NIM :
12/339246/PSA/7258
Naskah ini termasuk dalam katagori
naskah melayu, disalin kembali oleh HN Van der Tuuk (VdT); seorang pengumpul naskah
kuno melayu yang pernah menterjemahkan injil dalam bahasa Batak. Dalam
artikelnya, Henri Chambert-Loir menyatakan
bahwa VdT meminjam syair dari Soetan Ibadat yang berhubungan kerabat
dengan Sutan Agama, raja kerajaan Hulu saat itu. Naskah syair ini tidak
berjudul dan oleh E. Wieringa diberi judul syair Sultan Fansuri. Dan Loir
mengambil judul naskah syair tersebut sebagai judul artikel ini. Syair sebanyak
15 halaman dan ditambah dengan prosa sebanyak 30 halaman ini bercerita tentang
sejarah kerajaan Fansur yang terdiri dari 2 kerajaan yaitu; kerajaan Hulu dan
Hilir. Selain juga diceritakan tentang hubungan kerajaan Fansur dengan kerajaan
Aceh dan juga hubungan mereka dengan serikat dagang Inggris di Sumatra.
Menurut Loir, Syair Sultan Fansuri bernilai
seni dan sejarah secara bersamaan. Sebagai sebuah seni, Syair ditulis dengan
bahasa yang berirama sesuai dengan kaidah puisi atau syair, meskipun pada
halaman 16 sampai dengan 30 (halaman terakhir) bahasa yang digunakan tidak lagi
lentur dan tidak bisa dikatagorikan sebagai puisi atau syair. Namun demikian,
menurut Loir halaman tersebut bisa dikatakan sebagai prosa karena berisi
tentang cerita-cerita. Sebagaimana syair sejarah lainnya, syair sultan Hamzah
Fansuri tidak tertalu mempedulikan keindahan sastra dalam penulisannya. Bahkan Loir
mengkritik beberapa bagian dari syair ini yang dianggap kacau, baik itu jumlah
larik, penempatan kata, rima yang kacau ataupun
pengulangan kata yang terasa salah.
Syair Sultan fansuri bukan satu-satunya
naskah kerajaan Fansur, Loir mencatat setidak ada sepuluh teks sejarah yang
berhubungan dengan kerajaan tersebut, seperti Hikayat Raja Tuktung, Tambo Barus Hilir, Hikayat Cerita Barus, Asal
keturunan Raja Barus dan lainnya. Dan menurut Loir, Syair Sultan ini
terjadi pada tahun 1812 dan tidak meninggalkan jejak sejarah, namun bisa
dilihat sebagai sebuah kondisi politik kerajaan Fansur pada abad 19 yang penuh
dengan kekacauan baik itu ditimbulkan oleh luar seperti kerajaan Aceh maupun
peristiwa dalam seperti meninggalnya sultan yang berkuasa dan calon
penggantinya masih kecil (anak-anak).
Sebagaimana umumnya naskah-naskah kuno
di Nusantara, banyak bagian dari syair Sultan berisi legenda dan kode-kode
berbentuk symbol yang harus diinterpretasi secara kritis. Seperti gelar yang
ditabalkan bagi Sultan Ibrahim yaitu Tuanku Batu Badan. Dari cerita yang
terungkap dalam syair, kebanyakan orang setempat menterjemahkan gelar tersebut
dengan cerita kuburan sultan yang hanya berisi badan tanpa kepala, karena
sultan tersebut dipancung oleh perwira Aceh akibat membangkang kepada kerajaan
Aceh. Namun jika meneliti ilmu bahasa dan budaya baik Aceh maupun melayu, gelar
tidak ada hubungannya seperti tersebut di atas. Dalam dunia melayu semua
kuburan akan dipacang batu yang disebut dengan batu badan, dan istilah ini
masih dipakai sampai sekarang di dunia melayu. Menurut Loir istilah batu badan
ini merujuk kepada “Raja yang memiliki batu nisan dari Aceh”. Namun loir juga
mengakui adanya kerumitan karena kuburan sultan Ibrahim terpasang batu yang
diimpor dari Brunei.
Menurut Loir, Syair Sultan bercerita tentang
ilmu pemerintahan yang didalamnya berisi tentang nasehat-nasehat bagi raja dan
pelaksana kerajaan lainnya dalam menjalankan pemerintahan. Ulasan tentang tema
ini mencapai 43 larik. Dilanjutkan kemudian tentang sejarah kerajaan Barus
(Fansur) yang berisi kemuliaan-kemuliaan seperti adanya kuburan aulia yang
berjumlah 44 orang. Juga dikupas tentang Raja Hulu sebagai raja pertama
kerajaan Fansur yang mendirikan kerajaan di Sitiga Bulan dan dilanjutkan dengan
pemerintahan turun temurun dalam beberapa generasi selanjutnya termasuk ketika
memindahkan pusat kerajaan ke Kampung Dalam. Cerita berlanjut dengan munculnya
Sultan Ibrahim yang digambarkan berayah dari Hulu dan beribu dari Hilir. Sultan
inilah yang menyatukan dua kerajaan Hulu dan Hilir sebagai kerajaan Fansur.
Selain itu juga diceritakan tentang
penyerangan terhadap Fansur yang menurut Loir bisa jadi disebabkan oleh fitnah.
Akibat penyerangan ini Sultan Ibrahim dipancung oleh tentara Aceh dan kepalanya
dibawa ke kotaraja (Banda Aceh). Jika kita membaca literature sejarah Aceh,
penyerangan bisa jadi disebabkan pembangkangan sultan Ibrahim terhadap pengaruh
sultan Aceh. Karena menurut literature tentang Aceh, konsep kenegaraan kerajaan
Aceh yang berbentuk konfederasi sesungguhnya memberikan otonomi luas bagi kerajaan-kerajaan
Negara bagian dalam melaksanakan pemerintahannya. Hanya beberapa kewajiban yang
harus dipenuhi oleh kerajaan bagian terhadap Aceh seperti pembayaran upeti,
pengiriman pasukan jika terjadi peperangan dengan Negara luar (seperti perang
melawan Portugis di Malaka) dan pengakuan terhadap pengaruh dan kekuasaan
kerajaan Aceh terhadap kerajaan Fansur. Bisa jadi Sultan Ibrahim mengingkari
salah satu item yang tersebut di atas sehingga mengundang murka raja Aceh.
Apalagi pada tahun 1812, kerajaan Aceh kembali diperintah oleh Sultan Ibrahim
Mansyursyah; seorang raja besar yang disegani Barat dan berusaha mengembalikan
hegemoni Aceh atas Sumatra dan dunia melayu. Namun saying informasi dari
literature Aceh di atas tidak digunakan oleh Loir dalam artikelnya.
Bagian selanjutnya menceritakan reaksi
sultan Aceh akibat peristiwa gaib (Tsunami dan banjir) setelah menendang kepala
sultan Ibrahim. Peristiwa mungkin bisa disebut dengan legenda karena tidak ada kejadian
bencana alam besar di Aceh pada tahun 1812 dan setelahnya. Kecuali jika bencana
ini diterjemahkan sebagai peristiwa perang Aceh mengorbankan ratusan ribu nyawa
rakyat Aceh. Dan dalam hal ini, secara klise Loir menyetujui tentang peristiwa
bencana alam yang terjadi berdasarkan kisah-kisah mirip yang muncul dari
teks-teks melayu.
Selanjutnya sultan memperlakukan kepala
sultan Ibrahim secara hormat dan mengembalikannya ke negeri Fansur sekaligus
membebaskan (memerdekakan) sekaligus melindungi negeri tersebut. Kedatangan
pasukan Aceh yang mengantar jenazah kepala sultan Ibrahim juga digambarkan
syair ini. Janji kemerdekaan dan perlindungan Kerajaan Aceh terhadap Fansur
ditulis dengan selembar surat yang dibubuhi stempel kerajaan Aceh. Janji
dipenuhi oleh Raja Aceh bahkan dilanjutkan generasi raja Aceh selanjutnya.
Cerita kemudian dilanjutkan dengan
hubungan diplomasi antara kerajaan Fansur dengan perwakilan dagang Inggris yang
berpusat di Sumatra. Dalam hubungan sultan Fansuri bantuan perlindungan dari
Inggris terhadap gangguan Aceh kemudian hari. Pertemuan dan perbincangan antara
wakil dagang Inggris dan Sultan fansur digambarkan secara lugas dalam syair
sultan Fansur. Di akhir pertemuan sultan meminta jaminan kepada wakil dagang
inggris terhadap janji yang diberikan kepada Fansur. Mungkin disebabkan
kekuatiran yang besar dari sultan terhadap serangan Kerajaan Aceh.
Chambert-Loir telah mengupas Syair
Sultan Fansuri dengan baik sebagai sebuah karya sastra, namun sebagai sumber
sejarah, Loir tidak melakukan kritik dan ulasan yang sempurna. Sebagai sumber
sejarah berhubungan dengan kerajaan Aceh, seharusnya Loir juga memperhatikan
sumber-sumber sejarah Aceh agar mampu memberi gambaran jelas tentang kondisi
social politik di Fansur. Apalagi kejadian dalam Syair Sultan Fansuri berdekatan
dengan peristiwa perang Aceh tahun 1873, yang sesungguhnya telah menjelaskan
tidak ada alasan kuat bagi raja Fansur untuk kuatir terhadap gangguan dan
penyerangan kerajaan Aceh selanjutnya. Apalagi harus meminta bantuan dari
Inggris yang sebelum perang Aceh dikenal sebagai sekutu dekat kerajaan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar