Nama :
Irwan
NIM :
12/339246/PSA/7258
Artikel ini membahas tentang peran dan
posisi Pramoedya Ananta Toer dalam historiografi Indonesia yang selama ini
dikenal sebagai sosok sastrawan. Pribadi unik Pramoedya bisa terlihat dari
banyaknya orang menyukai karya-karyanya sekaligus geram dengan aliran politik
yang dianutnya sejak awal tahun 1950-an. Sebagai sastrawan Pramoedya diakui
telah menghasilkan novel dan artikel sastra yang menjadi fundamen perkembangan
dunia sastra Indonesia, tidak hanya itu, karya-karyanya juga diakui oleh
masyarakat internasional dan dibuktikan dengan berbagai penghargaan sastra
internasional. Beberapa karyanya juga diterjemahkan dalam berbagai bahasa
dunia. Namun dalam bidang sejarah, Pramoedya belum meraih posisi setimpal
seperti hal karya-karya sejarahnya, “Pulau Buru”.
Agaknya pandangaan orang terhadap posisi
politik pramoedya lebih dominan dibandingkan dengan karya-karya dihasilkannya
baik di bidang sastra dan sejarah. Ini terlihat dari banyaknya pihak menentang
ketika Pramoedya dianugerahi penghargaan Magsaysay pada 1995. Salah satu
penentangnya adalah budayawan dan sastrawan popular Indonesia W.S. Rendra.
Penentangan Rendra tersebut lebih dikarenakan pada posisi politik dianut
Pramoedya. Kehebatan Pramoedya tertutupi oleh posisi politik (yang pernah)
dianutnya.
Sebagai penulis sejarah, Pramoedya
memiliki pandangan tersendiri terhadap sejarah Indonesia. Berbeda dengan
sejarawan nasionalis lainnya seperti Yamin, yang mengagungkan kerajaan-kerajaan
tua di Jawa dan Sumatra sebagai fondasi nasionalisme Indonesia, sebaliknya
Pramoedya menganggap bahwa nasionalisme belum terlalu tua usianya. Baginya
nasionalisme Indonesia terbentuk karena factor kolonialisme barat dan keinginan
untuk hidup adil dan bermatabat. Dan proses nasionalisme itu tersendiri
terbentuk melalui dinamika panjang tergantung perkembangan daerah dan
masyarakat setempat. Kesamaan perlakuan dialami oleh rakyat Indonesia akibat
kolonialisme mendorong proses kesadaran untuk bangkit dan melawan penjajahan
untuk memperoleh kemerdekaan dan keadilan. Kesadaran kolektif membuahkan
perasaan nasionalisme Indonesia yang berujung kepada terbentuknya negara
Indonesia.
Perspektif Historiografi Indonesia
Pramoedya berbeda dengan sejarawan awal kemerdekaan Indonesia lainnya yang
kerap mengkritik historiografi kolonial. Menurut Farid, Pramoedy sama sekali
tidak terlibat dalam perdebatan perspektif Historiografi Indonesia, Ia bekerja
sendiri dan mengembangkan historiografi menurut pendekatannya sendiri dengan
banyak mengangkat wajah-wajah pribumi seperti dalam karya “Panggil Aku
Kartini”, “Rumah Kaca”. Dari kedua karya ini nampak jelas wajah dan perspektif
lokal yang dikedepankan oleh Pramoedya. Bahkan menurut Pramoedya Nasionalisme
Indonesia dibentuk oleh proses yang dimulai oleh Kartini, meski pernyataan
tersebut murni subjektifitas Pramoedya sendiri.
Menurut Farid, Pramoedya memang tidak
menampilkan diri sebagai sosok sejarawan murni, namun dari karya-karya
dihasilkan bisa kita temukan uraian sejarah yang berbasis kepada data-data
sejarah itu sendiri. Alasan lain mengapa karya Pramoedya lebih banyak berbentuk
novel dibandingkan dengan historiografi sejarah, dikarenakan oleh factor
keterbatasan yang dihadapi Pramoedya dalam proses menuliskan karya tersebut. Farid
mencontoh karya “Pulau Buru” yang diselesaikan selama proses pengasingan oleh
pemerintah Orde Baru. Keterbatasan yang dialaminya tidak memungkin untuk
mencari dan menganalisis data sebagaimana dilakukan oleh peneliti sejarah
lainnya.
Meski tidak menampilkan karya sejarah
secara utuh, pandangan Pramoedya terhadap sejarah pantas kita perhatikan.
Sejarah bagi Pramoedya tidak hanya sebagai sarana untuk menggali informasi masa
lalu, namun juga bisa berfungsi sebagat alat membangun nasionalisme dan
nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar