NIM
: 12/339539/PSA/7316
Bagaimanakah wajah
penulisan sejarah Asia Tenggara di era pasca-kolonial? Dua orang
sejarawan, D.G.E. Hall dan T.N. Harper mencoba menjawab pertanyaan
itu lewat tulisannya masing-masing yang ditulis dalam rentang waktu
yang terpisah lebih dari 30 tahun -Hall menulis dalam jurnal Pacific
Affairs edisi September
1960 sedangkan Harper menulis dalam jurnal
The Historical Journal
edisi Juni 1997.
Hall menulis artikelnya
yang berjudul “On the
Study of Southeast Asian History”
pada masa ketika negara-negara di Asia Tenggara -kecuali Thailand-
belum lagi merasakan dua dasawarsa kemerdekaannya. Penulisan ulang
sejarah negara-bangsa-negara-bangsa dengan perspektif bangsa-bangsa
itu sendiri masih sedang berlangsung dan belum mencapai bentuknya
yang mapan. Artikel Hall ini sendiri berisi tinjauan mengenai
karya-karya historiografi dengan cakupan spasial Asia Tenggara yang
sudah ditulis sampai saat itu. Ia menyebutkan dan mengulas sejumlah
karya historiografi tentang negara-negara Asia Tenggara dari mulai
Burma, Thailand, negara-negara Indo-Cina (Vietnam, Kamboja, Laos),
Malaya, Indonesia, sampai Filipina. Hall memaparkan apa saja hal-hal
yang telah dieksplorasi maupun belum dieksplorasi mengenai sejarah
Asia Tenggara. Dalam artikel ini ia juga menawarkan satu periodisasi
baru dalam sejarah Asia Tenggara dengan membagi perjalanan sejarah
Asia Tenggara menjadi tiga masa yaitu sejak awal masuknya pengaruh
India sampai abad ke-13, abad ke-13-18 yang merupakan masa berbagai
perubahan besar bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara mulai dari masuk
dan berkembangnya agama Buddha Theravada serta Islam sampai
kedatangan orang-orang Eropa, dan terakhir abad ke-19 sampai awal
abad ke-20 yang merupakan masa dominasi bangsa-bangsa Eropa atas Asia
Tenggara. Hal penting lain yang dikemukakan Hall adalah mengenai
perlunya menghindari kecenderungan untuk memparalelkan sejarah Asia
Tenggara dengan sejarah Eropa sebagaimana sering dilakukan para
penulis sejarah Asia Tenggara berkebangsaan Eropa dengan menggunakan
istilah-istilah semacam 'ancient', 'medieval', dan 'modern' yang
berasal dari sejarah Eropa untuk menggambarkan sejarah Asia Tenggara.
Sementara itu, dalam
tulisannya “Asian Values'
and Southeast Asian History”
Harper memposisikan dirinya sebagai jembatan antara kaum intelektual
Barat dengan Dunia Asia dalam konteks sebuah era yang disebut-sebut
sebagai masa kebangkitan “nilai-nilai Asia”. Ada kekahawatiran
sebagian kalangan intelektual di Barat terhadap kebangkitan tersebut
yang merupakan sebuah tantangan terhadap hegemoni Barat selama ini.
Para intelektual barat itu khawatir jika kebangkitan “nilai-nilai
Asia” ini akan melahirkan chauvinisme yang bukan tidak mungkian
akan melahirkan kolonialisme dan imperialisme baru oleh bangsa-bangsa
Asia terhadap Dunia Barat. Tidak heran jika muncul
penilaian-penilaian negatif terhadap peradaban-peradaban non-Barat
seperti yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Ia memandang bahwa
nilai-nilai Islam dan Konfusianisme -dua sistem nilai yang memiliki
banyak penganut dan berpengaruh besar di kawasan Asia- sepenuhnya
kontradiktif dengan nilai-nilai Barat. Pertentangan antara
nilai-nilai barat dan Timur (Asia) itulah yang mendorong Huntington
memprediksi akan terjadinya “benturan peradaban” (the
clash of civilization) di
masa depan. Penilaian yang terkesan simplistis terhadap “nilai-nilai
Asia” ini bukan tanpa dasar. Bila di barat ada kecenderungan untuk
memandang Asia dengan penuh kecurigaan maka di Asia pun berkembang
hal serupa, Barat dipandang dengan kacamata kebencian sebagai sumber
kerusakan moral dan penindas. Di tengah ketegangan semacam inilah
Harper mencoba memberikan perspektif baru terhadap apa yang disebut
“nilai-nilai Asia”.
Dalam tulisan ini Harper
mengangkat perdebatan atas “nilai-nilai Asia” dalam konteks
pendekatan pada penulisan sejarah di Asia Tenggara. Alih-alih
menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit, artikulasi
“nilai-nilai Asia” dalam penulisan sejarah di Asia Tenggara telah
memberikan warna dan perspektif baru dalam penulisan sejarah di
kawasan ini. Bila di masa lalu sejarah Asia Tenggara selalu ditulis
dengan perspektif euro-sentrisme maka kini mulai muncul sentrisme
baru yang memandang sejarah Asia Tenggara dari kacamata orang Asia
Tenggara sendiri. Sentrisme baru ini tidak saja memperkaya khazanah
penulisan sejarah Asia Tenggara dan memperluas cara pandang terhadap
sejarah kawasan ini tetapi juga membawa pada penilaian kritis atas
konstruksi negara-bangsa di Asia Tenggara yang berlaku selama ini.
Penulisan sejarah Asia Tenggara dengan perspektif baru yang dilakukan
para sejarawan Asia Tenggara sendiri pada akhirnya membuat mereka
tidak lagi terjebak pada polemik kolonialisme melawan
anti-kolonialisme namun menempatkan keduanya sebagai dua hal yang
terkait erat satu sama lain dan harus sama-sama dinilai secara
kritis. Lewat tulisan ini Harper menunjukkan bahwa “nilai-nilai
Asia” bukanlah sebuah prinsip yang monolitik dan perdebatan
mengenai apa yang dimaksud sebagai “nilai-nilai Asia” itu sendiri
masih jauh dari selesai sehingga tidak ada alasan bagi Barat untuk
khawatir pada “kebangkitan nilai-nilai Asia” itu.
Artikel Hall dan Harper
berasal dari dua masa yang berbeda, yang satu berasal dari era
dekolonialisasi ketika bangsa-bangsa Asia baru saja melepaskan
dirinya dari kekuasaan kolonial sementara satunya lagi hadir di
ambang abad ke-21 yang oleh sebagian orang disebut-sebut sebagai
“abad Asia”. Sepanjang rentang waktu yang terpisah lebih dari 3
dekade sudah banyak perkembangan yang terjadi dalam penulisan sejarah
Asia Tenggara. Ketika Hall menulis artikelnya belum banyak sejarawan
Asia Tenggara sendiri yang menulis sejarah kawasan ini dari kacamata
'orang dalam'. Kalaupun ada, maka karya-karya historiografi para
sejarawan Asia Tenggara pada masa itu lebih bercorak ideologis (baca:
menghidupkan semangat nasionalisme dan patriotisme) ketimbang
ilmiah. Tidak aneh bila dalam artikelnya Hall hanya mengulas
karya-karya sejarawan Barat yang memang lebih mempunyai bobot ilmiah.
Namun di era Harper para sejarawan Asia Tenggara sudah mulai mampu
membuat karya-karya historiografi ilmiah yang mengkritisi bukan saja
kolonialisme tetapi juga konstruksi negara-bangsa mereka sendiri.
Dalam artikelnya, Hall menulis hal-hal yang belum tergali dalam
penulisan sejarah Asia Tenggara antara lain mengenai periode awal
sejarah Asia Tenggara (masa Indianisasi) tetapi seiring dengan
penemuan fakta-fakta baru maupun interpretasi baru sedikit demi
sedikit pertanyaan yang menyelimuti periode itu mulai terungkap. Pada
masa Harper penulisan sejarah sudah mulai bergerak dari sejarah
politik menjadi sejarah non-politik dan dengan pendekatan yang
berbeda dari penulisan sejarah konvensional. Karya monumental Denys
Lombard “Nusa Jawa” adalah contoh dari salah satu karya
historiografi Asia Tenggara non-konvensional dengan gaya penulisannya
yang melangkah mundur dari zaman pasca-kolonial hingga ke zaman
Hindu-Buddha serta perhatiannya yang besar pada pelbagai aspek
non-politik dari sejarah Pulau Jawa. Pencapaian penulisan sejarah
Asia Tenggara di akhir abad ke-20 tentu bukanlah titik akhir dari
historiografi kawasan ini, masih banyak hal yang bisa digali dan
ditulis dari sejarah Asia Tenggara. Di sinilah perlunya para
sejarawan yang meneliti kawasan ini -baik sejarawan asing maupun
sejarawan Asia Tenggara sendiri- mempelajari apa saja yang sudah
ditulis mengenai sejarah Asia Tenggara, mengenal apa yang sudah
dicapai para sejarawan terdahulu dan apa yang belum, dan memahami di
mana letak kekuatan dan kelemahan karya-karya yang sudah ada sehingga
dari situ dapat diambil arah dan perspektif baru dalam penulisan
sejarah Asia tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar