Halaman

Kamis, 10 Januari 2013

KAJIAN TERHADAP HISTORIOGRAFI TRADISIONAL JAWA: JALAN BUNTU ATAU PERSPEKTIF BARU?


Adrian Perkasa
338934
Historiografi tradisional bagi beberapa sejarawan sering dianggap tidak kredibel. Hal tersebut terjadi salah satunya karena di dalam historiografi tradisional begitu banyaknya mitos, dongeng yang tak masuk akal, hingga cerita–cerita ajaib. Dengan beragamnya fiksi di dalamnya, sangat sulit untuk menemukan dimanakah fakta sejarah yang sesungguhnya. Contoh dari pandangan sejarawan seperti ini dapat dijumpai misalnya dalam tulisan C.C.Berg. Penelitian Berg terhadap historiografi tradisional Jawa seperti Babad Tanah Jawi(BTJ), Kidung Sunda, dan lainnya menghasilkan suatu keraguan terhadap sumber tersebut memuat fakta tentang masa lalu. Dalam satu kesimpulan, Berg menjelaskan bahwa penulis historiografi tradisional, dalm hal ini BTJ, tidaklah bermaksud untuk menggambarkan peristiwa masa lalu, melainkan sebuah bagian dari penggunaan “sastra magis” atau kekuatan magis di bidang sastra. Dari asumsi itu, penggunaan historiografi tradisional menjadi tidak mungkin dan kajian sejarah terhadapnya jelas menghadapi jalan buntu. Namun benarkah demikian? Artikel yang ditulis oleh Anthony H.Johns mencoba menawarkan sebuah alternatif terhadap kajian historiografi tradisional Jawa.
Pada awal artikelnya, Johns menjelaskan tentang kesulitan bagi sejarawan atau mereka yang akan mengkaji masa lalu berdasarkan tulisan atau historiografi tradisional Jawa dan Melayu. Kesulitan dalam mencari fakta masa lalu itu ada dalam hampir di seluruh bagian tulisan khususnya pada bagian pengantar. Johns memberikan contoh dari historiografi tradisional Melayu dimana menceritakan tentang kronik dari dinasti penguasa kerajaan Malaka. Gambaran genealogis nenek moyang para raja dimulai dari raja Alexander yang Agung dari Makedonia yang meluaskan wilayahnya hingga ke India. Kemudian dilanjutkan dengan anak keturunannya yang melakukan perkawinan dengan putra–putri para penguasa lokal di kawasan Melayu dan Sumatera. Perkawinan antar keturunan para penguasa itu membuat jaringan kekeluargaan yang kompleks hingga mengaitkannya dengan para hegemon besar seperti Majapahit bahkan Cina. Bagian pengantar atau pendahuluan seperti inilah yang umumnya muncul baik itu dalam historiografi tradisional Melayu dan Jawa.
Johns mengetengahkan Pararaton dan BTJ sebagai contoh dari historiografi tradisional Jawa yang dibahas lebih lanjut. Seperti di awal telah dikemukakan, bahwa beberapa sarjana khususnya sarjana Eropa menganggap bahwa bagian awal atau pengantar dalam Pararaton dan BTJ sebagai cerita dongeng yang tidak berharga. Dari sini memunculkan pertanyaan–pertanyaan lanjutan seperti tidak adakah petunjuk bagi kita menemukan beberapa fakta yang sering kali kita abaikan begitu saja? Apakah dari historiografi tersebut kita bisa mendapatkan pemahaman tentang sifat dan fungsi dari otoritas dimana karya tersebut ditulis? Dan pertanyaan lainnya. Secara eksplisit, Johns menyebutkan bahwa artikel yang ditulisnya merupakan sebuah usaha untuk melihat faktor–faktor kultural dimana dapat menjelaskan dan menginformasikan struktur yang ada melalui pengkajian yang lebih rinci dari Pararaton dan BTJ.   
Penjelasan Johns tentang Pararaton menitik beratkan pada riwayat dari Ken Angrok sebagai pendiri dari Dinasti Rajasa penguasa Singasari dan Majapahit. Karena penekanan pada pendahuluan dari Pararaton, periode temporal yang menjadi perhatian Johns adalah masa sebelum tahun 1222 dimana Ken Angrok naik tahta sebagai raja Singasari. Johns juga sepakat seperti para sejarawan lainnya bahwa kisah perjalanan Ken Angrok mulai sebelum lahir hingga naik tahtanya, tidak dapat diterima sebagai fakta sejarah. Kisah Ken Angrok yang merupakan reinkarnasi dari Wisnu, lahirnya dari Brahma, besar sebagai penjahat, diangkat anak oleh beragam kalangan sampai pengakuan atas dirinya sebagai titisan Batara Guru bahkan juga Budha memang lebih mirip dengan dongeng. Tetapi ketika pengangkatan Ken Angrok sebagai raja merupakan fakta sejarah. Peristiwa itu juga dapat dibuktikan melalui sumber–sumber lain seperti beberapa prasasti(misal Prasasti Mula Malurung,penulis) dan sumber–sumber dari Cina. Mengapa penulis dari Pararaton bisa dengan mudah menulis antara yang fakta dengan fiksi secara bersamaan? Menurut Johns, hal itu bisa dilakukan karena di dalam benak si penulis tidak sanggup untuk memisahkan antara fakta dan fiksi. Narasi tentang masa muda Ken Angrok sebelum menjadi raja memang tidak memberikan sumber bagi penulisan sejarah di periode itu, akan tetapi paling tidak dari penceritaan Pararaton sangat mungkin menggambarkan tentang sebuah interpretasi yang sahih tentang pemahaman Jawa akan fungsi dan sifat dari martabat seorang raja.
Terdapat dua hal utama yang harus dimiliki raja seperti yang ditulis dalam Pararaton yakni fungsi raja sebagai kesatuan antara makrokosmos dengan mikrokosmos dan memiliki sifat kedewataan di dalam dirinya. Kedua hal utama inilah yang dimiliki oleh Ken Angrok sehingga layak menjadi seorang raja. Jadi, bagian pengantar dari Pararaton tidak lagi hanya sekedar cerita dongeng. Bagian itu memuat tentang teori–teori Jawa tentang kepemimipinan khususnya tentang martabat seorang raja bahkan juga merupakan dokumentasi yang paling jelas tentang peranan raja dalam konsepsi Jawa. Bagaimana dengan BTJ? Johns menyatakan bahwa bagian pengantar dari BTJ lebih kompleks daripada Pararaton. Bagian pembukaan BTJ memiliki kesamaan dengan Sejarah Melayu yaitu berisi tentang genealogis nenek moyang raja khususnya para penguasa kerajaan Mataram yaitu Panembahan Senapati(PS) dan Sultan Agung. Genealogis yang ditulis dalam BTJ bersifat sinkretis karena di satu sisi memadukan antara dewa–dewa Hindu yang kemudian melalui perkawinan keturunannya terhubung dengan nabi–nabi Muslim seperti Adam sampai bermuara kepada raja–raja Mataram.
Dalam BTJ menurut Johns, terdapat banyak unsur–unsur sinkretik dengan beragam budaya khususnya budaya lokal Jawa yang diindikasikan telah ada sejak masa sebelum masuknya Hindu Budha. Kebangkitan budaya ini sudah terlihat sejak masa Majapahit dan menguat pada saat masuknya Islam. Contohnya dalam penulisan Babad yang meninggalkan pola metrum Sanskrit(contoh Kakawin, penulis). Bahkan genealogis dan kisah perjalanan PS hingga menjadi raja kerajaan Mataram diliputi sinkretisme semacam itu. Hal itu misalnya tampak dari kepercayaan rakyat terhadap kekuatan supranatural seperti Nyi Loro Kidul, adanya wahyu yang berpindah, sampai pengaitan garis keturunan sebagai pewaris dari Majapahit. Dari perbandingan terhadap Pararaton dan BTJ itu, Johns mengambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa perubahan dan keberlanjutan dari masyarakat Jawa. Kedua sumber itu juga menggambarkan cara kerja dari para pujangga Jawa yang eklektis dalam penyusunan karyanya. Selain itu, terdapat kesamaan gagasan tentang konsep dewa–raja dan fungsi makro dan mikrokosmisnya. Perbedaan utamanya adalah pada perjalanan dan cara–cara tokoh utama(Pararaton:Ken Angrok; BTJ:PS) hingga mencapai martabat seorang raja sesuai dengan konsepsi Jawa pada masanya masing–masing. Selain itu, juga peran dari mitos dan simbol lebih menonjol di BTJ dibandingkan Pararaton. Dari titik inilah kemudian Johns secara implisit menyatakan bahwa ada alternatif perspektif baru dalam mengkaji historiografi tradisional Jawa. Tetapi pada akhir artikelnya terdapat pertanyaan apakah kajian ini akan kembali menemui jalan buntu karena melihat semakin banyaknya mitos yang dipakai pada perkembangan historiografi tradisional Jawa seperti BTJ dibanding sebelumnya.
Mengingat keterbatasan ruang, sedikit yang bisa kami tambahkan yakni sedikit kritik khususnya tentang penggunaan diksi tertentu oleh Johns yang cenderung melihat perubahan dalam masyarakat Jawa mengalami kemunduran. Contohnya menyatakan bahwa budaya lokal lebih rendah dibandingkan budaya Hindu Budha. Terlepas itu semua artikel Johns ini membuka kemungkinan penggunaan historiografi tradisional sebagai sumber sejarah yang melimpah.

Bahan Bacaan Penunjang
Berg, C.C, “Kidung Sunda Inleiding, Tekst, Vertaling en Aanteekeningen” dalam BKI 83, 1927
– – – –, Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara, 1985
Margana S., Pujangga Jawa Dan Bayang–Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar