Adrian
Perkasa
338934
Historiografi tradisional bagi beberapa
sejarawan sering dianggap tidak kredibel. Hal tersebut terjadi salah satunya
karena di dalam historiografi tradisional begitu banyaknya mitos, dongeng yang
tak masuk akal, hingga cerita–cerita ajaib. Dengan beragamnya fiksi di
dalamnya, sangat sulit untuk menemukan dimanakah fakta sejarah yang
sesungguhnya. Contoh dari pandangan sejarawan seperti ini dapat dijumpai
misalnya dalam tulisan C.C.Berg. Penelitian Berg terhadap historiografi
tradisional Jawa seperti Babad Tanah Jawi(BTJ), Kidung Sunda, dan lainnya
menghasilkan suatu keraguan terhadap sumber tersebut memuat fakta tentang masa
lalu. Dalam satu kesimpulan, Berg menjelaskan bahwa penulis historiografi
tradisional, dalm hal ini BTJ, tidaklah bermaksud untuk menggambarkan peristiwa
masa lalu, melainkan sebuah bagian dari penggunaan “sastra magis” atau kekuatan
magis di bidang sastra. Dari asumsi itu, penggunaan historiografi tradisional
menjadi tidak mungkin dan kajian sejarah terhadapnya jelas menghadapi jalan
buntu. Namun benarkah demikian? Artikel yang ditulis oleh Anthony H.Johns mencoba
menawarkan sebuah alternatif terhadap kajian historiografi tradisional Jawa.
Pada awal artikelnya, Johns menjelaskan
tentang kesulitan bagi sejarawan atau mereka yang akan mengkaji masa lalu
berdasarkan tulisan atau historiografi tradisional Jawa dan Melayu. Kesulitan
dalam mencari fakta masa lalu itu ada dalam hampir di seluruh bagian tulisan
khususnya pada bagian pengantar. Johns memberikan contoh dari historiografi
tradisional Melayu dimana menceritakan tentang kronik dari dinasti penguasa
kerajaan Malaka. Gambaran genealogis nenek moyang para raja dimulai dari raja
Alexander yang Agung dari Makedonia yang meluaskan wilayahnya hingga ke India.
Kemudian dilanjutkan dengan anak keturunannya yang melakukan perkawinan dengan
putra–putri para penguasa lokal di kawasan Melayu dan Sumatera. Perkawinan
antar keturunan para penguasa itu membuat jaringan kekeluargaan yang kompleks
hingga mengaitkannya dengan para hegemon besar seperti Majapahit bahkan Cina.
Bagian pengantar atau pendahuluan seperti inilah yang umumnya muncul baik itu
dalam historiografi tradisional Melayu dan Jawa.
Johns mengetengahkan Pararaton dan BTJ
sebagai contoh dari historiografi tradisional Jawa yang dibahas lebih lanjut.
Seperti di awal telah dikemukakan, bahwa beberapa sarjana khususnya sarjana
Eropa menganggap bahwa bagian awal atau pengantar dalam Pararaton dan BTJ
sebagai cerita dongeng yang tidak berharga. Dari sini memunculkan
pertanyaan–pertanyaan lanjutan seperti tidak adakah petunjuk bagi kita
menemukan beberapa fakta yang sering kali kita abaikan begitu saja? Apakah dari
historiografi tersebut kita bisa mendapatkan pemahaman tentang sifat dan fungsi
dari otoritas dimana karya tersebut ditulis? Dan pertanyaan lainnya. Secara
eksplisit, Johns menyebutkan bahwa artikel yang ditulisnya merupakan sebuah
usaha untuk melihat faktor–faktor kultural dimana dapat menjelaskan dan
menginformasikan struktur yang ada melalui pengkajian yang lebih rinci dari
Pararaton dan BTJ.
Penjelasan Johns tentang Pararaton
menitik beratkan pada riwayat dari Ken Angrok sebagai pendiri dari Dinasti
Rajasa penguasa Singasari dan Majapahit. Karena penekanan pada pendahuluan dari
Pararaton, periode temporal yang menjadi perhatian Johns adalah masa sebelum
tahun 1222 dimana Ken Angrok naik tahta sebagai raja Singasari. Johns juga
sepakat seperti para sejarawan lainnya bahwa kisah perjalanan Ken Angrok mulai
sebelum lahir hingga naik tahtanya, tidak dapat diterima sebagai fakta sejarah.
Kisah Ken Angrok yang merupakan reinkarnasi dari Wisnu, lahirnya dari Brahma,
besar sebagai penjahat, diangkat anak oleh beragam kalangan sampai pengakuan
atas dirinya sebagai titisan Batara Guru bahkan juga Budha memang lebih mirip
dengan dongeng. Tetapi ketika pengangkatan Ken Angrok sebagai raja merupakan
fakta sejarah. Peristiwa itu juga dapat dibuktikan melalui sumber–sumber lain seperti
beberapa prasasti(misal Prasasti Mula Malurung,penulis) dan sumber–sumber dari
Cina. Mengapa penulis dari Pararaton bisa dengan mudah menulis antara yang
fakta dengan fiksi secara bersamaan? Menurut Johns, hal itu bisa dilakukan
karena di dalam benak si penulis tidak sanggup untuk memisahkan antara fakta
dan fiksi. Narasi tentang masa muda Ken Angrok sebelum menjadi raja memang tidak
memberikan sumber bagi penulisan sejarah di periode itu, akan tetapi paling
tidak dari penceritaan Pararaton sangat mungkin menggambarkan tentang sebuah
interpretasi yang sahih tentang pemahaman Jawa akan fungsi dan sifat dari
martabat seorang raja.
Terdapat dua hal utama yang harus
dimiliki raja seperti yang ditulis dalam Pararaton yakni fungsi raja sebagai
kesatuan antara makrokosmos dengan mikrokosmos dan memiliki sifat kedewataan di
dalam dirinya. Kedua hal utama inilah yang dimiliki oleh Ken Angrok sehingga
layak menjadi seorang raja. Jadi, bagian pengantar dari Pararaton tidak lagi
hanya sekedar cerita dongeng. Bagian itu memuat tentang teori–teori Jawa
tentang kepemimipinan khususnya tentang martabat seorang raja bahkan juga
merupakan dokumentasi yang paling jelas tentang peranan raja dalam konsepsi
Jawa. Bagaimana dengan BTJ? Johns menyatakan bahwa bagian pengantar dari BTJ
lebih kompleks daripada Pararaton. Bagian pembukaan BTJ memiliki kesamaan
dengan Sejarah Melayu yaitu berisi tentang genealogis nenek moyang raja
khususnya para penguasa kerajaan Mataram yaitu Panembahan Senapati(PS) dan
Sultan Agung. Genealogis yang ditulis dalam BTJ bersifat sinkretis karena di
satu sisi memadukan antara dewa–dewa Hindu yang kemudian melalui perkawinan
keturunannya terhubung dengan nabi–nabi Muslim seperti Adam sampai bermuara
kepada raja–raja Mataram.
Dalam BTJ menurut Johns, terdapat banyak
unsur–unsur sinkretik dengan beragam budaya khususnya budaya lokal Jawa yang
diindikasikan telah ada sejak masa sebelum masuknya Hindu Budha. Kebangkitan
budaya ini sudah terlihat sejak masa Majapahit dan menguat pada saat masuknya
Islam. Contohnya dalam penulisan Babad yang meninggalkan pola metrum
Sanskrit(contoh Kakawin, penulis). Bahkan genealogis dan kisah perjalanan PS
hingga menjadi raja kerajaan Mataram diliputi sinkretisme semacam itu. Hal itu
misalnya tampak dari kepercayaan rakyat terhadap kekuatan supranatural seperti
Nyi Loro Kidul, adanya wahyu yang berpindah, sampai pengaitan garis keturunan
sebagai pewaris dari Majapahit. Dari perbandingan terhadap Pararaton dan BTJ
itu, Johns mengambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa perubahan dan
keberlanjutan dari masyarakat Jawa. Kedua sumber itu juga menggambarkan cara
kerja dari para pujangga Jawa yang eklektis dalam penyusunan karyanya. Selain
itu, terdapat kesamaan gagasan tentang konsep dewa–raja dan fungsi makro dan
mikrokosmisnya. Perbedaan utamanya adalah pada perjalanan dan cara–cara tokoh
utama(Pararaton:Ken Angrok; BTJ:PS) hingga mencapai martabat seorang raja
sesuai dengan konsepsi Jawa pada masanya masing–masing. Selain itu, juga peran
dari mitos dan simbol lebih menonjol di BTJ dibandingkan Pararaton. Dari titik
inilah kemudian Johns secara implisit menyatakan bahwa ada alternatif
perspektif baru dalam mengkaji historiografi tradisional Jawa. Tetapi pada
akhir artikelnya terdapat pertanyaan apakah kajian ini akan kembali menemui
jalan buntu karena melihat semakin banyaknya mitos yang dipakai pada
perkembangan historiografi tradisional Jawa seperti BTJ dibanding sebelumnya.
Mengingat keterbatasan ruang, sedikit
yang bisa kami tambahkan yakni sedikit kritik khususnya tentang penggunaan
diksi tertentu oleh Johns yang cenderung melihat perubahan dalam masyarakat
Jawa mengalami kemunduran. Contohnya menyatakan bahwa budaya lokal lebih rendah
dibandingkan budaya Hindu Budha. Terlepas itu semua artikel Johns ini membuka
kemungkinan penggunaan historiografi tradisional sebagai sumber sejarah yang
melimpah.
Bahan
Bacaan Penunjang
Berg,
C.C, “Kidung Sunda Inleiding, Tekst, Vertaling en Aanteekeningen” dalam BKI 83, 1927
–
– – –, Penulisan Sejarah Jawa.
Jakarta: Bhratara, 1985
Margana
S., Pujangga Jawa Dan Bayang–Bayang
Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar