Wahyu
Setyaningsih
12/339547/PSA/7317
Tulisan G.J. Resink dalam bukunya, Suatu Passe-Partout Sekitar Penulis-Penulis
Sedjarah Tentang Indonesia, memberikan penjelasan mengenai penulis-penulis
Sejarah pada masa kolonial, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Menurut
saya, yang dimaksudkan dengan passe-partout
adalah sebuah bingkai masa lalu dalam menggambarkan tentang sejarah Indonesia. Artinya,
pembingkaian yang dilakukan oleh orang-orang Belanda pada waktu itu digunakan
sebagai upaya pembatasan dalam menuliskan tentang keadaan Indonesia pada waktu
itu. Bingkai yang seperti apa yang dibuat dalam mendiskripsikan sejarah
Indonesia? Mengapa pembingkaian itu dilakukan dan bagaimana caranya?
Berdasarkan bacaan tersebut, Resink
mengidentifikasikan empat bingkai passe
partout. Bingkai pertama, beranekaragamnya
kebangsaan para penulis, maka bahasa mereka pun berbeda-beda. Misalanya,
orang-orang Belanda berasal dari Eropa dan Indo; orang-orang Inggris, Perancis,
Jerman, Swiss, India, Amerika, dan orang-orang Indonesia. Ketika Vlekke dan Van
Mook menulis Nusantara dalam bahasa Belanda dan dalam bahasa Inggris, maka
hasilnya pun berbeda karena harus disesuaikan dengan bahasa di lingkungan
masing-masing. Maka, penulis yang menulis dengan tema yang sama, mempunyai
pandangan, pendekatan dan perlakuan yang berbeda, perbedaan itu terlihat dalam
bahasa yang digunakan, di samping ada bentuk kepentingan lain dalam penulisan
tersebut. Jika kita kritisi penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan oleh
orang-orang Belanda, maka bingkai pertama ini memberikan kita penjelasan bahwa
tulisan-tulisan orang-orang Belanda pada masa kolonial ini dari segi bahasa
yang digunakan menandakan pandangan-pandangan, pendekatan, dan tujuan yang
digunakan dalam menuliskan sejarah Indonesia pada masa kolonial. Selain itu,
kebangsaan yang berbeda dari para penulis, maka ada perbedaan kejiwaan dari
lingkungan mereka masing-masing. Bentuk kepribadian pun berbeda-beda. Maka,
para penulis masa kolonial yang berasal dari kebudayaan yang beragam ini
memberikan penulisan sejarah Indonesia dari sudut pandang internasional.
Bingkai yang kedua adalah pekerjaan dan
minat dari penulis sehingga memengaruhi sudut padang dalam menuliskan sejarah.
Bagi orang asli Indonesia, sudut pandang internasional belum tentu cocok dengan
sudut pandang nasional Indonesia, bisa saja hal ini justru menjadi bumerang
bagi Indonesia, seperti kata pemberontakan dan kata perlawanan. Contohnya, dari
sudut internasional pemberontakan adalah kata yang cocok dalam menggambarkan
para pahlawan bangsa dalam mengusir penjajah, tetapi jika dipandang dari
kacamata nasional kata itu mempunyai penegasian negatif yang justru melemahkan
jiwa patriotisme generasi selanjutnya yang membaca sejarah tersebut.
Bingkai yang ketiga adalah organisasi di
dalam dan orientasi pada berbagai aliran-aliran ilmu pengetahuan, sehingga
diperoleh spesialis-spesialis yang membawa mereka lebih dekat dengan
spesialisasi dalam sejarah. hal ini membawa kita pada subyektifitas dan
kesiswaan. Pada masa kolonial terdapat dua aliran yang berkembang, yaitu aliran
Batavia, aliran Utrech. Aliran-aliran itu dipengaruhi oleh ilmu atau minat dari
masing-masing sejarawan tersebut dalam menuliskan sejarah Indonesia pada waktu
itu, hal ini bersandar dari data-data yang digunakan oleh sejarawan itu, apakah
hanya terpaku dari arsip yang ada tanpa melihat langsung kondisi dari
masyarakat pribumi. Maka, kita perlu mengkritisi tulisan-tulisan yang sejarah
yang ditulis oleh orang-orang Barat, karena data sangat memengaruhi jenis
tulisan, apakah mereka menekan subyektifitasnya atau tidak, atau dapat
dikatakan tingkat akademis mereka dan pandangan mereka dalam menuliskan sejarah
Indonesia.
Bingkai keempat adalah cara-cara
berfikir dan persangkaan-persangkaan sejarah yang subyektifitas kelompok ini
yang pada akhirnya menempatkan pada suatu persatuan pada kepentingan suatu
kelompok tertentu. Persekutuan kepentingan dalam suatu golongan tertentu, baik
itu kasta pemerintahan penjajah, maupun kelas elit nasional, hal itu akan menjadi khas dari masyarakat
ekslusif. Mereka akan menentukan sendiri masa depannya berdasarkan ciri khas
dari masyarakat tersebut tanpa pengaruh dari luar. Hal ini perlu dikaji dalam
penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan oleh penulis dengan bersandar
bingkai keempat ini, karena jika hanya berorientasi pada masyarakat penulis
saja, maka jauh dari keadaan yang sebenarnya terjadi di daerah pribumi, baik
secara mentalitas maupun secara faktual. Kita tahu bahwa sebelum orang-orang
kolonial datang ke Indonesia, terlebih dahulu rakyat pribumi telah memiliki
sumber sejarah berupa babad yang belum ada campurtangan dari pihak kolonial.
Hal ini jika dikaitan dengan bingkai keempat menjadi kontras karena babad
menjadi ciri khas Indonesia, sedangkan penulis barat tidak menggunakannya
sebagai sumber dalam menuliskan sejarah Indonesia, mereka hanya terpaku dengan
sudut pandang nederlansentris, maka perlu dikritisi dalam menggunakan sumber
kolonial.
Jika kita merujuk dengan buku yang
ditulis oleh H.J. De Graaf yang berjudul Historiografi Hindia Belanda, maka kita
akan sedikit banyak setuju apa yang dituliskan oleh De Graaf, salah satunya
bahwa seorang sejarawan kolonial harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
harus mengetahui dengan baik sejarah kolonial Hindia-Belanda dan juga tentang
sejarah negara-negara koloni yang lainnya; harus mengerti bahasa-bahasa Belanda
dan pribumi (Jawa dan Melayu); harus mengenal dengan baik adat-istiadat, baik
dari orang-orang pribumi maupun orang-orang Belanda Kolonial, dan harus tahu
psikisnya juga; dan harus mengadakan kunjungan langsung di Indonesia.[1]
Disamping itu, De Graaf juga menyebutkan beberapa kelemahan penulisan sejarah
pada masa kolonial yaitu sebagai beriku: orang-orang Jawa pada dasarnya suatu
bangsa yang bodoh, tanpa orang-orang Hindu mereka tidak bisa mencapai tingkat
yang begitu tinggi; orang-orang Jawa dahulunya semua Buddhis dan memeluk agama
yang sangat halus; semua bangsa di Nusantara ditempatkan di bawah kekuasaan
Nederland, kemudian mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh kemerdekaan;
J.Pz. Coen yang harus dicontoh karena dianggap sebagai kolonisator sejati; lada
yang dikirim Compagnie ke Holland harus mengorbankan pribumi; semua orang Ambon
dipermainkan dengan sangat buruk; segala sesuatu yang dicapai adalah hasil
kerja orang-orang Jerman; gereja Portugis di Batavia bersalam dari masa
Portugis; semua orang Indo-Eropa bersala dari “Jan Fuselier” dan “Baboe Minah”;
Deandels hanyalah seorang liar, tetapi raffles adalah kolonisator sejati;
Diponegoro dan Trunojoyo merupakan pahlawan kemerdekaan; Cultuurstelsel
menyebabkan Hindia lebih miskin 800.000.000 gulden; serta sebelum van Deventer
Hindia hanya berfungsi sebagai obyek ekslpoitasi.[2]
Namun, hal di atas harus dikritisai lagi
menurut sudut pandang Indonesia sentris, maka historiografi kolonial perlu
direvisi lagi agar mendapatkan penulisan yang lebih baik, maka perlu dilakukan
langkah yaitu: memperluar scope dengan memperhatikan berbagai aspek kehidupan
masyarakat Indonesia; menggunakan pendekatan multidimensional; menyusun
konseptualisasi sejarah nasional; menggunakan konsep dan teori dari berbagai
cabang ilmu sosial; memberi tekanan pada mikro-historis; serta menerapkan sejarah
analistis.[3]
Maka, historiografi kolonial juga harus memberikan gambaran tentang kehidupan
masyrakat pribumi juga, tidak hanya kepentingan kolonial saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar