Adrian
Perkasa
338934
“hendak
dulang diberi dulang
dulang
berisi sagu mentah
hendak
pulang ku beri pulang
tinggalkan
pantun barang sepatah”
Kutipan di atas jamak dikenal sebagai
pantun. Pantun pada umumnya dikenal di dunia melayu sebagai salah satu karya
sastra klasik. Masyarakat Melayu sendiri amat gemar menggunakan sajak ini dalam
berbagai kesempatan. Misalnya ketika memberi nasihat, mengucapkan rasa
terimakasih, berteka–teki bahkan mengungkapkan rasa sayang. Kegunaan pantun
yang beragam ternyata menurut beberapa kalangan menyimpan misteri khususnya
karena dalam pantun terdapat dua atau lebih baris(bergantung pada panjang
pantun itu) yang berisi kata–kata dalam konteks terpisah dengan isi pantun.
Larik kata–kata itu disebut sebagai sampiran(Djajadiningrat, 1988). Seperti
pada contoh pantun di atas, jelas tidak ada hubungan logis antara dua larik sampiran
dengan dua larik isinya. Terlepas dari perdebatan tentang misteri pantun,
tulisan ini akan membahas sebuah artikel dari Henry Chambert–Loir yang membahas
tentang teks berupa sajak melayu, termasuk banyak di dalamnya adalah pantun,
yang berada di media yang tidak biasa atau non–konvensional yaitu piring.
Kajian yang dilakukan oleh Chambert–Loir ini sangat menarik karena dari media
penulisan non–konvensional dapat dibuat sebuah historiografi yang kompleks
tentang kehidupan sosial masyarakat, kondisi ekonominya, dan perdagangan
internasional yang telah demikian pesat di abad ke–19. Selain itu, dari kajian
ini ditemukan juga fungsi lain dari pantun atau sajak melayu yaitu sebagai
iklan perusahaan.
Chambert–Loir mengumpulkan data–data
tentang piring bertuliskan sajak melayu dari berbagai tempat. Salah satu tempat
dimana terdapat koleksi masif dari piring–piring semacam ini justru ditemukan
di kompleks pekuburan keramat. Pekuburan keramat tersebut antara lain kompleks
makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, kompleks makam Sunan Bonang di Tuban, dan
makam Ki Gede Kebagusan di dekat Cirebon. Mengapa banyak piring ini ditemukan
di kompleks makam keramat? Menurut Chambert–Loir karena kesakralan tulisan
Arab. Pantun dan sajak Melayu di piring–piring ini memang ditulis menggunakan
huruf Arab. Padahal apabila dicermati isi dari pantun dan sajak yang ada,
mayoritas membahas tentang hal–hal yang bersifat profan. Alih–alih yang berisi
tentang pembahasan masalah agama atau bertema religius hanya sedikit, dari
kajian ini dari total keseluruhan piring hanya terdapat dua buah piring saja
dengan tema religius. Dari sini kita dapat mempertanyakan ulasan yang
disampaikan oleh Chambert–Loir bahwa keberadaan piring bersajak di kompleks
makam keramat itu hanya karena bertuliskan huruf Arab belaka? Kemungkinan besar
argumen Chambert–Loir ini didasarkan pada keterangan beberapa juru kunci makam
tersebut. Akan tetapi hal ini masih bisa dijadikan kajian lanjutan apakah
dengan alasan sesederhana itu piring tersebut ditempel begitu saja mengingat di
kompleks makam Sunan Bonang misalnya pada abad ke–19 di samping makam utama,
kompleks tersebut juga dimakamkan beberapa tokoh masyarakat keturunan Arab,
Hadramaut, dan tokoh–tokoh pesantren di kawasan Tuban dan sekitarnya. Apakah
dengan begitu mudah para keluarga dan para santri pesantren yang telah cukup
memahami tulisan Arab menempelkan piring dengan teks yang bertema asmara?
Karena keterbatasan ruang, kita
tinggalkan dulu masalah alasan keberadaan piring–piring di kompleks makam
keramat. Dalam kajian Chambert–Loir selanjutnya dibahas tentang isi tulisan di
atas piring dan dilacak jejak tentang produsen piring–piring ini. Selain
berisikan tentang nasihat dan masalah asmara, ternyata terdapat beberapa piring
yang berisi teks tentang iklan perusahaan yang menjual maupun yang membuat
piring tersebut. Paling tidak terdapat beberapa nama seperti Adam, Tolson,
Anderson Tolson, dan Anderson Hunt yang bisa jadi nama–nama itu merupakan agen
dan produsennya. Selain itu, di piring–piring ini beberapa diantaranya juga
terdapat merek. Ada 4 macam merek yang bisa diidentifikasi. Pertama, W.ADAMS
AND SONS dan tulisan MALAY. Kedua tulisan MALAY saja. Ketiga, nama J.HAWLEY dan
terakhir keempat merek itu dituliskan dalam sebuah pantun. Pantun itu menyebut
tentang suatu daerah di Inggris yaitu kemungkinan besar Enville dan
Stoke–upon–Trent di Inggris. Dari sumber yang tersedia ini, Chambert–Loir
melacak jejak produsen dan para agen pengecer piring–piring ini. Pada
kenyataannya, memang benar bahwa nama–nama seperti Wiiliam Adams and Sons serta
Hawley merupakan perusahaan barang–barang keramik yang sangat terkenal pada
abad ke–19 di daerah Staffordshire, Inggris. Produksi pabrik itu juga banyak untuk diekspor ke
India dan kawasan Asia lainnya. Data tentang produsen keramik dan nama–nama
perusahaan yang terlibat dalam perdagangan keramik di Inggris telah dituliskan
oleh para sejarawan Inggris menjadi sebauh historiografi yang berharga.
Melalui historiografi yang telah ditulis
tentang keramik di Inggris itulah Chambert–Loir dengan relatif mudah dapat
melacak dari mana keramik yang kita bahas berasal. Dari sinilah kemudian
Chambert–Loir sampai pada kesimpulan bahwa semua piring dalam kajian ini
berasal dari periode yang sama. Produsen piring yang bermerek W.ADAMS AND SONS
atau nama MALAY berasal dari satu perusahaan yang beroperasi dari 1819–1864.
Petunjuk lainnya antara lain periode pemugaran kompleks makam Sunan Bonang
yaitu pada tahun 1866. Penempelan piring–piring ini di sana menurut
Chambert–Loir dilakukan sesudah pemugaran selesai. Selain itu, keluarga Tolson
sebagai pengecer piring pernah tercatat tinggal di Batavia sampai tahun 1876.
Perusahaan lainnya seperti John Hawley dan Abraham Hunt baik berperan sebagai produsen maupun agen
pernah terlbiat aktif pada perdagangan keramik pada pertengahan abad ke–19. Dari
uraian ini dapat dilihat bagaimana dari sumber yang non–konvensional, dalam hal
ini piring, mampu membawa Chambert–Loir menuliskan sejarah tentang banyak hal.
Dari segi sosial, bisa dikembangkan historiografi tentang sejarah keluarga
seperti yang dilakukan para sejarawan di Inggris yang telah menulis tentang
sejarah keluarga para produsen dan pedagang keramik. Kemudian sejarah tentang
perekonomian pada abad ke–19. Dari penjelasan tentang asal–usul keramik ini
dapat dibuat historiografi tentang perekonomian global yang telah pesat
berkembang. Bagaimana tidak, sebuah perusahaan di Inggris telah banyak
memproduksi barang untuk pasar dengan jumlah besar di dunia Melayu yang secara
geografis terpisah ribuan kilometer. Perdagangan internasional memang telah berlangsung
sejak ratusan tahun sebelumnya, namun untuk memenuhi kebutuhan pasar yang masif
dan terpisah jarak harus terdapat variabel lain yang memungkinkannya
berlangsung. Apalagi jika bukan revolusi industri dan disusul dengan dibuka
terusan Suez yang membuat dunia semakin dipersempit dan memulai sebuah era
globalisasi dengan bentuk yang berbeda dengan sebelumnya.
Apa
yang dilakukan Chambert–Loir dengan mengkaji piring ini memperlihatkan kepada
kita bahwa banyak sekali sumber yang bisa kita pakai dalam membuat
historiografi. Kita juga bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh Ludvik
Kalus dan Claude Guillot yang mengkaji teks yang ada di meriam–meriam
nusantara. Masih banyak sumber non–konvensional lainnya misalnya
lonceng–lonceng di kawasan kraton nusantara, dan sebagainya yang menunggu
digali untuk dijadikan historiografi.
Bacaan
lainnya
Achadiati
Ikram(ed.), Bunga Rampai Bahasa,Sastra, dan Budaya. Jakarta: Intermasa, 1988
Guillot,
Claude dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: KPG dan
EFEO dan Forum Jakarta Paris, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar