarga Tolson sebagai pengecer piring pernah tercatat tinggal di Batavia sampai tahun 1876. Perusahaan lainnya seperti John Hawley dan Abraham Hunt  baik berperan sebagai produsen maupun agen pernah terlbiat aktif pada perdagangan keramik pada pertengahan abad ke–19. Dari uraian ini dapat dilihat bagaimana dari sumber yang non–konvensional, dalam hal ini piring, mampu membawa Chambert–Loir menuliskan sejarah tentang banyak hal. Dari segi sosial, bisa dikembangkan historiografi tentang sejarah keluarga seperti yang dilakukan para sejarawan di Inggris yang telah menulis tentang sejarah keluarga para produsen dan pedagang keramik. Kemudian sejarah tentang perekonomian pada abad ke–19. Dari penjelasan tentang asal–usul keramik ini dapat dibuat historiografi tentang perekonomian global yang telah pesat berkembang. Bagaimana tidak, sebuah perusahaan di Inggris telah banyak memproduksi barang untuk pasar dengan jumlah besar di dunia Melayu yang secara geografis terpisah ribuan kilometer. Perdagangan internasional memang telah berlangsung sejak ratusan tahun sebelumnya, namun untuk memenuhi kebutuhan pasar yang masif dan terpisah jarak harus terdapat variabel lain yang memungkinkannya berlangsung. Apalagi jika bukan revolusi industri dan disusul dengan dibuka terusan Suez yang membuat dunia semakin dipersempit dan memulai sebuah era globalisasi dengan bentuk yang berbeda dengan sebelumnya.
            Apa yang dilakukan Chambert–Loir dengan mengkaji piring ini memperlihatkan kepada kita bahwa banyak sekali sumber yang bisa kita pakai dalam membuat historiografi. Kita juga bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh Ludvik Kalus dan Claude Guillot yang mengkaji teks yang ada di meriam–meriam nusantara. Masih banyak sumber non–konvensional lainnya misalnya lonceng–lonceng di kawasan kraton nusantara, dan sebagainya yang menunggu digali untuk dijadikan historiografi.

Bacaan lainnya
Achadiati Ikram(ed.), Bunga Rampai Bahasa,Sastra, dan Budaya. Jakarta: Intermasa, 1988
Guillot, Claude dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: KPG dan EFEO dan Forum Jakarta Paris, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar