Adrian
Perkasa
338934
Penulisan sejarah nusantara dalam
pengertian modern selalu terkait dengan kedatangan bangsa kolonial khususnya
Belanda. Tentu saja pengaitan ini terjadi karena masuknya para sarjana ke
nusantara khususnya sejarawan. Dimulailah usaha untuk mencatat sejarah wilayah
nusantara dari periode ke periode melalui tangan–tangan para sejarawan Barat.
Usaha ini bukannya tanpa hambatan maupun masalah, seperti yang dijelaskan dalam
artikel W.PH.Coolhaas, yang diterjemahkan berjudul “Sekitar Sejarah Kolonial
dan Sejarah Indonesia, Sejarawan dan Pegawai Bahasa”. Masalah tersebut sangat
beragam, mulai dari keterbatasan para sejarawan Barat dalam memakai
historiografi yang telah ditulis oleh masyarakat pribumi sampai periodesasi
sejarah bangsa di wilayah nusantara yang sering tumpang tindih dengan sejarah
bangsa Belanda sendiri. Dalam review
ini, setelah mengulas apa yang dikemukakan oleh Coolhas, saya akan melakukan
tambahan analisis melalui perspektif poskolonial(postcolonial).
Munculnya penulisan sejarah nusantara
atau Indonesia yang lebih kritis terhadap sumber lokal dirintis oleh para
pegawai Belanda khususnya di bagian arsip maupun mereka yang memiliki kemampuan
pada bahasa–bahasa pribumi. Seperti yang dilakukan oleh J.de Jonge yang
merupakan pegawai arsip kerajaan. Karena bertanggung jawab atas arsip–arsip,
tentu saja lebih mudah bagi de Jonge menuliskan sejarah melalui sumber yang melimpah.
Berbeda dengan para pendahulunya seperti Valentijn maupun orang Inggris,
Raffles, de Jonge berusaha mengetengahkan sejarah kelompok–kelompok masyarakat.
Lain daripada para pendahulunya yang sering terjebak pada penulisan sejarah
otoritas dan organisasi politik yang berkuasa. Selain itu, Valentijn dan
Raffles juga tejebak pada romantisisme masa klasik khususnya di Jawa.
Perkembangan selanjutnya muncul sarjana
yang menurut Coolhas merupakan seorang sarjana menara gading, yaitu P.J.Veth.
Mengapa demikian? Karena Veth sendiri bisa dibilang lebih minim lagi pengalaman
berurusan dengan masyarakat yang ditulisnya daripada de Jonge. Keterbatasan ini
memang diakui sendiri oleh Veth, tetapi ia memiliki terobosan yang tidak dapat
diabaikan dalam perkembangan historiografi Indonesia karena dalam
penggambarannya terhadap sejarah Jawa tidak lagi melulu tentang sejarah para
penguasa asing melainkan sejarah orang pribumi yang dijajah. Bahkan langkah
yang ditempuh ini juga jauh tidak terbatas pada penguasaan bangsa Eropa saja,
tetapi juga penguasaan oleh bangsa Hindu atau India terhadap orang Jawa. Sadar
akan keterbatasan yang mencolok, Veth bergantung kepada H.Kern. Kern sendiri
memiliki kompetensi di dalam ilmu bahasa, ilmu kesusasteraan, dan ilmu
purbakala khususnya tentang Jawa. Argumen Veth tentang bangsa India yang datang
di Jawa sebagai penjajah mendapat tentangan dari Stutterheim. Menurut
Stutterheim pada awalnya bangsa India datang sebagai pedagang yang dianggapnya
telah “beradab”(tanda petik langsung dari artikel) di Jawa yang merupakan
daerah primitif. Karena menarik minat para penguasa lokal, akhirnya
didatangkanlah para brahmana dari India untuk menyebarkan ajarannya di Jawa dan
melegitimasi kekuasaan para penguasa lokal.
Pengaruh Stutterheim ini juga diikuti oleh
para ahli maupun para pegawai Belanda yang menguasai bahasa dan kebudayaan
lokal. Selain Kern yang telah disebut sebelumnya, terdapat A.B.Cohen Stuart,
J.L.A.Brandes, dan W.P.Groeneveldt. masing–masing memiliki keahlian dan bidang
kajiannya. Kern dan Cohen Stuart memilih spesialisasi pada bidang inskripsi dan
epigrafis. Brandes melakukan terobosan dengan melakukan kajian terhadap
historiografi tradisional seperti Pararaton dan Nagarakretagama. Sedangkan
sebagai sinolog, W.P. Groeneveldt melakukan penelitian atas berita–berita atau
laporan yang berasal dari Cina tentang kepulauan di nusantara. Kajian Brandes
terhadap historiografi tradisional boleh dibilang sangat impresif dan berbeda
dengan para pendahulunya. Terbukti dengan dilanjutkannya kajian ini oleh
C.C.Berg dan hasil karya Brandes masih dipakai sebagai rujukan hingga 50 tahun
sesudah karya tersebut ditulis. Sebelum saya melanjutkan, ada kritik besar
terhadap Groeneveldt yang seorang sinolog. Pada terjemahan dari catatan Ma Huan
ketika melakukan kunjungan ke Jawa. Menurut Ma Huan terdapat tiga kelompok
sosial dalam masyarakat Majapahit. Entah mengapa ketika melakukan transliterasi
dan terjemahan dari aksara Cina ke latin kelompok(回回)ini
disebut sebagai kelompok Arab. Padahal seharusnya transliterasinya adal Huihui,
sedangkan Arab adalah Ta-Shih atau aksara Cina-nya adalah seperti ini (大食).
Terdapat hal yang menarik dalam sejarah
historiografi nusantara di masa kolonial. Ada usaha untuk menulis sejarah
dengan populer alias untuk khalayak luas tidak terbatas di kalangan sarjana
maupun pejabat pemerintah yang ahli bahasa. Usaha ini dilakukan oleh seorang
wanita Belanda yaitu Mevrouw Fruin–Mess. Nyonya ini menulis tentang Sejarah
Jawa. Walaupun populer sifat keilmiahan dari karya ini tetap terjaga. Tak berselang
lama muncul magnum–opus dari sejarawan N.J.Krom yang dianggap dapat
meminggirkan karya Fruin–Mess yaitu Sejarah Hindu–Jawa. Akan tetapi,
kenyataannya buku Sejarah Jawa–nya Fruin–Mess tetap mendapat apresiasi dari
banyak pihak. Karena buku Krom memiliki pasar yang berbeda yaitu para sarjana
dan akademisi. Sedangkan buku Fruin–Mess ini lebih diterima publik luas, bahkan
Coolhas menyebutnya sebagai buku rakyat yang sebenarnya. Sekali lagi walaupun
buku tersebut diperuntukkan untuk khalayak luas, kadar keilmiahan karya
Fruin–Mess tetap terjaga. Terbukti ketika ia hendak membuat jilid keduanya, ia
menemui kesulitan dalam mengumpulkan sumber khususnya pada masa sebelum
kerajaan Mataram didirikan sehingga ia menghentikan penulisannya. Walaupun
bahan–bahan dari Belanda tak kurang banyaknya, Fruin–Mess tetap tidak
melanjutkan karyanya karena ia tidak ingin membuat sejarah tentang orang
Belanda di Jawa, yang ingin ia tulis adalah sejarah tentang Jawa. Selain itu
juga muncul sarjana pribumi pertama yang memperoleh gelar di bidang ini yaitu
Hoesein Djajadiningrat yang mengkritisi historiografi tradisional yakni Sajarah
Banten. Ternyata para pribumi lainnya sangat sedikit yang mengikuti jejaknya,
diantara yang sedikit itu muncul Poerbatjaraka sebagai ahli bahasa.
Sebenarnya masih banyak yang bisa
dibahas dari artikel Coolhas ini, namun mengingat keterbatasan ruang, kita
mulai untuk menganalisisnya dari kacamata poskolonial. Tulisan Coolhas ini
sebenarnya telah memperlihatkan bahwa sepanjang perjalanan sejarah historiografi
Indonesia di masa kolonial terdapat usaha untuk menjadikan masyarakat pribumi
sebagai subjek, tidak melulu sebagai objek. Apalagi di akhir artikel Coolhas
melihat bahwa tidak mungkin apabila suatu sumber yang sama misalnya arsip hanya
secara parsial digunakan untuk kepentingan pihak Belanda ataupun Indonesia
belaka dalam menuliskan sejarahnya. Bahkan menyitir Hatta, ia juga mengingatkan
kepada orang–orang Belanda agar melihat sejarah Belanda tidak hanya secara
geografis di Eropa saja tetapi juga jejak dan warisannya di berbagai belahan
dunia. Di titik ini, apa yang dikemukakan oleh Homi Bhabha, salah satu
teoritisi poskolonial menjadi relevan. Tidak mungkin adanya representasi
pribumi yang benar–benar murni dalam historiografi. Menurut Bhabha tidak
mungkin ada akses langsung menuju apa yang benar–benar murni di masa pra
kolonial. Bukan perkara lagi perjumpaan antara pengkoloni dengan yang dikoloni
sebagai sesuatu yang setara. Identitas pribumi tetap harus dimediasi melalui
sistem representasi kolonial. Kembali lagi pada kalimat awal tulisan ini,
karena adalah keniscayaan bahwa yang pertama kali membentuk identitas
kepribumian kita adalah bangsa kolonial.
Bacaan
tambahan:
Kapoor,
Ilan, The Postcolonial Politics of
Development. Oxon: Routledge, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar