Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Pramoedya dan historiografi Indonesia (Hilmar Farid)


Nama                           : Irwan
NIM                            : 12/339246/PSA/7258

Artikel ini membahas tentang peran dan posisi Pramoedya Ananta Toer dalam historiografi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai sosok sastrawan. Pribadi unik Pramoedya bisa terlihat dari banyaknya orang menyukai karya-karyanya sekaligus geram dengan aliran politik yang dianutnya sejak awal tahun 1950-an. Sebagai sastrawan Pramoedya diakui telah menghasilkan novel dan artikel sastra yang menjadi fundamen perkembangan dunia sastra Indonesia, tidak hanya itu, karya-karyanya juga diakui oleh masyarakat internasional dan dibuktikan dengan berbagai penghargaan sastra internasional. Beberapa karyanya juga diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia. Namun dalam bidang sejarah, Pramoedya belum meraih posisi setimpal seperti hal karya-karya sejarahnya, “Pulau Buru”.

Agaknya pandangaan orang terhadap posisi politik pramoedya lebih dominan dibandingkan dengan karya-karya dihasilkannya baik di bidang sastra dan sejarah. Ini terlihat dari banyaknya pihak menentang ketika Pramoedya dianugerahi penghargaan Magsaysay pada 1995. Salah satu penentangnya adalah budayawan dan sastrawan popular Indonesia W.S. Rendra. Penentangan Rendra tersebut lebih dikarenakan pada posisi politik dianut Pramoedya. Kehebatan Pramoedya tertutupi oleh posisi politik (yang pernah) dianutnya.

Sebagai penulis sejarah, Pramoedya memiliki pandangan tersendiri terhadap sejarah Indonesia. Berbeda dengan sejarawan nasionalis lainnya seperti Yamin, yang mengagungkan kerajaan-kerajaan tua di Jawa dan Sumatra sebagai fondasi nasionalisme Indonesia, sebaliknya Pramoedya menganggap bahwa nasionalisme belum terlalu tua usianya. Baginya nasionalisme Indonesia terbentuk karena factor kolonialisme barat dan keinginan untuk hidup adil dan bermatabat. Dan proses nasionalisme itu tersendiri terbentuk melalui dinamika panjang tergantung perkembangan daerah dan masyarakat setempat. Kesamaan perlakuan dialami oleh rakyat Indonesia akibat kolonialisme mendorong proses kesadaran untuk bangkit dan melawan penjajahan untuk memperoleh kemerdekaan dan keadilan. Kesadaran kolektif membuahkan perasaan nasionalisme Indonesia yang berujung kepada terbentuknya negara Indonesia.

Perspektif Historiografi Indonesia Pramoedya berbeda dengan sejarawan awal kemerdekaan Indonesia lainnya yang kerap mengkritik historiografi kolonial. Menurut Farid, Pramoedy sama sekali tidak terlibat dalam perdebatan perspektif Historiografi Indonesia, Ia bekerja sendiri dan mengembangkan historiografi menurut pendekatannya sendiri dengan banyak mengangkat wajah-wajah pribumi seperti dalam karya “Panggil Aku Kartini”, “Rumah Kaca”. Dari kedua karya ini nampak jelas wajah dan perspektif lokal yang dikedepankan oleh Pramoedya. Bahkan menurut Pramoedya Nasionalisme Indonesia dibentuk oleh proses yang dimulai oleh Kartini, meski pernyataan tersebut murni subjektifitas Pramoedya sendiri.

Menurut Farid, Pramoedya memang tidak menampilkan diri sebagai sosok sejarawan murni, namun dari karya-karya dihasilkan bisa kita temukan uraian sejarah yang berbasis kepada data-data sejarah itu sendiri. Alasan lain mengapa karya Pramoedya lebih banyak berbentuk novel dibandingkan dengan historiografi sejarah, dikarenakan oleh factor keterbatasan yang dihadapi Pramoedya dalam proses menuliskan karya tersebut. Farid mencontoh karya “Pulau Buru” yang diselesaikan selama proses pengasingan oleh pemerintah Orde Baru. Keterbatasan yang dialaminya tidak memungkin untuk mencari dan menganalisis data sebagaimana dilakukan oleh peneliti sejarah lainnya.

Meski tidak menampilkan karya sejarah secara utuh, pandangan Pramoedya terhadap sejarah pantas kita perhatikan. Sejarah bagi Pramoedya tidak hanya sebagai sarana untuk menggali informasi masa lalu, namun juga bisa berfungsi sebagat alat membangun nasionalisme dan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa.











 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar