Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

HISTORIOGRAFI UNTUK SIAPA; KEPENTINGAN KOLONIAL ATAU PRIBUMI?


Adrian Perkasa
338934
Penulisan sejarah nusantara dalam pengertian modern selalu terkait dengan kedatangan bangsa kolonial khususnya Belanda. Tentu saja pengaitan ini terjadi karena masuknya para sarjana ke nusantara khususnya sejarawan. Dimulailah usaha untuk mencatat sejarah wilayah nusantara dari periode ke periode melalui tangan–tangan para sejarawan Barat. Usaha ini bukannya tanpa hambatan maupun masalah, seperti yang dijelaskan dalam artikel W.PH.Coolhaas, yang diterjemahkan berjudul “Sekitar Sejarah Kolonial dan Sejarah Indonesia, Sejarawan dan Pegawai Bahasa”. Masalah tersebut sangat beragam, mulai dari keterbatasan para sejarawan Barat dalam memakai historiografi yang telah ditulis oleh masyarakat pribumi sampai periodesasi sejarah bangsa di wilayah nusantara yang sering tumpang tindih dengan sejarah bangsa Belanda sendiri. Dalam review ini, setelah mengulas apa yang dikemukakan oleh Coolhas, saya akan melakukan tambahan analisis melalui perspektif poskolonial(postcolonial).
Munculnya penulisan sejarah nusantara atau Indonesia yang lebih kritis terhadap sumber lokal dirintis oleh para pegawai Belanda khususnya di bagian arsip maupun mereka yang memiliki kemampuan pada bahasa–bahasa pribumi. Seperti yang dilakukan oleh J.de Jonge yang merupakan pegawai arsip kerajaan. Karena bertanggung jawab atas arsip–arsip, tentu saja lebih mudah bagi de Jonge menuliskan sejarah melalui sumber yang melimpah. Berbeda dengan para pendahulunya seperti Valentijn maupun orang Inggris, Raffles, de Jonge berusaha mengetengahkan sejarah kelompok–kelompok masyarakat. Lain daripada para pendahulunya yang sering terjebak pada penulisan sejarah otoritas dan organisasi politik yang berkuasa. Selain itu, Valentijn dan Raffles juga tejebak pada romantisisme masa klasik khususnya di Jawa.
Perkembangan selanjutnya muncul sarjana yang menurut Coolhas merupakan seorang sarjana menara gading, yaitu P.J.Veth. Mengapa demikian? Karena Veth sendiri bisa dibilang lebih minim lagi pengalaman berurusan dengan masyarakat yang ditulisnya daripada de Jonge. Keterbatasan ini memang diakui sendiri oleh Veth, tetapi ia memiliki terobosan yang tidak dapat diabaikan dalam perkembangan historiografi Indonesia karena dalam penggambarannya terhadap sejarah Jawa tidak lagi melulu tentang sejarah para penguasa asing melainkan sejarah orang pribumi yang dijajah. Bahkan langkah yang ditempuh ini juga jauh tidak terbatas pada penguasaan bangsa Eropa saja, tetapi juga penguasaan oleh bangsa Hindu atau India terhadap orang Jawa. Sadar akan keterbatasan yang mencolok, Veth bergantung kepada H.Kern. Kern sendiri memiliki kompetensi di dalam ilmu bahasa, ilmu kesusasteraan, dan ilmu purbakala khususnya tentang Jawa. Argumen Veth tentang bangsa India yang datang di Jawa sebagai penjajah mendapat tentangan dari Stutterheim. Menurut Stutterheim pada awalnya bangsa India datang sebagai pedagang yang dianggapnya telah “beradab”(tanda petik langsung dari artikel) di Jawa yang merupakan daerah primitif. Karena menarik minat para penguasa lokal, akhirnya didatangkanlah para brahmana dari India untuk menyebarkan ajarannya di Jawa dan melegitimasi kekuasaan para penguasa lokal.
Pengaruh Stutterheim ini juga diikuti oleh para ahli maupun para pegawai Belanda yang menguasai bahasa dan kebudayaan lokal. Selain Kern yang telah disebut sebelumnya, terdapat A.B.Cohen Stuart, J.L.A.Brandes, dan W.P.Groeneveldt. masing–masing memiliki keahlian dan bidang kajiannya. Kern dan Cohen Stuart memilih spesialisasi pada bidang inskripsi dan epigrafis. Brandes melakukan terobosan dengan melakukan kajian terhadap historiografi tradisional seperti Pararaton dan Nagarakretagama. Sedangkan sebagai sinolog, W.P. Groeneveldt melakukan penelitian atas berita–berita atau laporan yang berasal dari Cina tentang kepulauan di nusantara. Kajian Brandes terhadap historiografi tradisional boleh dibilang sangat impresif dan berbeda dengan para pendahulunya. Terbukti dengan dilanjutkannya kajian ini oleh C.C.Berg dan hasil karya Brandes masih dipakai sebagai rujukan hingga 50 tahun sesudah karya tersebut ditulis. Sebelum saya melanjutkan, ada kritik besar terhadap Groeneveldt yang seorang sinolog. Pada terjemahan dari catatan Ma Huan ketika melakukan kunjungan ke Jawa. Menurut Ma Huan terdapat tiga kelompok sosial dalam masyarakat Majapahit. Entah mengapa ketika melakukan transliterasi dan terjemahan dari aksara Cina ke latin kelompok(回回)ini disebut sebagai kelompok Arab. Padahal seharusnya transliterasinya adal Huihui, sedangkan Arab adalah Ta-Shih atau aksara Cina-nya adalah seperti ini (大食).
Terdapat hal yang menarik dalam sejarah historiografi nusantara di masa kolonial. Ada usaha untuk menulis sejarah dengan populer alias untuk khalayak luas tidak terbatas di kalangan sarjana maupun pejabat pemerintah yang ahli bahasa. Usaha ini dilakukan oleh seorang wanita Belanda yaitu Mevrouw Fruin–Mess. Nyonya ini menulis tentang Sejarah Jawa. Walaupun populer sifat keilmiahan dari karya ini tetap terjaga. Tak berselang lama muncul magnum–opus dari sejarawan N.J.Krom yang dianggap dapat meminggirkan karya Fruin–Mess yaitu Sejarah Hindu–Jawa. Akan tetapi, kenyataannya buku Sejarah Jawa–nya Fruin–Mess tetap mendapat apresiasi dari banyak pihak. Karena buku Krom memiliki pasar yang berbeda yaitu para sarjana dan akademisi. Sedangkan buku Fruin–Mess ini lebih diterima publik luas, bahkan Coolhas menyebutnya sebagai buku rakyat yang sebenarnya. Sekali lagi walaupun buku tersebut diperuntukkan untuk khalayak luas, kadar keilmiahan karya Fruin–Mess tetap terjaga. Terbukti ketika ia hendak membuat jilid keduanya, ia menemui kesulitan dalam mengumpulkan sumber khususnya pada masa sebelum kerajaan Mataram didirikan sehingga ia menghentikan penulisannya. Walaupun bahan–bahan dari Belanda tak kurang banyaknya, Fruin–Mess tetap tidak melanjutkan karyanya karena ia tidak ingin membuat sejarah tentang orang Belanda di Jawa, yang ingin ia tulis adalah sejarah tentang Jawa. Selain itu juga muncul sarjana pribumi pertama yang memperoleh gelar di bidang ini yaitu Hoesein Djajadiningrat yang mengkritisi historiografi tradisional yakni Sajarah Banten. Ternyata para pribumi lainnya sangat sedikit yang mengikuti jejaknya, diantara yang sedikit itu muncul Poerbatjaraka sebagai ahli bahasa.
Sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas dari artikel Coolhas ini, namun mengingat keterbatasan ruang, kita mulai untuk menganalisisnya dari kacamata poskolonial. Tulisan Coolhas ini sebenarnya telah memperlihatkan bahwa sepanjang perjalanan sejarah historiografi Indonesia di masa kolonial terdapat usaha untuk menjadikan masyarakat pribumi sebagai subjek, tidak melulu sebagai objek. Apalagi di akhir artikel Coolhas melihat bahwa tidak mungkin apabila suatu sumber yang sama misalnya arsip hanya secara parsial digunakan untuk kepentingan pihak Belanda ataupun Indonesia belaka dalam menuliskan sejarahnya. Bahkan menyitir Hatta, ia juga mengingatkan kepada orang–orang Belanda agar melihat sejarah Belanda tidak hanya secara geografis di Eropa saja tetapi juga jejak dan warisannya di berbagai belahan dunia. Di titik ini, apa yang dikemukakan oleh Homi Bhabha, salah satu teoritisi poskolonial menjadi relevan. Tidak mungkin adanya representasi pribumi yang benar–benar murni dalam historiografi. Menurut Bhabha tidak mungkin ada akses langsung menuju apa yang benar–benar murni di masa pra kolonial. Bukan perkara lagi perjumpaan antara pengkoloni dengan yang dikoloni sebagai sesuatu yang setara. Identitas pribumi tetap harus dimediasi melalui sistem representasi kolonial. Kembali lagi pada kalimat awal tulisan ini, karena adalah keniscayaan bahwa yang pertama kali membentuk identitas kepribumian kita adalah bangsa kolonial.
  
Bacaan tambahan:
Kapoor, Ilan, The Postcolonial Politics of Development. Oxon: Routledge, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar